Tradisi Unik Berupa Perang Api dengan Sarana Danyuh, Simbol Pembersihan
Tradisi Lukat Gni dari Desa Paksebali, Klungkung Diusulkan Jadi Warisan Budaya Tak Benda (WBTB)
Lukat Gni menggunakan sarana daun kelapa kering (danyuh) yang diikat sebanyak 36 lembar atau dijumlah sembilan, simbol penjuru arah mata angin (Dewata Nawa Sanga)
SEMARAPURA, NusaBali
Tradisi Lukat Gni atau perang api yang digelar oleh krama Puri Satria Kawan, Desa Paksebali, Kecamatan Dawan, Klungkung diusulkan masuk sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) tahun 2023. Tradisi yang diwariskan secara turun-temurun ini digelar setiap tahun pada Rahina Tilem Sasih Kesanga atau malam Pangrupukan, sehari menjelang perayaan Nyepi. Terkait usulan ini terungkap dalam seminar hasil kajian Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) 2023 di Museum Semarajaya, Kota Semarapura, Kecamatan/Kabupaten Klungkung, Selasa (14/11). Hadir dalam kegiatan ini Tim WBTB Kabupaten Klungkung, tokoh masyarakat dan undangan lainnya.
Selain Tradisi Lukat Gni, tiga tradisi lainnya juga masuk usulan, yakni Kesenian Gambang dari Desa Adat Tangkas, Desa Tangkas, Kecamatan Klungkung, Kesenian Gandrung di Desa Adat Batukandik, Desa Batukandik, Kecamatan Nusa Penida, dan Tradisi Meprani di Desa Adat Banjarangkan, Desa Banjarangkan Kecamatan Banjarangkan.
Lukat Gni berasal dari dua kata, lukat dan gni. Lukat/malukat berarti pembersihan dari segala kotoran lahir/bathin, dan gni berarti api. Lukat gni dapat diartikan sebagai sebuah tradisi pembersihan atau penyucian buwana alit dan buwana agung dari segala kekotoran atau mala dengan sarana api dan menjaga keseimbangan alam dan manusia, sehingga terjadi keharmonisan dalam pelaksanaan Catur Brata Penyepian.
Tradisi Lukat Gni atau perang api yang digelar oleh krama Puri Satria Kawan, Desa Paksebali, Kecamatan Dawan, Klungkung diusulkan masuk sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) tahun 2023. Tradisi yang diwariskan secara turun-temurun ini digelar setiap tahun pada Rahina Tilem Sasih Kesanga atau malam Pangrupukan, sehari menjelang perayaan Nyepi. Terkait usulan ini terungkap dalam seminar hasil kajian Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) 2023 di Museum Semarajaya, Kota Semarapura, Kecamatan/Kabupaten Klungkung, Selasa (14/11). Hadir dalam kegiatan ini Tim WBTB Kabupaten Klungkung, tokoh masyarakat dan undangan lainnya.
Selain Tradisi Lukat Gni, tiga tradisi lainnya juga masuk usulan, yakni Kesenian Gambang dari Desa Adat Tangkas, Desa Tangkas, Kecamatan Klungkung, Kesenian Gandrung di Desa Adat Batukandik, Desa Batukandik, Kecamatan Nusa Penida, dan Tradisi Meprani di Desa Adat Banjarangkan, Desa Banjarangkan Kecamatan Banjarangkan.
Lukat Gni berasal dari dua kata, lukat dan gni. Lukat/malukat berarti pembersihan dari segala kotoran lahir/bathin, dan gni berarti api. Lukat gni dapat diartikan sebagai sebuah tradisi pembersihan atau penyucian buwana alit dan buwana agung dari segala kekotoran atau mala dengan sarana api dan menjaga keseimbangan alam dan manusia, sehingga terjadi keharmonisan dalam pelaksanaan Catur Brata Penyepian.
Prosesi ritual tradisi Lukat Gni diawali dengan panglukatan pada salah satu sumber Mata Air Seganing di Desa Paksebali. Dilanjutkan persembahyangan bersama di Pura Satria Kawan, stana Ida Bhatara Gede Sakti berupa Barong. Selanjutnya, persiapan sarana dan prasarana upacara, di antaranya obor dari danyuh (daun kelapa kering).
Krama bersembahyang bersama di pura atau merajan setempat guna memohon keselamatan dan kelancaran pelaksanaan lukat gni. Puluhan pemuda ikut ambil bagian dalam kegiatan ini. Pelaksanaan Lukat Gni dilakukan di catus pata desa. Para peserta selanjutnya menghantamkan api danyuh (daun kelapa kering) yang diikat kepada masing-masing lawan. Saat Lukat Gni berlangsung tidak tampak luka meski para peserta saling pukul dengan bara api dari danyuh tersebut. Suasana pun tambah semarak dengan iringan tabuh gambelan.
Tradisi Lukat Gni adalah suatu cara pembersihan/panglukatan diri menggunakan sarana api (Dewa Brahma). Lukat Gni atau perang api menggunakan sarana dari daun kelapa kering yang diikat sebanyak 36 lembar atau dijumlah sembilan. Jumlah ini berada dalam sembilan penjuru arah mata angin atau Dewata Nawa Sanga sebagai pelindung atau benteng keselamatan.
Selain itu, obor sebanyak 33 buah juga melengkapi pelaksanaan tradisi ini. Jumlah 33 ini sebagai kekuatan yang terbagi sesuai arah mata angin dan warna. Dari arah timur sebanyak lima buah, selatan sembilan buah, barat tujuh buah dan utara empat buah serta posisi tengah sebagai poros utama sebanyak delapan buah.
Kepala Dinas Kebudayaan (Kadisbud) Klungkung, I Ketut Suadnyana mengungkapkan usulan WBTB sebagai langkah awal Pemkab Klungkung dalam upaya pelindungan objek pemajuan kebudayaan sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. "Selain Lukat Gni juga disusulkan 3 mata kebudayaan lainnya, sehingga setiap kecamatan diusulkan masing-masing 1 mata kebudayaan," ujar Suadnyana.
Untuk di Kecamatan Klungkung mengusulkan Kesenian Gambang di Desa Adat Tangkas, Desa Tangkas, Kecamatan Klungkung. Kesenian Gandrung di Desa Adat Batukandik, Desa Batukandik, Kecamatan Nusa Penida dan Tradisi Meprani di Desa Adat Banjarangkan, Desa Banjarangkan Kecamatan Banjarangkan. "Tujuan dari seminar ini adalah untuk memperoleh saran dan masukan dari tokoh masyarakat/maestro yang memahami tentang mata budaya yang diseminarkan untuk penyempurnaan materi yang akan kita daftarkan dan diusulkan sebagai WBTB," imbuh Kadisbud Suadnyana. 7 wan
1
Komentar