Anwar Usman Diberhentikan dari Ketua MK
Buntut Putusan Kontroversial Usia Capres-Cawapres
MKMK tidak berwenang melakukan penilaian hukum terhadap putusan MK, terlebih lagi turut mempersoalkan perihal keabsahan atau ketidakabsahan suatu putusan
JAKARTA, NusaBali
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menjatuhkan sanksi pemberhentian dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) kepada Anwar Usman karena terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik dan perilaku hakim konstitusi. Hal ini berkaitan dengan putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 soal syarat usia capres-cawapres paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.
“Menjatuhkan sanksi pemberhentian dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi kepada hakim terlapor," kata Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie saat membacakan amar putusan di Gedung MK RI, Jakarta, Selasa (7/11) petang. Jimly mengatakan bahwa Anwar Usman terbukti melanggar Sapta Karsa Hutama, yakni Prinsip Ketidakberpihakan, Prinsip Integritas, Prinsip Kecakapan dan Kesetaraan, Prinsip Independensi, serta Prinsip Kepantasan dan Kesopanan.
"Memerintahkan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi untuk dalam waktu 2x24 jam sejak putusan ini selesai diucapkan, memimpin penyelenggaraan pemilihan pimpinan yang baru sesuai dengan peraturan perundang-undangan," ujar Jimly. Selain itu, Jimly menegaskan bahwa Anwar Usman tidak berhak untuk mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pimpinan MK sampai masa jabatannya sebagai hakim konstitusi berakhir.
Lebih lanjut, Anwar juga tidak diperbolehkan terlibat atau melibatkan diri dalam pemeriksaan Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum mendatang. "Hakim terlapor tidak diperkenankan terlibat atau melibatkan diri dalam pemeriksaan dan pengambilan keputusan dalam perkara perselisihan hasil Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD serta pemilihan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang memiliki potensi timbulnya benturan kepentingan," ucap Jimly.
Sementara terkait putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 soal syarat usia capres-cawapres paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah, MKMK menyatakan tidak berwenang menilai putusan MK tersebut. “Majelis Kehormatan tidak berwenang menilai putusan Mahkamah Konstitusi, in casu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023,” kata Jimly Asshiddiqie. Lebih lanjut, dijelaskan anggota MKMK Wahiduddin Adams mengatakan bahwa MKMK diberi kewenangan untuk menjangkau dan mencakup segala upaya dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat serta kode etik dan perilaku hakim konstitusi.
“Bahwa berdasarkan ketentuan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dan Pasal 1 angka 4 PMK 1/2023, Majelis Kehormatan merupakan perangkat yang dibentuk untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat serta kode etik dan perilaku hakim konstitusi,” ucap dia. Akan tetapi, sambung Wahiduddin, MKMK tidak berwenang untuk melakukan penilaian hukum terhadap putusan MK, terlebih lagi turut mempersoalkan perihal keabsahan atau ketidakabsahan suatu putusan MK.
Dia menjelaskan bahwa apabila MKMK menyatakan berwenang melakukan penilaian terhadap putusan MK, maka hal tersebut telah melampaui batas kewenangannya dengan mendudukkan Majelis Kehormatan seakan memiliki superioritas legal tertentu terhadap MK. “Akan sama artinya dengan Majelis Kehormatan melecehkan prinsip kemerdekaan yang melekat pada MK sebagai pelaku kekuasaan kehakiman sekaligus melabrak sifat final dan mengikat putusan MK sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), sebagaimana dijabarkan dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK,” papar Wahiduddin.
Atas dasar itu, MKMK menolak atau tidak mempertimbangkan isu dalam laporan dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim konstitusi berkenaan dengan permintaan pelapor untuk membatalkan, mengoreksi, atau meninjau kembali Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 tersebut.
Atas putusan MKMK, terdapat pendapat berbeda (dissenting opinion), yaitu dari anggota MKMK Bintan R Saragih. Bintan menyatakan pendapat berbeda atau dissenting opinion atas putusan MKMK terhadap Ketua MK Anwar Usman yang terbukti melakukan pelanggaran berat atas kode etik dan perilaku hakim konstitusi. Bintan menyatakan pendapat berbeda karena ia ingin Anwar Usman diberikan sanksi pemberhentian tidak dengan hormat, bukan sekadar pemberhentian dari jabatan Ketua MK.
