Baliho Balihahaha
JIKA ingin terhibur menikmati yang lucu-lucu, datanglah ke Bali. Yang ngomong begini bukan orang Bali yang biasanya suka pamer diri, tapi para wisatawan yang berkali-kali datang ke pulau ini. Mereka tidak hanya menikmati Bali sebagai tempat sangat menyenangkan buat piknik, tapi juga untuk menikmati kelucuan-kelucuan.
Kaum plesir dari Jakarta atau Bandung yang senang memanfaatkan jasa sopir orang Bali ketika mereka dolan ke objek wisata, senantiasa terkesan oleh kelucuan dan keluguan sopir-sopir itu. Sopir yang merangkap pemandu wisata itu sering memberi layanan dan penjelasan tentang objek yang dikunjungi disertai cerita-cerita lucu dan guyonan-guyonan segar. Kemudian pelancong itu menyarankan rekannya yang hendak liburan ke Bali untuk menggunakan jasa sopir lucu itu. “Lu cari aja Pak Ketut, sopir yang suka melucu itu. Nih... nomor WA-nya!”
Selain dikenal sebagai etnik sederhana, terbuka, melontarkan pendapat apa adanya, orang Bali juga dikenal punya bakat besar untuk melucu. Filosofi hidup, tata beragama, etika, pengetahuan tentang adat, diungkapkan dalam seni pertunjukan yang sangat menarik dan diminati karena berlumur guyonan. Orang Bali memahami tata krama dan agama yang mereka anut dari pentas arja, gambuh, drama gong, topeng bondres, yang digemari karena punakawan yang suka melucu. Yang serba lucu dalam kehidupan sehari-hari itu selalu dekat dengan orang Bali.
Logat orang Bali berbahasa Indonesia, misalnya, hampir selalu dianggap lucu. Logat mereka udik, lugu, mengundang gelak tawa, dan kasihan, namun membuat pendengarnya menjadi senang dan segera akrab. Tak sedikit orang akhirnya menjalin persahabatan dengan orang Bali berkat bakat lucu itu. Mungkin, kelucuan itu bersumber dari watak orang Bali yang, konon, suka tersenyum, rendah hati, dan terbuka dengan siapa saja. Bukankah senyum merupakan bibit tawa?
Orang Bali lucu tidak hanya bisa disaksikan dalam pertunjukan drama-gong. Ada orang Bali yang lama di Jakarta berkomentar, “Bali itu memang sudah habis-habisan lucu, lebih lucu dari pentas drama-gong.” Ia menyebut begitu gigih orang Bali mempertahankan agar tanah kelahiran mereka tampak selalu bersih, rapi, dan indah, tapi mereka sendiri yang merusak dan mengotorinya dengan ngawur memasang baliho.
Sekarang, saat-saat mulai gempita menjelang pemilu, dan baliho caleg dipasang di sudut-sudut kota dan desa, dianggap sebagai sesuatu yang lucu. Banyak sekali yang tidak suka baliho-baliho itu dipasang sesuka hati, namun akhirnya mereka tersenyum dan tertawa-tawa. “Memang lucu nih, saudara-saudara kita orang Bali, pasang baliho seenaknya,” komentar mereka. “Kita jadi tahu, orang-orang jelek, nak beler (orang buruk, jahat), dengan gagah pasang baliho dirinya jadi caleg. Mereka memamerkan kebusukannya. Kan lucu, hahaha…?”
Oktober 2009, kartunis Wayan Gunasta dari Desa Nyuhkuning, Ubud, mengeluarkan buku kumpulan kartun Balihohoho, diterbitkan oleh Arti Foundation, memuat puluhan gambar-gambar jenaka. Beberapa kartun di buku yang meraih penghargaan Widya Pataka dari Pemprov Bali (2009) itu, melukiskan Bali yang dijejali spanduk dan baliho kaum calon legislatif, membuat pemandangan sumpek, kota dan jalan-jalan di desa-desa jadi pengap, merusak mata. Baliho-baliho itu digambarkan berdesak-desakan dengan vila, hotel, bangunan suci, dan tempat-tempat wisata. Suasana jadi riuh, gaduh, tak ada ruang buat bergerak. Bikin sesak napas.
Putu Wirata Dwikora yang memberi kata pengantar buku itu menulis, “Sebetulnya, kita nggak perlu pelawak untuk menghibur diri. Tonton saja sandiwara badut-badut politik Indonesia, nggak ketulungan lucunya. Mulai gebyar politik yang memperalat ikon-ikon agama dan budaya, sampai pada kemaruk anggota dewan yang ramai-ramai membebani APBD.”
Mungkin karena Bali kaya dengan hal-hal lucu, pulau ini banyak punya kartunis. Mereka aktif dan rajin berpameran. Pernah belasan tahun Bali punya majalah Bog Bog Bali Cartoon Magazine dengan komandannya Jango Paramartha. Itu bisa jelas menyiratkan, betapa Bali sangat kaya dan peka dengan yang lucu-lucu dan pantas menjadi bahan tertawaan.
Bogbog bahasa Bali berarti bohong. Juga bermakna guyu, campah, hambar, tidak serius, tak perlu terlampau diperhatikan atau dirisaukan. Dalam alam kartun, bogbog menjadi ladang buat melontarkan satire, ejekan, kritik, untuk membongkar kemunafikan. Jika kemudian di Bali banyak baliho dipasang semau gue dan membersitkan tawa sehingga menjadi bali hahaha, itu pertanda betapa banyak di pulau ini yang pantas dipersoalkan, harus disindir-sindir.
