Patuh dan Kritis
“Anak yang baik adalah anak yang menurut”, demikian pandangan banyak kalangan.
Prof Dewa Komang Tantra MSc PhD
Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya
Implikasinya, kepatuhan pada orangtua atau guru menjadi target pembentukan karakter anak. Tidak sedikit orangtua bersikap represif pada anak. Penguat negatif atau positif menjadi model pendidikan karakter anak. Efek positifnya anak menjadi disiplin dan taat. Namun, efek negatif sampingannya, anak menjadi terkekang dan kadang kurang kreatif. Orangtua atau guru menjadi penentu segalanya bagi anak. Bukannya salah, tetapi apa ini konteks kehidupan anak satu-satunya?
Ketika anak dihadapkan pada situasi baru dan orangtua atau guru tidak ada di dekatnya, apakah anak akan dapat merespons situasi baru dengan baik? Pandangan ahli menyebutkan bahwa anak biasanya kurang kreatif dalam pengambilan keputusan secara mandiri. Hal ini terjadi karena anak jarang diberi kesempatan memilih sesuai dengan minat. Di samping itu, anak kurang atau bahkan tidak memiliki berbagai pengalaman. Orangtua tidak menyediakan situasi dan kondisi di mana anak dapat mengembangkan novel behaviours, yaitu perilaku baru yang bahkan tidak pernah diajarkan sebelumnya (Noam Chomsky,1965,1985). Kreativitas anak untuk memutuskan apa yang baik dan benar untuk dirinya terbelenggu oleh pengalaman masa lampaunya.
Selain kepatuhan, orangtua atau guru menerapkan model sosialisasi lain. Orangtua atau guru tidak marah ketika anak membuat kesalahan. Anak diberikan kesempatan untuk mengenali risiko dari pikiran, perkataan, dan perilakunya. Dengan model demikian, anak diberi kesempatan untuk mengembangkan kemampuan pembelajaran sejak usia dini. Ketika anak dihadapkan pada suatu risiko, orangtua atau guru bertanya. Kenapa bisa demikian akhirnya? Anak diberi kesempatan menjawab tanpa merasa takut karena kesalahan tersebut. Anak dibelajarkan berpikir kritis tentang sebab musabab suatu persoalan faktual, bukan normatif apalagi imajinatif. Anak juga dibelajarkan untuk menemukan solusi dari kesalahan tersebut secara kreatif dan konstruktif. Muara dari model tersebut adalah kecerdasan (smart) anak, bukan pintar (intelligence).
Anak cerdas adalah anak yang pintar, sekaligus anak yang kritis dan produktif. Untuk membentuk karakter jamak tersebut, maka perlu dirancang kegiatan bersama. Kreativitas bersama dapat menstimulir potensi pembelajaran yang baru. Oleh karena itu, jangan paksa anak untuk belajar. Jika anak-anak dipaksa di luar kemauan dan kemampuan, maka anak akan tertekan. Rasa tertekan akan diikuti dengan sikap negatif dan menurunnya motivasi intrinsik anak. Orangtua sebaiknya menyediakan lingkungan yang kaya dengan penginderaaan. Penglihatan, pendengaran, penciuman, perabaan, dan perasaan hendaknya selalu diperbaharui dan diperkaya.
Saran bijak menyebutkan bahwa jagalah minat belajar anak agar tetap hidup. Anak akan mencontoh model yang menarik baginya. Saran lanjutnya adalah jangan mengkritik, apalagi menghakimi apa yang dilakukan anak. Anak akan putus asa apabila dihakimi selalu. Berceritera tentang praktek terbaik (best practices) akan berguna bagi kepercayaan dan imajinasi kesuksesan. Lawan berceritera adalah mendengarkan cerita anak. Dengarkan celoteh anak dengan seksama dan petik hikmah dari cerita itu untuk dibalikkan pada anak. Jangan pernah membandingkan anak dengan yang lainnya, yang lebih baik apalagi buruk. Biarkan mereka membelajarkan tentang dirinya sendiri.
