Bisa Berbunyi Sendiri, Pertanda Akan Ada Orang Sakit
Diyakini sudah ada sejak berdirinya Pura Luhur Batukaru, Gong Lu-wang milik krama Desa Pakraman Kesiut Kawan hanya boleh ditabuh di Utama Mandala pura oleh sekaa dari trah Keluarga Kabayan
Gong Luang Sakral Milik Desa Pakraman Kesiut Kawan, Kecamatan Kerambitan
TABANAN, NusaBali
Sejumlah desa di wilayah Tabanan menyimpan gong sakral yang punya tuah khusus. Selain keberadaan gong sakral di Banjar Wani, Desa Pakraman Gadungan, Kecamatan Selemadeg Timur yang bisa membuat bayi lancar bicara, ada lagi Gong Luang milik krama Desa Pakraman Kesiut Kawan, Desa Kesiut, Kecamatan Kerambitan. Gong Luwang ini bisa berbunyi sendiri, pertanda akan ada orang jatuh sakit.
Sebarung (seperangkat) Gong Luang milik krama Desa Pakraman Kesiut Kawan ini kini disimpan di Merajan Keluarga Kabayan Wangaya Gede di Desa Pakraman Kesiut Kawan. Gong Luang ini biasanya ditabuh saat upacara Dewa Yadnya di Merajan Kabayan Wangaya Gede, yang karya pujawalinya dilaksamakan 6 bulan sekali (210 hari sistem penanggalan Bali) pada Buda Kliwon Pahang.
Selain itu, Gong Luang juga ditabuh selama nyejer karya pujawali di Pura Luhur Batukaru. Tempat pentas Gong Luwang pun harus di Utama Mandala Pura, tidak boleh di Madya Mandala atau Nista Mandala.
Menurut Kelian Gong Luang, Desa Pakraman Kesiut Kawan, I Wayan Mudiasa, 60, sebarung Gong Luang ini diwariskan para leluhur sejak masa silam. Gong Luwang ini diperkirakan sudah ada sejak berdirinya Pura Luhur Batukaru. Itu sebabnya, ketika digelar pujawali di Pura Luhur Batukaru, sebarung Gong Luang harus ikut nyejer selama karya. Tempat nyejer Gong Luwang adalah di Utama Mandala Pura Luhur Batukaru.
Disebutkan, Gong Luang diempon oleh 250 kepala keluarga (KK) krama Desa Pakraman Kesiut Kawan dari trah Keluarga Kabayan. "Menurut penuturan para tetua yang kami warisi turun temurun, Gong Luang ini adalah bagian dari Pura Batukaru," ungkap Wayan Mudiasa saat ditemui NusaBali di Merajan Kabayan Wangaya Gede, Desa Pakraman Kesiut Kawan, Minggu (16/7).
Orang pertama yang menemukan Gong Luang, kata Wayan Mudiasa, adalah Kiyang Gendrik. Penemuan Gong Luwang berawal dari kegagalan Kiyang Gendrik saat memancing. Kecewa berat karena tidak mendapatkan ikan, saat mancing, Kiyang Gendrik kemudian menyusuri Tukad Campuhan di kawasan Desa Kesiut. Tiba-tiba, Kiytang Gendrik menemukan perangkat gambelan seperti terompong, reong, gong, kempur, dan gangsa jongkok.
Perangkat gambelan itu kemudian dibawa Kiyang Gendrik pulang dan disimpan di dalam rumahnya. Aneh, perangkat gambelan tersebut kerap berbunyi sendiri saat tengah malam. Setelah Gong Luang bersuara tengah malam, salah satu anggota keluarga Kiyang Gendrik malah jatuh sakit.
Karena kejadian aneh itu, keluarga Kiyang Gandrik kemudian menggelar pertemuan musyarawah dengan krama desa. Dari pertemuan itu disepakati Gong Luwang dipindahkan penyimpanannya dari rumah Kiyang Gendrik ke Pura Pemaksan Desa Pakraman Kesiut Kawan. Sejak dipindahkannya penyimpanan Gong Luang itu, keluarga Kiyang Gendrik merasa aman.
Dalam perkembangannya, kata Wayan Mudiasa, terungkap bahwa Gong Luwang yang ditemukan Kiyang Gendrik tersebut adalah milik Pura Luhur Batukaru, yang sudah lama hilang. Akhirnya, Kiyang Gendrik bersama krama Desa Pakraman Kesiut Kawan sepakat untuk mengembalikan Gong Luang yang dtemukan di Tukad Campuhan tersebut ke Pura Luhur Batukaru.
Namun, keanehan terjadi, karena setelah dikembalikan ke Pura Luhur Batukaru, perangkat Gong Luang tersebut justru kembali hilang. Anehnya lagi, perangkat Gong Luang ditemukan kembali di Tukad Campuan, tempat pertama Kiyang Gendrik menemukan sebelumnya. "Konon, kejadian aneh tersebut sampai tiga kali terulang,” kenang Mudiasa.
“Itu sebabnya, pangempon Pura Batukaru memutuskan untuk mengembalikan Gong Luang ini ke Desa Kesiut. Tapi, Sekaa Gong Luang ini harus ngayah dan nyejer di Pura Batukaru setiapkali ada karya pujawali di pura tersebut. Sampai sekarang, tradisi tersebut tetap berjalan. Jika Gong Luang belum datang, maka upacara di Pura Batukaru tidak boleh mulai," lanjut Mudiasa.
Menurut Mudiasa, banyak keanehan terkait Gong Luang ini. Ada perangkat yang disebut Gong Bende yang bisa berbunyi sendiri. Jika Gong Bende sampai berbunyi, itu pertanda akan ada orang jatuh sakit. Hal itu sudah sering terbukti, termasuk yang menimpa keluarga Kiyang Gendrik. Sayangnya, kata Mudiasa, Gong Bende tersebut sudah lama hilang karena dicuri orang. Sampai sekarang tidak diketahui keberadaannya. “kami masih terus mencari keberadaan Gong Bende yang hilang itu,” katanya.
Selain bisa bunyi sendiri sebagai pertanda akan ada orang jatuh sakit, perangkat Gong Luwang milik Desa Pakraman Kesiut Kawan ini juga dipercaya bertuah untuk membuat anak balita lancar bicara. Caranya, tipat gong dan telor guling untuk banten Gong Luwang diberikan kepada balita yang tidak lancar ngomong buat dimakan. “Habis makan tpat gong dan telur gulung, balita tersebut bisa lancar bicara,” jelas Mudiasa.
Gong Luang milik krama Desa Pakraman Kesiut Kawan bukanlah satu-satunya di wioayah Tababan. Di Banjar Wani, Desa Pakraman Gadungan, Kecamatan Selemadeg Timur, juga terdapat gong sakral yang diberi nama ‘Gong Dewa’, yang hanya boleh ditabuh saat upacara Dewa Yadnya dan harus dilakukan di Utama Mandala pura. Seperti halnya Gong Luang, perangkat Gong Dewa milik krama Banjar Wani, Desa Pakraman Gadungan ini pun dipercaya berkhasiat untuk membuat anak balita bisa ngomong dengan lancar.
Gong Dewa di Desa Pakraman Gadungan ini diperkirakan sudah ada sejak tahun 1930. Gong sakral ini adalah milik 17 orang dalam satu keluarga besar, yang secara turun temurun trah (keturunan)-nya menjadi anggota sekaa. Mereka tergabung dalam Sekaa Gong Suci. Kelian Gong Suci, I Ketut Parwa, 41, menyatakan Gong Dewa ini sejak awal keberadaannya tahun 1930 sudah lengkap sebarung. *d
Komentar