MUTIARA WEDA: Bhakti dan Identitas Diri
kāyena vāchā manasendriyair dan buddhyātmanā vānusṛita-svabhāvāt, karoti yad yat sakalaṁ parasmai nārāyaṇāyeti samarpayet tat. (Bhagavatam 11.2.36)
Apa pun yang dilakukan seseorang dengan tubuh, perkataan, pikiran, indera, dan kecerdasan, sesuai dengan sifat individualnya, harus dipersembahkan kepada Narayan.
APA maksudnya teks di atas? Kalau ada pernyataan ‘apapun yang engkau persembahkan, apakah sebiji buah, sehelai daun, seteguk air, dan yang lainnya’ mungkin mudah mengertinya. Mengapa? Karena ada benda yang dipersembahkan. Sementara pernyataan teks di atas, sepertinya, bukan benda yang dipersembahkan, melainkan tindakan, apakah dengan tubuh, pikiran, indera, dan yang lainnya. Pemahaman sederhana kita tentang persembahan adalah mempersembahkan benda, apakah banten, canang, buah, dan yang lainnya. Kemudian, jika yang dipersembahkan adalah tindakan, bagaimana teknisnya? Apalagi teks di atas tidak menyebut tindakan khusus tertentu, melainkan semua tindakan, sehingga apapun tindakan itu mesti dipersembahkan kepada Tuhan.
Caranya bagaimana? Tentu tidak sama bentuknya seperti mempersembahkan banten, canang, buah, bunga atau benda lainnya. Namun, kondisi pikiran kita mungkin sama, yakni totalitas, tulus, ikhlas, tanpa keterikatan. Bisa dikatakan, apapun bentuk persembahan itu, apakah benda atau tindakan, intensitasnya yang penting. Bagaimana cara kerja dari ‘totalitas, tulus, dan ikhlas’ tersebut pada saat mempersembahkan tindakan? Jika diselidiki secara mendalam, bhakti ini berhubungan dengan ‘doer’ – ‘pelaku’. Semakin kuat kita mengidentifikasi sebagai ‘aku’ atas pekerjaan yang dilakukan, semakin kecil kualitas persembahan itu. Jika yang mengerjakan adalah ‘aku’ termasuk mengerjakan bhakti, maka kita akan kehilangan rasa tulus ikhlas tersebut. Mengapa? Karena rasa tulus ikhlas itu tanpa jejak, artinya ‘doer’ tidak lagi ada.
Jika tidak ada, terus siapa yang melakukan? Teks di atas menyebut ‘Narayan’. Semuanya adalah kehendak-Nya. Hanya Beliau pelakunya. Ketika ‘aku’ ego telah lenyap, maka itulah puncak dari persembahan, puncak bhakti itu sendiri. Teks di atas mengajak kita untuk mempersembahkan tindakan kita sehari-hari, apapun jenisnya. Untuk apa? Untuk mengikis secara perlahan ‘doer’ itu. Untuk apa dikikis? Orang yang mengerjakan sesuatu tidak sebagai ‘doer’ melainkan sebagai saksi, maka dualitas yang ditimbulkan dari tindakan itu tidak lagi mengikat. Rasa susah senang, baik buruk, bahagia menderita adalah konsekuensi dari ‘doer’ melakukan sesuatu. Jika pelaku adalah Beliau, maka semua akibat tidak lagi menghampiri. Inilah prinsip bhakti yang hakiki.
Permasalahannya adalah bagaimana caranya agar pelaku (doer) itu tidak hadir? Problem utamanya memang di sini. Selama ini kita merasa telah melaksanakan bhakti dengan baik, namun masalah terus saja hadir. Kita lalu berpikir bahwa Tuhan tidak adil atau Tuhan tidak merespons bhakti yang kita lakukan ke hadapan-Nya. Berbagai upaya telah kita lakukan, berbagai persembahan telah dikerjakan, berbagai pengorbanan telah dilewati, tetapi mengapa penderitaan tetap hadir dan bahkan lebih banyak dari yang dipikirkan. Itu yang terjadi pada sebagian besar kita. Oleh karena kita juga tetap mendapat halangan, kesakitan, dan sejenisnya, kita kemudian ‘ngambul’, merasa bahwa bhakti yang kita lakukan telah sia-sia, dan kita tidak lagi melanjutkan proses bhakti itu. Ada semacam rasa kecewa, putus asa, merasa tidak berguna atas semua yang dilakukan selama ini.
Ini adalah persoalan semua orang. Orang yang melakukan pemujaan ataupun tidak, akan tetap merasakan ketidakbahagiaan. Orang yang memuja berupaya dengan memohon anugerah Beliau agar masalah tidak datang dan selalu dalam kondisi bahagia. Namun, itu tidak bisa sesuai keinginan. Alam telah punya mekanismenya dan tidak bisa disogok oleh apapun. Artinya, sepanjang pelaku masih ada, dualitas kehidupan akan tetap ada. Tujuan dari bhakti sebenarnya bukan untuk menghilangkan derita itu melalui harapan-harapan. Tujuan utama bhakti adalah mengikis identitas diri kita, bahwa kita bukanlah pelaku atas semua tindakan itu, melainkan hanya sebagai saksi. Pelaku dari semua tindakan kita adalah Beliau sendiri. Kita hanya alat Beliau. Lalu, jika bukan kita sebagai pelaku tindakan, terus siapa yang diminta mempertanggungjawabkan hasil tindakan itu? Bukankah ini berbahaya? Sepanjang ada tubuh, dan tubuh itu yang bertindak, maka konsekuensinya pasti mengarah ke tubuh itu. Ini tidak perlu diragukan, namun identitas kita tidak lagi hadir di sana. 7
I Gede Suwantana
Direktur Bali Vedanta Institute
Komentar