Namun sekali-sekali, anak bersama lainnya berkumpul menyimak kisah penobatan Sri Rama sebagai Raja Ayodhya. Penobatan itu dibatalkan oleh ayahnya sendiri yakni Prabu Dasaratha. Hal itu disebabkan karena sang prabu dihadapkan pada dua pilihan yang sulit. Harus menobatkan Sang Rama atau memunuhi janjinya kepada Dewi Kekayi untuk menobatkan Sang Bharata? Diskusikan keputusan raja dan usul Dewi Kekayi secara cerdas dan objektif.
Kisah kesetiaan dan pengabdian Srava Kumara amat menarik untuk dikritisi. Kisah tentang Sravana Kumara merupakan kisah tentang kematian Prabu Dasaratha. Kisah ini disampaikan oleh Dasaratha kepada istrinya Kosalya saat sebelum ajalnya. Dasaratha memiliki ajian sabdavedi, yaitu memahami suara binatang saja. Hanya dengan mendengar suara saja, beliau sanggup membunuhnya dengan sebuah anak panah dari jarak jauh (Subramaniam, 2004: 263).
Karena memiliki ajian sabdavedi tersebut, maka seketika juga beliau mengarahkan anak panahnya ke suara gajah tersebut. Namun kemudian, ia terkejut karena mendengar rintihan seorang manusia menahan sakit sambil berkata “Mengapa aku yang seorang penganut ajaran suci, seorang spiritual harus dilukai seperti seekor binatang? Siapa pendosa yang tega melakukan ini?” Segera setelah mendengar suara itu, ia menghampirinya yang ternyata seorang pertapa muda tengah berlumuran darah dengan sebuah pot kecil berisi air yang mengalir keluar di sampingnya. Pertapa muda itu bernama Sravana Kumara. Kedua ceritera tersebut dapat disimak secara kritis oleh anak, guru atau orangtua sebagai bahan pembelajaran yang baik dan menarik. Semoga. *
Implikasinya, kepatuhan pada orangtua atau guru menjadi target pembentukan karakter anak. Tidak sedikit orangtua bersikap represif pada anak. Penguat negatif atau positif menjadi model pendidikan karakter anak. Efek positifnya anak menjadi disiplin dan taat. Namun, efek negatif sampingannya, anak menjadi terkekang dan kadang kurang kreatif. Orangtua atau guru menjadi penentu segalanya bagi anak. Bukannya salah, tetapi apa ini konteks kehidupan anak satu-satunya?
Ketika anak dihadapkan pada situasi baru dan orangtua atau guru tidak ada di dekatnya, apakah anak akan dapat merespons situasi baru dengan baik? Pandangan ahli menyebutkan bahwa anak biasanya kurang kreatif dalam pengambilan keputusan secara mandiri. Hal ini terjadi karena anak jarang diberi kesempatan memilih sesuai dengan minat. Di samping itu, anak kurang atau bahkan tidak memiliki berbagai pengalaman. Orangtua tidak menyediakan situasi dan kondisi di mana anak dapat mengembangkan novel behaviours, yaitu perilaku baru yang bahkan tidak pernah diajarkan sebelumnya (Noam Chomsky,1965,1985). Kreativitas anak untuk memutuskan apa yang baik dan benar untuk dirinya terbelenggu oleh pengalaman masa lampaunya.
Selain kepatuhan, orangtua atau guru menerapkan model sosialisasi lain. Orangtua atau guru tidak marah ketika anak membuat kesalahan. Anak diberikan kesempatan untuk mengenali risiko dari pikiran, perkataan, dan perilakunya. Dengan model demikian, anak diberi kesempatan untuk mengembangkan kemampuan pembelajaran sejak usia dini. Ketika anak dihadapkan pada suatu risiko, orangtua atau guru bertanya. Kenapa bisa demikian akhirnya? Anak diberi kesempatan menjawab tanpa merasa takut karena kesalahan tersebut. Anak dibelajarkan berpikir kritis tentang sebab musabab suatu persoalan faktual, bukan normatif apalagi imajinatif. Anak juga dibelajarkan untuk menemukan solusi dari kesalahan tersebut secara kreatif dan konstruktif. Muara dari model tersebut adalah kecerdasan (smart) anak, bukan pintar (intelligence).