"Dasar saya memberikan pendapat berbeda, yaitu pemberhentian tidak dengan hormat kepada hakim terlapor sebagai hakim konstitusi, in casu Anwar Usman, karena hakim terlapor terbukti melakukan pelanggaran berat," kata Bintan di Gedung MK RI, Jakarta, Selasa kemarin. Menurut Bintan, seharusnya hakim terlapor yang terbukti melakukan pelanggaran berat diganjar sanksi pemberhentian tidak dengan hormat karena telah diatur pada Pasal 41 huruf c dan Pasal 47 Peraturan MK Nomor 1 Tahun 2023 tentang MKMK. "Sanksi terhadap pelanggaran berat hanya pemberhentian tidak dengan hormat dan tidak ada sanksi lain," tegas Bintan.
Ia mengatakan pendiriannya tersebut dilatarbelakangi oleh pengalamannya puluhan tahun sebagai akademisi. "Cara saya berpikir dan berpendapat selalu konsisten sebagai seorang ilmuwan atau akademisi. Oleh karena itu, dalam memandang dan menilai sesuatu masalah, peristiwa, keadaan, gejala yang ada, selalu berdasarkan apa adanya," imbuhnya. Di sisi lain, Bintan mengaku gembira karena anggota MKMK saling memahami dalam memeriksa dan memutus laporan masyarakat yang masuk. "Saya gembira bahwa dalam membuat putusan ini, kami bertiga bersikap saling memahami dan dalam suasana batin penuh senyum yang diakhiri dengan salaman bersama," ujarnya.
Dalam amar putusannya MKMK juga menyatakan bahwa hakim konstitusi Arief Hidayat terbukti melanggar Sapta Karsa Hutama, Prinsip Kepantasan dan Kesopanan menyoal pernyataannya di ruang publik yang merendahkan martabat MK, sehingga dijatuhkan sanksi teguran tertulis. "Hakim terlapor terbukti melanggar Sapta Karsa Hutama, Prinsip Kepantasan dan Kesopanan sepanjang terkait dengan pernyataan di ruang publik yang merendahkan martabat Mahkamah Konstitusi dan menjatuhkan sanksi teguran tertulis," kata Jimly Asshiddiqie. Sementara itu, terkait laporan yang menyatakan bahwa Arief Hidayat melanggar kode etik dan perilaku hakim mengenai pendapat berbeda atau dissenting opinion yang dinilai provokatif, hal tersebut tidak terbukti.
Namun demikian, Arief Hidayat terbukti secara bersama-sama melanggar etik menyangkut kebocoran informasi rahasia Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) dan pembiaran praktik benturan kepentingan para hakim konstitusi dalam penanganan perkara. "Menjatuhkan sanksi teguran secara lisan secara kolektif terhadap hakim terlapor dan hakim konstitusi lainnya," imbuh Jimly. Adapun yang melaporkan Arief Hidayat dalam perkara tersebut adalah Lembaga Bantuan Hukum Cipta Karya Keadilan, Tim Advokasi Peduli Hukum Indonesia, Advokat Pengawal Konstitusi, dan Advokat Lisan.
Lalu untuk hakim konstitusi Saldi Isra tidak terbukti melanggar kode etik dan perilaku hakim soal pendapat berbeda (dissenting opinion) dirinya dalam putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023. “Menyatakan hakim terlapor tidak terbukti melakukan pelanggaran terhadap kode etik dan perilaku hakim konstitusi sepanjang terkait pendapat berbeda (‘dissenting opinion’),” kata Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie. Namun begitu, Saldi Isra dinyatakan terbukti secara bersama-sama dengan para hakim konstitusi lainnya menyangkut kebocoran informasi rahasia Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) dan pembiaran praktik benturan kepentingan para hakim konstitusi dalam penanganan perkara.
Sedangkan putusan terkait laporan yang membuat enam hakim MK terlapor secara kolektif, yakni Manahan M P Sitompul, Enny Nurbaningsih, Suhartoyo, Wahiduddin Adams, Daniel Yusmic Pancastaki Foekh, dan M Guntur Hamzah, MKMK menyatakan hakim terlapor terbukti tidak dapat menjaga informasi rahasia dalam rapat permusyawaratan hakim yang bersifat tertutup sehingga melanggar prinsip kepantasan. "Memutuskan menyatakan para hakim terlapor secara bersama-sama terbukti melakukan pelanggaran terhadap kode etik," ucap Jimly. "Sanksi teguran lisan secara kolektif," ujar Jimly.