Dalam dunia kartun, guyonan, menjadi sesuatu yang serius. Orang bisa diajak tersenyum, tertawa, tersedu, kemudian geleng-geleng kepala, dan geram oleh suguhan gambar tentang ketidakadilan dan pelanggaran, seperti baliho-baliho politik bertebaran yang tak peduli lingkungan itu. 7
Selain dikenal sebagai etnik sederhana, terbuka, melontarkan pendapat apa adanya, orang Bali juga dikenal punya bakat besar untuk melucu. Filosofi hidup, tata beragama, etika, pengetahuan tentang adat, diungkapkan dalam seni pertunjukan yang sangat menarik dan diminati karena berlumur guyonan. Orang Bali memahami tata krama dan agama yang mereka anut dari pentas arja, gambuh, drama gong, topeng bondres, yang digemari karena punakawan yang suka melucu. Yang serba lucu dalam kehidupan sehari-hari itu selalu dekat dengan orang Bali.
Logat orang Bali berbahasa Indonesia, misalnya, hampir selalu dianggap lucu. Logat mereka udik, lugu, mengundang gelak tawa, dan kasihan, namun membuat pendengarnya menjadi senang dan segera akrab. Tak sedikit orang akhirnya menjalin persahabatan dengan orang Bali berkat bakat lucu itu. Mungkin, kelucuan itu bersumber dari watak orang Bali yang, konon, suka tersenyum, rendah hati, dan terbuka dengan siapa saja. Bukankah senyum merupakan bibit tawa?
Orang Bali lucu tidak hanya bisa disaksikan dalam pertunjukan drama-gong. Ada orang Bali yang lama di Jakarta berkomentar, “Bali itu memang sudah habis-habisan lucu, lebih lucu dari pentas drama-gong.” Ia menyebut begitu gigih orang Bali mempertahankan agar tanah kelahiran mereka tampak selalu bersih, rapi, dan indah, tapi mereka sendiri yang merusak dan mengotorinya dengan ngawur memasang baliho.
Sekarang, saat-saat mulai gempita menjelang pemilu, dan baliho caleg dipasang di sudut-sudut kota dan desa, dianggap sebagai sesuatu yang lucu. Banyak sekali yang tidak suka baliho-baliho itu dipasang sesuka hati, namun akhirnya mereka tersenyum dan tertawa-tawa. “Memang lucu nih, saudara-saudara kita orang Bali, pasang baliho seenaknya,” komentar mereka. “Kita jadi tahu, orang-orang jelek, nak beler (orang buruk, jahat), dengan gagah pasang baliho dirinya jadi caleg. Mereka memamerkan kebusukannya. Kan lucu, hahaha…?”
Oktober 2009, kartunis Wayan Gunasta dari Desa Nyuhkuning, Ubud, mengeluarkan buku kumpulan kartun Balihohoho, diterbitkan oleh Arti Foundation, memuat puluhan gambar-gambar jenaka. Beberapa kartun di buku yang meraih penghargaan Widya Pataka dari Pemprov Bali (2009) itu, melukiskan Bali yang dijejali spanduk dan baliho kaum calon legislatif, membuat pemandangan sumpek, kota dan jalan-jalan di desa-desa jadi pengap, merusak mata. Baliho-baliho itu digambarkan berdesak-desakan dengan vila, hotel, bangunan suci, dan tempat-tempat wisata. Suasana jadi riuh, gaduh, tak ada ruang buat bergerak. Bikin sesak napas.
Putu Wirata Dwikora yang memberi kata pengantar buku itu menulis, “Sebetulnya, kita nggak perlu pelawak untuk menghibur diri. Tonton saja sandiwara badut-badut politik Indonesia, nggak ketulungan lucunya. Mulai gebyar politik yang memperalat ikon-ikon agama dan budaya, sampai pada kemaruk anggota dewan yang ramai-ramai membebani APBD.”
Mungkin karena Bali kaya dengan hal-hal lucu, pulau ini banyak punya kartunis. Mereka aktif dan rajin berpameran. Pernah belasan tahun Bali punya majalah Bog Bog Bali Cartoon Magazine dengan komandannya Jango Paramartha. Itu bisa jelas menyiratkan, betapa Bali sangat kaya dan peka dengan yang lucu-lucu dan pantas menjadi bahan tertawaan.
Bogbog bahasa Bali berarti bohong. Juga bermakna guyu, campah, hambar, tidak serius, tak perlu terlampau diperhatikan atau dirisaukan. Dalam alam kartun, bogbog menjadi ladang buat melontarkan satire, ejekan, kritik, untuk membongkar kemunafikan. Jika kemudian di Bali banyak baliho dipasang semau gue dan membersitkan tawa sehingga menjadi bali hahaha, itu pertanda betapa banyak di pulau ini yang pantas dipersoalkan, harus disindir-sindir.
Dalam dunia kartun, guyonan, menjadi sesuatu yang serius. Orang bisa diajak tersenyum, tertawa, tersedu, kemudian geleng-geleng kepala, dan geram oleh suguhan gambar tentang ketidakadilan dan pelanggaran, seperti baliho-baliho politik bertebaran yang tak peduli lingkungan itu. 7
Aryantha Soethama
Pengarang
Komentar