Diharapkan Bisa Membentuk Karakter Gaya Hidup Berkelanjutan
Siswa SMK Negeri 1 Denpasar Olah Sampah Jadi Produk Bernilai Seni dan Ekonomi
Produk ‘Wajah Plastik’ memanfaatkan bekas kemasan plastik cemilan yang dipotong sedemikian rupa, lalu ditempel dalam bingkai hingga menyerupai wajah
DENPASAR, NusaBali
Peserta didik kelas X di SMK Negeri 1 Denpasar (Skensa) berhasil mengolah sampah organik dan non organik menjadi produk bernilai seni dan memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Produk-produk yang dihasilkan siswa berupa karya seni rupa, ecobrics, dan kerajinan tangan lainnya ini merupakan hasil dari program Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) di Kurikulum Merdeka.
I Wayan Sudiatmika,33, Wakil Kepala Bidang Akademik SMKN 1 Denpasar menjelaskan, giat menginovasikan sampah dari lingkungan sekolah ini dikemas dalam konsep 'Skensa Mandiri Olah Sampah' (Samosa). Pada, Jumat (17/11) pagi sebanyak 75 kelompok yang dibentuk dari sekitar 800 peserta didik kelas X memamerkan produk Samosa masing-masing di halaman sekolah. Produk terpilih diberikan kesempatan untuk didemonstrasikan di hadapan seluruh warga sekolah.
"Di kelas X, kami punya 25 kelas dengan total kurang lebih 800 peserta didik. Seluruh peserta didik kami di kelas X ini bersama-sama membentuk 75 kelompok dan menggarap produk Samosa masing-masing," beber Sudiatmika. Kata Sudiatmika, tema besar dalam program P5 Samosa ini adalah 'Gaya Hidup Berkelanjutan' yang khusus menyoroti topik pengolahan sampah. Pria kelahiran Desa Kedewatan, Kecamatan Ubud, Gianyar ini menyebut sampah sebagai masalah bersama yang belum ada solusi riilnya.
Dengan konsep Samosa, secara tidak langsung para peserta didik melakukan langkah mengolah sampah yang dimulai dengan pemilahan. Sebab, produk Samosa dari sampah organik dan non organik digarap dipisahkan. Oleh karena itu, peserta didik belajar memilah dua jenis sampah ini. Kemudian, sampah yang sudah dipilah itu direka menjadi produk-produk bernilai estetika dan ekonomi yang menjanjikan.
"Yang dari sampah organik itu kami kelompokkan agar diolah menjadi kompos, kerajinan tangan, dan pot bunga dari residu pembakaran sampah organik," jelas Sudiatmika yang juga Wakil Kepala Sekolah (Wakasek) muda jebolan Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) ini.
Sedangkan untuk sampah non organik ada juga yang diolah menjadi kerajinan tangan. Selain itu, dimanfaatkan pula sebagai ecobrics (bata ramah lingkungan) dan Wajah Plastik. Khusus untuk Wajah Plastik ini merupakan kolaborasi dengan guru tamu Made Agus Janardana (Made Oplas). Wajah Plastik memanfaatkan bekas kemasan plastik cemilan yang dipotong sedemikian rupa. Kemudian ditempel di dalam bingkai selayaknya foto hingga menyerupai wajah. Wajah Plastik yang dibuat peserta didik memuat wajah pahlawan hingga Kepala Sekolah (Kasek) SMKN 1 Denpasar, I Wayan Mustika.
Yang cukup banyak menyerap sampah non organik khususnya plastik adalah ecobrics. 'Bata' yang terbuat dari botol plastik air dalam kemasan yang diisi penuh hingga padat dengan plastik bekas kemasan cemilan. Ecobrics ini dikreasikan menjadi 'mebrics' atau mebel/furniture ecobrics seperti karya kelompok yang digawangi Putu Agus Putra Winata,15, siswa Kelas X Program Keahlian Desain Komunikasi Visual.
"Kami membuat kursi ecobrics yang rangkanya terdiri dari 12 botol ukuran 1,5 liter. Satu botol itu berisi sampah plastik yang beratnya antara 400-500 gram," tutur Winata di sela pameran di halaman sekolah pada, Jumat pagi. Tidak sekadar ecobrics yang ditempel seadanya, kursi yang dibuat Winata bersama 8 rekannya ini ditutup kardus. Kemudian, dipercantik dengan bungkusan kain dan dilengkapi busa sehingga nyaman digunakan.
Kata remaja asal Buleleng ini, kursi ecobrics karya mereka bisa digunakan di pojok baca dan ruang belajar. Menurut Winata, beban maksimal yang bisa ditahan kursi ecobrics ini adalah 100 kilogram. "Biaya pembuatannya itu sekitar Rp 50.000 untuk beli plester dan gunting. Jauh lebih murah dari kursi di pasaran dan tentunya lebih ramah lingkungan karena kami mengurangi 400-500 gram dikali 12 (6 kilogram) sampah plastik," ungkap Winata.