Ketua Komisi III DPR RI Bambang Wuryanto mengapresiasi putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang menjatuhkan sanksi pemberhentian dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) kepada Anwar Usman. “Sebagai Ketua Komisi III, saya ucapkan terimakasih dan apresiasi kepada Ketua MKMK yang memimpin sidang dengan baik dan mengambil keputusannya secara terbuka,” kata Bambang Pacul, sapaan karibnya, dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Selasa malam.
Menurut dia, putusan hakim MK tersebut dapat menjadi pembelajaran bagi anak bangsa atas kinerja hakim konstitusi. “Sungguh ini pembelajaran bagi setiap anak bangsa yang tertarik terhadap kinerja hakim-hakim MK RI. Ini bagus sekali,” ujarnya. Sebab, kata dia, siapapun dapat mengikuti dan ikut merasakan dialektika sekaligus dinamika proses sidang putusan dugaan pelanggaran etik terhadap hakim MK. "Kita telah mengikuti secara bersama proses persidangan MKMK dengan terbuka," kata dia.
Sebelumnya MKMK telah menyelesaikan pemeriksaan terhadap 21 laporan yang masuk. Pemeriksaan kepada pelapor dimulai dengan rapat dengan agenda klarifikasi pada hari Kamis (26/10) dan berakhir dengan sidang terbuka pada hari Jumat (3/11). Di sisi lain, pemeriksaan terhadap terlapor juga telah dirampungkan. Secara beruntun sejak Selasa (31/10) hingga Jumat (3/11) MKMK melakukan sidang tertutup kepada sembilan hakim konstitusi yang dilaporkan. MKMK memeriksa hakim konstitusi sebanyak satu kali, kecuali Ketua MK Anwar Usman sebanyak dua kali. Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie menjelaskan bahwa pemeriksaan terhadap Ketua MK harus dilakukan lebih dari satu kali karena Anwar Usman mendapatkan laporan terbanyak.
Adapun laporan tersebut bermunculan pasca-putusan MK yang mengabulkan sebagian Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Warga Negara Indonesia (WNI) bernama Almas Tsaqibbirru Re A dari Surakarta, Jawa Tengah. Atas putusan tersebut, Pasal 169 huruf q Undang-Undang Pemilu selengkapnya berbunyi "Berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah". Putusan itu menjadi kontroversi karena dinilai memuluskan jalan Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka, keponakan Anwar Usman, untuk melaju sebagai bakal calon wakil presiden 2024. 7 ant
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menjatuhkan sanksi pemberhentian dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) kepada Anwar Usman karena terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik dan perilaku hakim konstitusi. Hal ini berkaitan dengan putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 soal syarat usia capres-cawapres paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.
“Menjatuhkan sanksi pemberhentian dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi kepada hakim terlapor," kata Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie saat membacakan amar putusan di Gedung MK RI, Jakarta, Selasa (7/11) petang. Jimly mengatakan bahwa Anwar Usman terbukti melanggar Sapta Karsa Hutama, yakni Prinsip Ketidakberpihakan, Prinsip Integritas, Prinsip Kecakapan dan Kesetaraan, Prinsip Independensi, serta Prinsip Kepantasan dan Kesopanan.
"Memerintahkan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi untuk dalam waktu 2x24 jam sejak putusan ini selesai diucapkan, memimpin penyelenggaraan pemilihan pimpinan yang baru sesuai dengan peraturan perundang-undangan," ujar Jimly. Selain itu, Jimly menegaskan bahwa Anwar Usman tidak berhak untuk mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pimpinan MK sampai masa jabatannya sebagai hakim konstitusi berakhir.
Lebih lanjut, Anwar juga tidak diperbolehkan terlibat atau melibatkan diri dalam pemeriksaan Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum mendatang. "Hakim terlapor tidak diperkenankan terlibat atau melibatkan diri dalam pemeriksaan dan pengambilan keputusan dalam perkara perselisihan hasil Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD serta pemilihan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang memiliki potensi timbulnya benturan kepentingan," ucap Jimly.
Sementara terkait putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 soal syarat usia capres-cawapres paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah, MKMK menyatakan tidak berwenang menilai putusan MK tersebut. “Majelis Kehormatan tidak berwenang menilai putusan Mahkamah Konstitusi, in casu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023,” kata Jimly Asshiddiqie. Lebih lanjut, dijelaskan anggota MKMK Wahiduddin Adams mengatakan bahwa MKMK diberi kewenangan untuk menjangkau dan mencakup segala upaya dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat serta kode etik dan perilaku hakim konstitusi.
