Perang, Pengkhianat, Puputan, dan Pahlawan
PERANG Puputan Badung, Puputan Klungkung, atau Puputan Margarana, menambah deretan keunikan, keistimewaan, juga keganjilan, yang dimiliki Bali. Dari pertempuran dahsyat itu, sejumlah pahlawan muncul, juga sederet pertanyaan dan persoalan. Mengapa Bali kalah dalam peperangan di antara kaum pemberani itu? Apa penyebab kekalahan?
Kendati banyak penekun sejarah meneliti, tetap saja yang muncul sebatas dugaan-dugaan, bagaimana perang-perang itu sampai membuat orang Bali tersudut di buminya sendiri, dan akhirnya kalah. Adakah mereka kalah karena persenjataan? Atau tidak piawai mengatur siasat? Mungkin juga karena begitu banyak bangsa sendiri menjadi mata-mata bekerja untuk musuh? Atau, karena sejumlah konflik internal, intrik, menjadi bara dalam sekam, lalu punya peluang terlampiaskan ketika perang itu pecah.
H. M. Van Weede, orang Belanda yang mengikuti ekspedisi militer dalam Puputan Badung 1906, melaporkan, ancaman pemerintah Hindia Belanda oleh Raja Badung dinilai hanyalah untuk menakut-nakuti. Dalam buku Seabad Puputan Badung: Perspektif Belanda dan Bali, diluncurkan 20 September 2006, catatan Weede diungkap kembali. Raja dianggap memiliki cukup waktu dan uang amat banyak untuk mempersiapkan diri dengan baik, tetapi tidak memanfaatkan keuntungan itu. “Ketika kapal-kapal kami berlabuh di Sanur, perhatian Raja tetap tidak terusik,” tulis Weede. “Raja tidak menghalangi pendaratan kapal, dan tetap mengandalkan pertahanan di pedalaman.”
Kesalahan berikutnya adalah ketidaksanggupan mengambil keputusan. “Sebenarnya pemikirannya baik agar pada sore hari setelah kami mendarat segera mengirimkan 3.000 orang ke Sanur untuk mengejutkan kami, mengepung kemah, dan menyerang kami di tengah kegelapan malam. Tapi dia khawatir lampu senter dari angkatan laut akan mengetahuinya, sehingga dengan cepat diputuskan untuk menunda serangan hingga pagi hari berikutnya. Ini memberikan kesempatan kepada kami untuk menghindari serangan dalam keadaan lebih menguntungkan,” ungkap Weede, yang dalam ekspedisi itu sesungguhnya adalah seorang turis. Setelah melancong ke India, ia meneruskan perjalanan ke Indonesia. Catatan-catatannya tentang perang ia kumpulkan dalam buku Indische Reisherinneringen, terbit pertama kali tahun 1908.
Selain kisah-kisah di balik layar patriotisme seperti diungkap pelancong itu, pasti ada banyak hal yang menyebabkan keputusan Raja Badung bertempur puputan, memilih gugur tinimbang mundur ke pedalaman, melakukan konsolidasi, ‘menarik napas’, menghimpun kekuatan, bersama panglima perang dan rakyatnya untuk mengatur perang gerilya. Ada catatan dari perspektif Belanda mengungkapkan, sebagian besar pengikut Raja meninggalkannya, dan mengungsi. Ini dianggap sebagai penghinaan tidak saja kepada kekuasaan, juga terhadap adat dan agama.
Puputan Badung, seperti juga dalam Puputan Margarana di tengah ladang jagung di Desa Marga, Tabanan, 20 November 1946, tidak hanya menarik dari sisi militer, tapi juga punya daya pikat dari sudut moral, kesetiaan, budaya, kepercayaan, hukum karma. Tidak semata tentang keberanian para pahlawan, tapi juga perihal kemampuan mengawasi bangsa sendiri yang bekerja untuk musuh.
Perang puputan itu, seberapa pun heroik, adalah pertempuran dengan kekalahan Bali ketika menghadapi musuh yang lebih canggih. Dalam pertempuran-pertempuran megah itu, tak semua orang Bali sudi terlibat. Banyak yang menyingkir mencari selamat, memanfaatkan kesempatan, melampiaskan dendam pada bangsa sendiri.
Kendati perang puputan sudah lebih seabad berlalu, tetapi perang ‘modern’ terus akan dihadapi Bali. Perang yang jauh lebih kompleks, lebih rumit, sangat menjelimet, dengan akibat luas tak mudah ditebak. Gempuran kapital yang melumat Bali akibat turisme adalah ‘perang’ tak gampang, yang melahirkan kecemasan-kecemasan baru: pencaplokan kawasan suci untuk resor wisata, konsumerisme, jurang kaya-miskin kian menganga, atau kecanduan narkoba, depresi, sakit jiwa, meluas.
Pertempuran-pertempuran itu, puputan atau perang liberalisasi kapital masa kini, tidak persis sama, namun di Bali, harus diwaspadai karena punya kemiripan: ada kelompok diuntungkan, ada pengkhianat, ada yang menggunting dalam lipatan, atau sejumlah orang tak mau tahu, acuh tak acuh, lebih mementingkan diri sendiri.
