Ritual Dipungkasi dengan Membunyikan Kulkul Pura Desa
Masakapan Bale Agung, Tradisi Pemberitahuan Kelahiran Secara Niskala di Desa Adat Sumerta
Tradisi ini dilakukan ketika anak berusia satu otonan (6 bulan) atau di otonan ganjil, misalnya tiga otonan (1,5 tahun) jika di otonan pertama tidak sempat melakukan.
DENPASAR, NusaBali
Desa Adat Sumerta, Kecamatan Denpasar Timur, Kota Denpasar memiliki tradisi unik untuk menyambut kelahiran anak menjadi warga baru desa adat secara niskala yang disebut Masakapan Bale Agung. Tradisi ini sempat viral di media sosial Instagram pada, Sabtu (25/11). Video TikTok dari akun @ardimarta yang menggambarkan seorang ayah tengah memandu momongannya memukul kulkul sebanyak tiga kali itu jadi ramai setelah diunggah ulang oleh beberapa akun di Instagram.
Menurut Bendesa Adat Sumerta, I Made Ariawan Payuse, istilah untuk menyebut tradisi ini belum pasti atau tidak seragam. Namun, di lingkungannya di Banjar Adat Kedaton, tetua biasa merujuk tradisi ini dengan sebutan Masakapan Bale Agung. Disebut 'masakapan' yang identik dengan ritual pawiwahan (perkawinan), sebab masakapan bermakna penyatuan. Penyatuan dalam konteks tradisi ini, dijelaskan Ariawan, seorang individu yang baru lahir bergabung sebagai warga/anggota baru desa adat.
Kata Ariawan, tradisi ini dilakukan ketika anak berusia satu otonan (6 bulan) atau di otonan ganjil, misalnya tiga otonan (1,5 tahun) jika di otonan pertama tidak sempat melakukan. Pelaksanaan Masakapan Bale Agung ini menjadi bagian dari upacara otonan itu sendiri. "Setelah menggelar upacara otonan di rumah masing-masing. Keluarga biasanya melanjutkan upacara di Bale Agung, Pura Desa. Di sana matur piuning dulu setelah itu naik ke bale kulkul untuk membunyikan kulkul," jelas Ariawan ketika dihubungi NusaBali, Minggu (26/11).
Lanjut bendesa yang baru mengabdi sejak Juli 2023 ini, tradisi ini pada hakekatnya adalah pemberitahuan secara niskala kepada Bhatara-Bhatari yang berstana di pura kahyangan Desa Adat Sumerta. Di mana, ada individu baru yang telah lahir dan siap menjadi warga desa adat.
Bunyi kulkul sebanyak tiga ketukan menjadi simbol pemberitahuan kepada krama desa sebagaimana fungsi kulkul sebagai pembawa berita dan alat komunikasi adat. Sedangkan, ritual dan persembahyangan matur piuning di awal merupakan simbol pemberitahuan kepada Bhatara-Bhatari. Jelas Ariawan, belum diketahui pasti mengapa Bale Agung, Pura Desa menjadi lokasi pelaksanaan tradisi ini. Namun melihat fungsi Bale Agung, bale suci di madya mandala Pura Desa ini merupakan tempat berkumpulnya sasuhunan seantero desa adat ketika menjelang Hari Suci Nyepi.
Fungsi ini sejalan dengan hakekat pelaksanaan tradisi Masakapan Bale Agung untuk memberitakan keberadaan seorang individu baru kepada seluruh pura khususnya pura kahyangan desa di wewidangan desa adat. "Pada prinsipnya, makna tradisi ini adalah menyampaikan keberadaan anak alit yang terlahir sebagai warga Desa Adat Sumerta kepada Ida Bhatara-Bhatari yang berstana di kahyangan desa," tegas Ariawan yang juga pangamong Pura Kahyangan Prajapati ini. Dengan 'tercatatnya' anak sebagai warga baru desa adat secara niskala, keluarga berharap, Bhatara-Bhatari senantiasa menganugerahkan kerahayuan kepada individu yang telah lahir ini sebagai damuh/panjak (rakyat) di bawah perlindungan kahyangan desa.
Saat ini, literatur mengenai tradisi Masakapan Bale Agung ini sangat minim. Sehingga belum diketahui kapan tradisi ini dimulai dan mengapa bisa ada tradisi semacam ini. Prajuru desa adat mengaku tengah mencoba menelusuri jejak-jejak warisan leluhur di Desa Adat Sumerta. Seiring perkembangan zaman, tradisi ini pun tidak dilakukan oleh semua warga. Ada keluarga yang masih melestarikan, ada pula yang sudah tidak melakukan. Jika hingga cukup remaja (usia SD) belum Masakapan Bale Agung, kadang mereka menumpang ke sanak saudara yang memiliki momongan dan menggelar tradisi ini.
"Tetapi, biasanya kalau sudah di otonan pertama tidak Masakapan Bale Agung, sampai dewasa dan menikah pun akhirnya tidak dilakukan. Ini tergantung rasa masing-masing dan tidak ada efek atau kepercayaan akan akibat dari tidak melaksanakannya," imbuh Ariawan. Di samping itu, dari 14 banjar adat di Desa Adat Sumerta, ada pula warga yang melakukan semacam tradisi ini tanpa ke Bale Agung, Pura Desa. Warga di kawasan Ketapian, Desa Adat Sumerta misalnya, menggelar upacara matur piuning di Pura Pengadangan yang terletak di Jalan Katrangan, Banjar Adat Ketapian Kaja saja.
"Sejauh ini, ini saja yang baru kami tahu terkait tradisi Masakapan Bale Agung. Literatur terkait asal-usul dan rincian tradisi ini masih minim dan kami akan mencoba memperjelas itu dengan data-data nantinya," imbuh bendesa yang berlatar belakang pendidikan hukum ini. 7 ol1
Komentar