“Bahwa berdasarkan ketentuan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dan Pasal 1 angka 4 PMK 1/2023, Majelis Kehormatan merupakan perangkat yang dibentuk untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat serta kode etik dan perilaku hakim konstitusi,” ucap dia. Akan tetapi, sambung Wahiduddin, MKMK tidak berwenang untuk melakukan penilaian hukum terhadap putusan MK, terlebih lagi turut mempersoalkan perihal keabsahan atau ketidakabsahan suatu putusan MK.
Dia menjelaskan bahwa apabila MKMK menyatakan berwenang melakukan penilaian terhadap putusan MK, maka hal tersebut telah melampaui batas kewenangannya dengan mendudukkan Majelis Kehormatan seakan memiliki superioritas legal tertentu terhadap MK. “Akan sama artinya dengan Majelis Kehormatan melecehkan prinsip kemerdekaan yang melekat pada MK sebagai pelaku kekuasaan kehakiman sekaligus melabrak sifat final dan mengikat putusan MK sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), sebagaimana dijabarkan dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK,” papar Wahiduddin.
Atas dasar itu, MKMK menolak atau tidak mempertimbangkan isu dalam laporan dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim konstitusi berkenaan dengan permintaan pelapor untuk membatalkan, mengoreksi, atau meninjau kembali Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 tersebut.
Atas putusan MKMK, terdapat pendapat berbeda (dissenting opinion), yaitu dari anggota MKMK Bintan R Saragih. Bintan menyatakan pendapat berbeda atau dissenting opinion atas putusan MKMK terhadap Ketua MK Anwar Usman yang terbukti melakukan pelanggaran berat atas kode etik dan perilaku hakim konstitusi. Bintan menyatakan pendapat berbeda karena ia ingin Anwar Usman diberikan sanksi pemberhentian tidak dengan hormat, bukan sekadar pemberhentian dari jabatan Ketua MK.
"Dasar saya memberikan pendapat berbeda, yaitu pemberhentian tidak dengan hormat kepada hakim terlapor sebagai hakim konstitusi, in casu Anwar Usman, karena hakim terlapor terbukti melakukan pelanggaran berat," kata Bintan di Gedung MK RI, Jakarta, Selasa kemarin. Menurut Bintan, seharusnya hakim terlapor yang terbukti melakukan pelanggaran berat diganjar sanksi pemberhentian tidak dengan hormat karena telah diatur pada Pasal 41 huruf c dan Pasal 47 Peraturan MK Nomor 1 Tahun 2023 tentang MKMK. "Sanksi terhadap pelanggaran berat hanya pemberhentian tidak dengan hormat dan tidak ada sanksi lain," tegas Bintan.
Ia mengatakan pendiriannya tersebut dilatarbelakangi oleh pengalamannya puluhan tahun sebagai akademisi. "Cara saya berpikir dan berpendapat selalu konsisten sebagai seorang ilmuwan atau akademisi. Oleh karena itu, dalam memandang dan menilai sesuatu masalah, peristiwa, keadaan, gejala yang ada, selalu berdasarkan apa adanya," imbuhnya. Di sisi lain, Bintan mengaku gembira karena anggota MKMK saling memahami dalam memeriksa dan memutus laporan masyarakat yang masuk. "Saya gembira bahwa dalam membuat putusan ini, kami bertiga bersikap saling memahami dan dalam suasana batin penuh senyum yang diakhiri dengan salaman bersama," ujarnya.
Dalam amar putusannya MKMK juga menyatakan bahwa hakim konstitusi Arief Hidayat terbukti melanggar Sapta Karsa Hutama, Prinsip Kepantasan dan Kesopanan menyoal pernyataannya di ruang publik yang merendahkan martabat MK, sehingga dijatuhkan sanksi teguran tertulis. "Hakim terlapor terbukti melanggar Sapta Karsa Hutama, Prinsip Kepantasan dan Kesopanan sepanjang terkait dengan pernyataan di ruang publik yang merendahkan martabat Mahkamah Konstitusi dan menjatuhkan sanksi teguran tertulis," kata Jimly Asshiddiqie. Sementara itu, terkait laporan yang menyatakan bahwa Arief Hidayat melanggar kode etik dan perilaku hakim mengenai pendapat berbeda atau dissenting opinion yang dinilai provokatif, hal tersebut tidak terbukti.