Kalah tidak berarti tunduk atau takluk. Tetapi mengkaji perang puputan seabad silam adalah bekal Bali menghadapi perang-perang lain yang lebih besar di masa depan. Betapa penting mengutamakan persatuan, membungkam pengkhianatan, taat siasat, agar Bali tidak menyerah, tak mudah kalah. 7
H. M. Van Weede, orang Belanda yang mengikuti ekspedisi militer dalam Puputan Badung 1906, melaporkan, ancaman pemerintah Hindia Belanda oleh Raja Badung dinilai hanyalah untuk menakut-nakuti. Dalam buku Seabad Puputan Badung: Perspektif Belanda dan Bali, diluncurkan 20 September 2006, catatan Weede diungkap kembali. Raja dianggap memiliki cukup waktu dan uang amat banyak untuk mempersiapkan diri dengan baik, tetapi tidak memanfaatkan keuntungan itu. “Ketika kapal-kapal kami berlabuh di Sanur, perhatian Raja tetap tidak terusik,” tulis Weede. “Raja tidak menghalangi pendaratan kapal, dan tetap mengandalkan pertahanan di pedalaman.”
Kesalahan berikutnya adalah ketidaksanggupan mengambil keputusan. “Sebenarnya pemikirannya baik agar pada sore hari setelah kami mendarat segera mengirimkan 3.000 orang ke Sanur untuk mengejutkan kami, mengepung kemah, dan menyerang kami di tengah kegelapan malam. Tapi dia khawatir lampu senter dari angkatan laut akan mengetahuinya, sehingga dengan cepat diputuskan untuk menunda serangan hingga pagi hari berikutnya. Ini memberikan kesempatan kepada kami untuk menghindari serangan dalam keadaan lebih menguntungkan,” ungkap Weede, yang dalam ekspedisi itu sesungguhnya adalah seorang turis. Setelah melancong ke India, ia meneruskan perjalanan ke Indonesia. Catatan-catatannya tentang perang ia kumpulkan dalam buku Indische Reisherinneringen, terbit pertama kali tahun 1908.
Selain kisah-kisah di balik layar patriotisme seperti diungkap pelancong itu, pasti ada banyak hal yang menyebabkan keputusan Raja Badung bertempur puputan, memilih gugur tinimbang mundur ke pedalaman, melakukan konsolidasi, ‘menarik napas’, menghimpun kekuatan, bersama panglima perang dan rakyatnya untuk mengatur perang gerilya. Ada catatan dari perspektif Belanda mengungkapkan, sebagian besar pengikut Raja meninggalkannya, dan mengungsi. Ini dianggap sebagai penghinaan tidak saja kepada kekuasaan, juga terhadap adat dan agama.
Puputan Badung, seperti juga dalam Puputan Margarana di tengah ladang jagung di Desa Marga, Tabanan, 20 November 1946, tidak hanya menarik dari sisi militer, tapi juga punya daya pikat dari sudut moral, kesetiaan, budaya, kepercayaan, hukum karma. Tidak semata tentang keberanian para pahlawan, tapi juga perihal kemampuan mengawasi bangsa sendiri yang bekerja untuk musuh.
Perang puputan itu, seberapa pun heroik, adalah pertempuran dengan kekalahan Bali ketika menghadapi musuh yang lebih canggih. Dalam pertempuran-pertempuran megah itu, tak semua orang Bali sudi terlibat. Banyak yang menyingkir mencari selamat, memanfaatkan kesempatan, melampiaskan dendam pada bangsa sendiri.
Kendati perang puputan sudah lebih seabad berlalu, tetapi perang ‘modern’ terus akan dihadapi Bali. Perang yang jauh lebih kompleks, lebih rumit, sangat menjelimet, dengan akibat luas tak mudah ditebak. Gempuran kapital yang melumat Bali akibat turisme adalah ‘perang’ tak gampang, yang melahirkan kecemasan-kecemasan baru: pencaplokan kawasan suci untuk resor wisata, konsumerisme, jurang kaya-miskin kian menganga, atau kecanduan narkoba, depresi, sakit jiwa, meluas.
Pertempuran-pertempuran itu, puputan atau perang liberalisasi kapital masa kini, tidak persis sama, namun di Bali, harus diwaspadai karena punya kemiripan: ada kelompok diuntungkan, ada pengkhianat, ada yang menggunting dalam lipatan, atau sejumlah orang tak mau tahu, acuh tak acuh, lebih mementingkan diri sendiri.
Kalah tidak berarti tunduk atau takluk. Tetapi mengkaji perang puputan seabad silam adalah bekal Bali menghadapi perang-perang lain yang lebih besar di masa depan. Betapa penting mengutamakan persatuan, membungkam pengkhianatan, taat siasat, agar Bali tidak menyerah, tak mudah kalah. 7
Komentar