Menimbang Karakteristik Pemilih Perempuan di Bali: Keputusan Politik Dipengaruhi Orang Dekat
DENPASAR, NusaBali.com - Pemilih perempuan menjadi segmen mayoritas di Bali pada Pemilu 2024 ini, suaranya bisa menjadi penentu kemenangan. Namun, pengamat politik menilai, perempuan kurang mandiri ketika menentukan pilihan politik.
Dilihat dari jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang ditetapkan KPU Bali pada Juni 2023 lalu, ada 3.269.516 pemilih tetap di Provinsi Bali. DPT ini terdiri dari 1.617.276 pemilih laki-laki dan 1.652.240 pemilih perempuan. Pemilih perempuan lebih banyak 34.964 orang daripada pemilih laki-laki.
Berdasarkan DPT, pemilih perempuan jadi mayoritas hampir di seluruh kabupaten/kota kecuali Kabupaten Bangli dan Karangasem. Akan tetapi, selisihnya tidak lebih dari seribuan pemilih. Untuk itu, suara perempuan ini sangat menggiurkan apabila seluruh pemilih perempuan datang memilih ke Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Sayangnya, Dr Ni Wayan Widhiasthini SSos MSi, mantan Komisioner KPU Provinsi Bali Periode 2013-2018 dan akademisi Ilmu Sosial dan Politik di Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas) menilai, pemilih perempuan dalam menentukan pilihannya kurang mandiri. Keputusan yang mereka ambil dilatarbelakangi faktor sosial budaya dan ekonomi.
"Bukan saja di Bali, hasil penelitian menunjukkan pemilih perempuan tidak mandiri dalam menentukan pilihan politiknya. Inilah yang perlu terus diedukasi bahwa mereka berhak menentukan pilihan sendiri secara langsung, rahasia, jujur, dan adil tanpa pengaruh orang lain," beber Widhiasthini kepada NusaBali.com, Rabu (8/11/2023).
Pengaruh patriarki dinilai sangat kuat di Bali baik secara sosial maupun budaya. Hal ini juga mempengaruhi proses pemilih perempuan menentukan pilihan politiknya yang cenderung dipengaruhi pasangan. Pilihan dan pandangan politik pasangan membentuk pilihan dan pandangan politik pemilih perempuan.
Faktor patriarki ini berlanjut ke tahap pengaruh sosial di luar keluarga utama, misalnya organisasi berbasis patrilineal. Perkumpulan dadia atau klan juga membentuk perspektif politik pemilih perempuan. Sudah bukan rahasia lagi bahwa beberapa organisasi klan di Bali ikut politik praktis dengan mendukung politisi tertentu.
Di samping itu, lingkungan sosial di Bali dinilai luas lantaran dengan adanya berbagai organisasi dan entitas adat seperti banjar dan sekaa. Pola keterikatan dan kondisi politik yang terbentuk di suatu lingkungan sosial ini pun mempengaruhi cara pemilih perempuan menentukan pilihan politiknya.
Sifat ikut-ikutan ini memuncak pada suatu titik di mana ditemukan bahwa pemilih perempuan justru jarang memilih sosok wakil perempuan. Hal ini sebagai akibat dari pengaruh patriaki yang begitu kuat dan mengkultuskan laki-laki sebagai sosok pemimpin yang dominan.
Kata Widhiasthini, fenemona ini harus digali lebih jauh terutama soal keenganan pemilih perempuan memilih calon perempuan. Apakah itu soal pendidikan politik yang tidak berjalan sehingga pemilih perempuan cenderung mudah dipengaruhi dan tidak memahami haknya sebagai pemilih yang setara dengan laki-laki.
"Perempuan merasa sebagai the second-class citizen (warga kelas dua) di mana yang menentukan keputusan itu laki-laki. Namun, begitu di era keterbukaan seperti sekarang dan mereka diberikan kebebasan untuk memilih, mereka ragu-ragu dan akhirnya bertanya ke orang dekat," imbuh akademisi kelahiran Desa Ulakan, Kecamatan Manggis, Karangasem ini.
Tidak hanya di kalangan pemilih murni, di kalangan politisi perempuan juga termanifestasi hal serupa. Namun, faktornya berlanjut ke ranah ekonomi. Biaya politik misalnya, Widhiasthini melihat, para calon perempuan ini pun belum mandiri sehingga mengekang langkah politik mereka.
Dua posisi dan karakteristik perempuan dalam konteks Pemilu ini lantas bertemu. Di satu sisi, pemilih perempuan tidak mandiri menentukan keputusan politik. Di sisi lain, politisi perempuan 'bertarung bebas' dengan politisi laki-laki di tengah pengaruh patriarki yang membentuk karakter pemilih perempuan.
"Hingga saat ini, perempuan hanya dikawal pada tahap pencalonan dengan aturan kuota keterwakilan minimal 30 persen, titik. Tapi, ini hanya di pencalonan, setelah itu ya sudah tarung bebas," tutur jebolan Doktor Kajian Budaya, Universitas Udayana (Unud) ini.
Menurut Widhiasthini, jika ke depan ada sistem yang memungkinkan calon perempuan bertarung dengan sesama perempuan akan lebih fair. Namun, untuk saat ini yang dinilai lebih penting adalah bagaimana pemilih perempuan ini bisa menjadi subjek bagi keputusan politiknya.
Sementara untuk calon perempuan, Wakil Rektor Bidang Pengembangan Akademik Undiknas ini berharap, mereka bisa bermain di isu yang lebih strategis di daerah pemilihan masing-masing, tidak sekadar isu keperempuanan. Pola ini juga untuk menambah daya jual kepada para pemilih di luar kalangan pemilih perempuan.
"Lebih banyak bermain di media sosial karena pemilih perempuan itu sudah moderat sekarang dan pemilih milenial itu besar. Apa-apa yang ingin mereka cari tahu itu melalui ponsel pintar. Ibu-ibu misalnya kalau mau cari resep larinya ke media sosial," tukas Widhiasthini. *rat
Komentar