Namun demikian, Arief Hidayat terbukti secara bersama-sama melanggar etik menyangkut kebocoran informasi rahasia Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) dan pembiaran praktik benturan kepentingan para hakim konstitusi dalam penanganan perkara. "Menjatuhkan sanksi teguran secara lisan secara kolektif terhadap hakim terlapor dan hakim konstitusi lainnya," imbuh Jimly. Adapun yang melaporkan Arief Hidayat dalam perkara tersebut adalah Lembaga Bantuan Hukum Cipta Karya Keadilan, Tim Advokasi Peduli Hukum Indonesia, Advokat Pengawal Konstitusi, dan Advokat Lisan.
Lalu untuk hakim konstitusi Saldi Isra tidak terbukti melanggar kode etik dan perilaku hakim soal pendapat berbeda (dissenting opinion) dirinya dalam putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023. “Menyatakan hakim terlapor tidak terbukti melakukan pelanggaran terhadap kode etik dan perilaku hakim konstitusi sepanjang terkait pendapat berbeda (‘dissenting opinion’),” kata Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie. Namun begitu, Saldi Isra dinyatakan terbukti secara bersama-sama dengan para hakim konstitusi lainnya menyangkut kebocoran informasi rahasia Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) dan pembiaran praktik benturan kepentingan para hakim konstitusi dalam penanganan perkara.
Sedangkan putusan terkait laporan yang membuat enam hakim MK terlapor secara kolektif, yakni Manahan M P Sitompul, Enny Nurbaningsih, Suhartoyo, Wahiduddin Adams, Daniel Yusmic Pancastaki Foekh, dan M Guntur Hamzah, MKMK menyatakan hakim terlapor terbukti tidak dapat menjaga informasi rahasia dalam rapat permusyawaratan hakim yang bersifat tertutup sehingga melanggar prinsip kepantasan. "Memutuskan menyatakan para hakim terlapor secara bersama-sama terbukti melakukan pelanggaran terhadap kode etik," ucap Jimly. "Sanksi teguran lisan secara kolektif," ujar Jimly.
Ketua Komisi III DPR RI Bambang Wuryanto mengapresiasi putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang menjatuhkan sanksi pemberhentian dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) kepada Anwar Usman. “Sebagai Ketua Komisi III, saya ucapkan terimakasih dan apresiasi kepada Ketua MKMK yang memimpin sidang dengan baik dan mengambil keputusannya secara terbuka,” kata Bambang Pacul, sapaan karibnya, dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Selasa malam.
Menurut dia, putusan hakim MK tersebut dapat menjadi pembelajaran bagi anak bangsa atas kinerja hakim konstitusi. “Sungguh ini pembelajaran bagi setiap anak bangsa yang tertarik terhadap kinerja hakim-hakim MK RI. Ini bagus sekali,” ujarnya. Sebab, kata dia, siapapun dapat mengikuti dan ikut merasakan dialektika sekaligus dinamika proses sidang putusan dugaan pelanggaran etik terhadap hakim MK. "Kita telah mengikuti secara bersama proses persidangan MKMK dengan terbuka," kata dia.
Sebelumnya MKMK telah menyelesaikan pemeriksaan terhadap 21 laporan yang masuk. Pemeriksaan kepada pelapor dimulai dengan rapat dengan agenda klarifikasi pada hari Kamis (26/10) dan berakhir dengan sidang terbuka pada hari Jumat (3/11). Di sisi lain, pemeriksaan terhadap terlapor juga telah dirampungkan. Secara beruntun sejak Selasa (31/10) hingga Jumat (3/11) MKMK melakukan sidang tertutup kepada sembilan hakim konstitusi yang dilaporkan. MKMK memeriksa hakim konstitusi sebanyak satu kali, kecuali Ketua MK Anwar Usman sebanyak dua kali. Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie menjelaskan bahwa pemeriksaan terhadap Ketua MK harus dilakukan lebih dari satu kali karena Anwar Usman mendapatkan laporan terbanyak.
Adapun laporan tersebut bermunculan pasca-putusan MK yang mengabulkan sebagian Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Warga Negara Indonesia (WNI) bernama Almas Tsaqibbirru Re A dari Surakarta, Jawa Tengah. Atas putusan tersebut, Pasal 169 huruf q Undang-Undang Pemilu selengkapnya berbunyi "Berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah". Putusan itu menjadi kontroversi karena dinilai memuluskan jalan Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka, keponakan Anwar Usman, untuk melaju sebagai bakal calon wakil presiden 2024. 7 ant
1
Komentar