Teliti Tempe, Dosen Undiksha Raih Gelar Profesor
SINGARAJA, NusaBali - Dosen Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) Singaraja, Prof Dr Siti Maryam MKes meraih gelar guru besar (profesor) bidang ilmu biokimia berkat penelitiannya tentang tempe. Prof Siti disahkan menjadi guru besar bersama lima dosen lainnya, pada Rabu (29/11), di Auditorium Kampus Undiksha Singaraja.
Prof Siti telah meneliti tempe selama hampir 15 tahun. Penelitian tentang tempe ia mulai sejak tahun 1994 saat menempuh pendidikan magister (S2) di Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Airlangga Surabaya. Dosen kelahiran Klungkung, 21 Februari 1962 ini meneliti kandungan antioksidan yang ada pada tempe dalam tesisnya.
"Saya meneliti tempe sejak 1994 hingga 2018. Saat S2 tesis saya masalah tempe. Setelah itu memang khusus saya meneliti kandungan antioksidan di dalam tempe. Tempe memang mengandung antioksidan tinggi," ujarnya, ditemui usai pelantikan
Penelitian itu kemudian dilanjutkan dalam penelitian disertasi studi doktoral (S3) tahun 2011 di FK Universitas Udayana Denpasar. "Untuk gelar doktoral sejak 2007-2011 saya juga meneliti tentang tempe. Di mana tempe dapat menurunkan kerusakan jaringan kulit, dapat menurunkan kerusakan DNA," kata Prof Siti.
Ia menuturkan sejumlah alasan mengkaji tempe dalam studi ilmiahnya. Salah satunya ialah karena tempe masih sering dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Padahal, tempe memiliki sejumlah kandungan yang baik untuk kesehatan, seperti sumber antioksidan, vitamin B12 hingga isoflavon.
"Tempe masih sering dikucilkan oleh masyarakat, apalagi melihat proses pembuatan yang masih dilakukan secara tradisional. Tempe sebenarnya bukan makanan ringan, melainkan super high," ujar dosen pengampu mata kuliah teknologi pangan ini.
Prof Siti menuturkan, di samping komponen gizinya, tempe juga mengandung komponen non-gizi seperti antioksidan, vitamin B12 yang peningkatannya lebih besar yakni 33 kali dibandingkan dengan kedelai. "Kandungan asam fitat pada tempe yang sangat rendah dibanding kedelai karena terdegradasi dengan proses fermentasi," jelasnya.
Alumnus SMAN 1 Singaraja ini menambahkan, kandungan isoflavon pada tempe dapat meredam radikal bebas yang ada dalam tubuh. Sehingga sel-sel akan mengalami perbaikan dan bisa memperbaiki organ.
Lewat riset selama belasan tahun itu, ia ingin menyampaikan pada masyarakat luas bahwa tempe merupakan makanan tradisional yang memiliki potensi besar yang mudah diakses. Rangkuman hasil risetnya itu ia sampaikan dalam orasi ilmiah berjudul "Potensi Tersembunyi pada Tempe Kedelai dan Pemanfaatannya dalam Pengembangan Pangan Fungsional melalui Kajian Biokimia".
"Tempe sebagai pangan fungsional, yang jika dimakan menyehatkan. Keunggulan ini merupakan potensi yang tersembunyi pada tempe. Di mana tempe masih sering dipandang sebelah mata sebagai makanan orang bawahan karena harganya murah," tutur Prof Siti. 7mzk
"Saya meneliti tempe sejak 1994 hingga 2018. Saat S2 tesis saya masalah tempe. Setelah itu memang khusus saya meneliti kandungan antioksidan di dalam tempe. Tempe memang mengandung antioksidan tinggi," ujarnya, ditemui usai pelantikan
Penelitian itu kemudian dilanjutkan dalam penelitian disertasi studi doktoral (S3) tahun 2011 di FK Universitas Udayana Denpasar. "Untuk gelar doktoral sejak 2007-2011 saya juga meneliti tentang tempe. Di mana tempe dapat menurunkan kerusakan jaringan kulit, dapat menurunkan kerusakan DNA," kata Prof Siti.
Ia menuturkan sejumlah alasan mengkaji tempe dalam studi ilmiahnya. Salah satunya ialah karena tempe masih sering dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Padahal, tempe memiliki sejumlah kandungan yang baik untuk kesehatan, seperti sumber antioksidan, vitamin B12 hingga isoflavon.
"Tempe masih sering dikucilkan oleh masyarakat, apalagi melihat proses pembuatan yang masih dilakukan secara tradisional. Tempe sebenarnya bukan makanan ringan, melainkan super high," ujar dosen pengampu mata kuliah teknologi pangan ini.
Prof Siti menuturkan, di samping komponen gizinya, tempe juga mengandung komponen non-gizi seperti antioksidan, vitamin B12 yang peningkatannya lebih besar yakni 33 kali dibandingkan dengan kedelai. "Kandungan asam fitat pada tempe yang sangat rendah dibanding kedelai karena terdegradasi dengan proses fermentasi," jelasnya.
Alumnus SMAN 1 Singaraja ini menambahkan, kandungan isoflavon pada tempe dapat meredam radikal bebas yang ada dalam tubuh. Sehingga sel-sel akan mengalami perbaikan dan bisa memperbaiki organ.
Lewat riset selama belasan tahun itu, ia ingin menyampaikan pada masyarakat luas bahwa tempe merupakan makanan tradisional yang memiliki potensi besar yang mudah diakses. Rangkuman hasil risetnya itu ia sampaikan dalam orasi ilmiah berjudul "Potensi Tersembunyi pada Tempe Kedelai dan Pemanfaatannya dalam Pengembangan Pangan Fungsional melalui Kajian Biokimia".
"Tempe sebagai pangan fungsional, yang jika dimakan menyehatkan. Keunggulan ini merupakan potensi yang tersembunyi pada tempe. Di mana tempe masih sering dipandang sebelah mata sebagai makanan orang bawahan karena harganya murah," tutur Prof Siti. 7mzk
1
Komentar