Produk Samosa karya peserta didik ini akan dimanfaatkan penggunaannya di sekolah. Pot bunga akan disebar di beberapa titik di sekolah. Kerajinan tangan dan Wajah Plastik bergambar wajah pahlawan dan wajah kepala akan digantung di ruang kelas dan ruang kepala sekolah. Begitu pula dengan mebel ecobrics yang bakal digunakan melengkapi kekurangan furnitur di lobi sekolah dan ruangan lain yang memerlukan. "Kami sudah berusaha mengurangi sampah termasuk saat penggarapan Samosa. Produk ini akan kami sesuaikan untuk dipajang di sekolah, jadi tidak ada yang dibawa pulang lagi," tukas Sudiatmika. 7 ol1
Peserta didik kelas X di SMK Negeri 1 Denpasar (Skensa) berhasil mengolah sampah organik dan non organik menjadi produk bernilai seni dan memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Produk-produk yang dihasilkan siswa berupa karya seni rupa, ecobrics, dan kerajinan tangan lainnya ini merupakan hasil dari program Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) di Kurikulum Merdeka.
I Wayan Sudiatmika,33, Wakil Kepala Bidang Akademik SMKN 1 Denpasar menjelaskan, giat menginovasikan sampah dari lingkungan sekolah ini dikemas dalam konsep 'Skensa Mandiri Olah Sampah' (Samosa). Pada, Jumat (17/11) pagi sebanyak 75 kelompok yang dibentuk dari sekitar 800 peserta didik kelas X memamerkan produk Samosa masing-masing di halaman sekolah. Produk terpilih diberikan kesempatan untuk didemonstrasikan di hadapan seluruh warga sekolah.
"Di kelas X, kami punya 25 kelas dengan total kurang lebih 800 peserta didik. Seluruh peserta didik kami di kelas X ini bersama-sama membentuk 75 kelompok dan menggarap produk Samosa masing-masing," beber Sudiatmika. Kata Sudiatmika, tema besar dalam program P5 Samosa ini adalah 'Gaya Hidup Berkelanjutan' yang khusus menyoroti topik pengolahan sampah. Pria kelahiran Desa Kedewatan, Kecamatan Ubud, Gianyar ini menyebut sampah sebagai masalah bersama yang belum ada solusi riilnya.
Dengan konsep Samosa, secara tidak langsung para peserta didik melakukan langkah mengolah sampah yang dimulai dengan pemilahan. Sebab, produk Samosa dari sampah organik dan non organik digarap dipisahkan. Oleh karena itu, peserta didik belajar memilah dua jenis sampah ini. Kemudian, sampah yang sudah dipilah itu direka menjadi produk-produk bernilai estetika dan ekonomi yang menjanjikan.
"Yang dari sampah organik itu kami kelompokkan agar diolah menjadi kompos, kerajinan tangan, dan pot bunga dari residu pembakaran sampah organik," jelas Sudiatmika yang juga Wakil Kepala Sekolah (Wakasek) muda jebolan Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) ini.
Sedangkan untuk sampah non organik ada juga yang diolah menjadi kerajinan tangan. Selain itu, dimanfaatkan pula sebagai ecobrics (bata ramah lingkungan) dan Wajah Plastik. Khusus untuk Wajah Plastik ini merupakan kolaborasi dengan guru tamu Made Agus Janardana (Made Oplas). Wajah Plastik memanfaatkan bekas kemasan plastik cemilan yang dipotong sedemikian rupa. Kemudian ditempel di dalam bingkai selayaknya foto hingga menyerupai wajah. Wajah Plastik yang dibuat peserta didik memuat wajah pahlawan hingga Kepala Sekolah (Kasek) SMKN 1 Denpasar, I Wayan Mustika.
Yang cukup banyak menyerap sampah non organik khususnya plastik adalah ecobrics. 'Bata' yang terbuat dari botol plastik air dalam kemasan yang diisi penuh hingga padat dengan plastik bekas kemasan cemilan. Ecobrics ini dikreasikan menjadi 'mebrics' atau mebel/furniture ecobrics seperti karya kelompok yang digawangi Putu Agus Putra Winata,15, siswa Kelas X Program Keahlian Desain Komunikasi Visual.
"Kami membuat kursi ecobrics yang rangkanya terdiri dari 12 botol ukuran 1,5 liter. Satu botol itu berisi sampah plastik yang beratnya antara 400-500 gram," tutur Winata di sela pameran di halaman sekolah pada, Jumat pagi. Tidak sekadar ecobrics yang ditempel seadanya, kursi yang dibuat Winata bersama 8 rekannya ini ditutup kardus. Kemudian, dipercantik dengan bungkusan kain dan dilengkapi busa sehingga nyaman digunakan.
Kata remaja asal Buleleng ini, kursi ecobrics karya mereka bisa digunakan di pojok baca dan ruang belajar. Menurut Winata, beban maksimal yang bisa ditahan kursi ecobrics ini adalah 100 kilogram. "Biaya pembuatannya itu sekitar Rp 50.000 untuk beli plester dan gunting. Jauh lebih murah dari kursi di pasaran dan tentunya lebih ramah lingkungan karena kami mengurangi 400-500 gram dikali 12 (6 kilogram) sampah plastik," ungkap Winata.
Produk Samosa karya peserta didik ini akan dimanfaatkan penggunaannya di sekolah. Pot bunga akan disebar di beberapa titik di sekolah. Kerajinan tangan dan Wajah Plastik bergambar wajah pahlawan dan wajah kepala akan digantung di ruang kelas dan ruang kepala sekolah. Begitu pula dengan mebel ecobrics yang bakal digunakan melengkapi kekurangan furnitur di lobi sekolah dan ruangan lain yang memerlukan. "Kami sudah berusaha mengurangi sampah termasuk saat penggarapan Samosa. Produk ini akan kami sesuaikan untuk dipajang di sekolah, jadi tidak ada yang dibawa pulang lagi," tukas Sudiatmika. 7 ol1
1
Komentar