Anak cerdas adalah anak yang pintar, sekaligus anak yang kritis dan produktif. Untuk membentuk karakter jamak tersebut, maka perlu dirancang kegiatan bersama. Kreativitas bersama dapat menstimulir potensi pembelajaran yang baru. Oleh karena itu, jangan paksa anak untuk belajar. Jika anak-anak dipaksa di luar kemauan dan kemampuan, maka anak akan tertekan. Rasa tertekan akan diikuti dengan sikap negatif dan menurunnya motivasi intrinsik anak. Orangtua sebaiknya menyediakan lingkungan yang kaya dengan penginderaaan. Penglihatan, pendengaran, penciuman, perabaan, dan perasaan hendaknya selalu diperbaharui dan diperkaya.
Saran bijak menyebutkan bahwa jagalah minat belajar anak agar tetap hidup. Anak akan mencontoh model yang menarik baginya. Saran lanjutnya adalah jangan mengkritik, apalagi menghakimi apa yang dilakukan anak. Anak akan putus asa apabila dihakimi selalu. Berceritera tentang praktek terbaik (best practices) akan berguna bagi kepercayaan dan imajinasi kesuksesan. Lawan berceritera adalah mendengarkan cerita anak. Dengarkan celoteh anak dengan seksama dan petik hikmah dari cerita itu untuk dibalikkan pada anak. Jangan pernah membandingkan anak dengan yang lainnya, yang lebih baik apalagi buruk. Biarkan mereka membelajarkan tentang dirinya sendiri.
Namun sekali-sekali, anak bersama lainnya berkumpul menyimak kisah penobatan Sri Rama sebagai Raja Ayodhya. Penobatan itu dibatalkan oleh ayahnya sendiri yakni Prabu Dasaratha. Hal itu disebabkan karena sang prabu dihadapkan pada dua pilihan yang sulit. Harus menobatkan Sang Rama atau memunuhi janjinya kepada Dewi Kekayi untuk menobatkan Sang Bharata? Diskusikan keputusan raja dan usul Dewi Kekayi secara cerdas dan objektif.
Kisah kesetiaan dan pengabdian Srava Kumara amat menarik untuk dikritisi. Kisah tentang Sravana Kumara merupakan kisah tentang kematian Prabu Dasaratha. Kisah ini disampaikan oleh Dasaratha kepada istrinya Kosalya saat sebelum ajalnya. Dasaratha memiliki ajian sabdavedi, yaitu memahami suara binatang saja. Hanya dengan mendengar suara saja, beliau sanggup membunuhnya dengan sebuah anak panah dari jarak jauh (Subramaniam, 2004: 263).
Karena memiliki ajian sabdavedi tersebut, maka seketika juga beliau mengarahkan anak panahnya ke suara gajah tersebut. Namun kemudian, ia terkejut karena mendengar rintihan seorang manusia menahan sakit sambil berkata “Mengapa aku yang seorang penganut ajaran suci, seorang spiritual harus dilukai seperti seekor binatang? Siapa pendosa yang tega melakukan ini?” Segera setelah mendengar suara itu, ia menghampirinya yang ternyata seorang pertapa muda tengah berlumuran darah dengan sebuah pot kecil berisi air yang mengalir keluar di sampingnya. Pertapa muda itu bernama Sravana Kumara. Kedua ceritera tersebut dapat disimak secara kritis oleh anak, guru atau orangtua sebagai bahan pembelajaran yang baik dan menarik. Semoga. *
1
Komentar