Baku Hantam
PERKELAHIAN terjadi saban menit, tiap detik. Yang bertikai itu makhluk hidup: binatang atau manusia. Pohon-pohon, kendati saling membelit, yang besar dan subur menaungi yang kecil menjadi kerdil dan mati, tak digolongkan makhluk berkelahi.
Ada perkelahian kecil, ada yang seru dan merembet ke mana-mana. Pertikaian kecil mungkin hanya menyisakan marah, kesal, atau sumpah serapah. Tapi perkelahian besar bisa menyisakan dendam turun temurun, adu fisik, berdarah-darah, dan mengakibatkan korban jiwa.
Perseteruan yang tak kunjung selesai dialami dua orang bisa melebar menjadi permusuhan antar-kampung, lintas generasi. Berbagai jalan damai diupayakan, tenang beberapa saat, sekian tahun, tapi bisa selalu meletup keras setiap saat. Karena itu, kita mengenal istilah api dalam sekam, atau bom waktu, siap meledak kapan pun jika ada sedikit saja pemicunya.
Semua orang paham kekerasan harus dihindari, cukup berteriak-teriak untuk melampiaskan kemarahan. Jika ada yang berselisih jangan lebih dari saling hardik, orang Bali menyebutnya dengan ‘saling dengkik’. Tapi nyatanya adu jotos acap tak terduga, tak terhindarkan. Maka pertikaian pun menjadi baku hantam. Jika melibatkan senjata dia mudah berkembang menjadi baku tembak.
Pertikaian beratus-ratus tahun bisa berkembang menjadi baku bom, baku rudal, seperti perseteruan Israel dengan Palestina. Itu pertikaian antarbangsa, berlarut panjang, dan tak ada yang bisa meramal kapan akan berakhir.
Baku hantam antarbangsa sudah sejak lama mendera dunia. Dalam kisah Bharatayuda betapa baku hantam dalam keluarga bisa meluluhlantakkan peradaban, namun juga menciptakan dunia baru, pandangan baru, juga renungan-renungan, betapa baku hantam cuma menghasilkan arang dan abu.
Dalam skala kecil, baku hantam yang sangat ditakuti banyak orang adalah pertikaian antar-instansi. Masing-masing lembaga yang berkelahi akan membela korps masing-masing, tak lagi peduli salah benar. Mereka mengaku membela sebagai kewajiban dan wujud setia kawan. Itu mungkin sebabnya kita mengenal peribahasa ‘hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri, selalu lebih baik negeri beta’. Kalau amarah sudah meledak, tak peduli mereka, betapa kalau orang-orang kuat dan hebat bertikai yang kecil akan sengsara. Seperti peribahasa juga, ‘gajah berkelahi sesama gajah, pelanduk mati di tengah-tengah’.
Ketika Satpol PP Denpasar diserang oleh orang-orang tak dikenal Minggu (26/11) dinihari, banyak orang bergidik ngeri, bakalan terjadi baku hantam. Semakin mengerikan karena penyerangan yang berkaitan dengan operasi tempat hiburan itu melibatkan dua oknum anggota TNI (NusaBali 27/11 dan 29/11). Maka masyarakat lega ketika Waas Intel Kodam IX/Udayana menyambangi Kantor Satpol PP Denpasar berkaitan dengan penyerangan itu (NusaBali, 30/11) Orang-orang merasa lega karena kunjungan itu memberi arah dan pertanda tak akan terjadi baku hantam. Pertemuan itu mengisyaratkan, perselisihan, kesalahpahaman, tindakan emosional, tumpang tindih keperluan, bisa diselesaikan dengan damai.
Entahlah, mengapa belakangan ini sering terjadi peristiwa baku hantam. Banyak orang mabuk di alun-alun, di jalan, adu jotos. Pengendara motor serempetan aja mudah sekali marah, turun dari motor, dan mereka adu tinju. Di rumah tangga juga sering kita baca berita baku hantam antara suami dan istri, anak dengan ayah, atau dengan saudara kandung. Penyebabnya hal-hal sepele, seperti karena si anak telat diberi uang saku oleh si ibu. Atau kakak dan adik rebutan menggunakan motor.
Zaman memang semakin bising. Kebutuhan dan kepentingan kian merebak. Banyak orang menempuh cara pintas untuk mencapai tujuan dan hasrat. Yang menghalangi jalan langsung disikat. Wajar, jika banyak yang was-was, baku hantam bakal semakin sering terjadi. Banyak yang berpendapat, hanya dengan ketenangan baku hantam bisa dihindari. Selalu ada celah dan harapan untuk menghindar dari baku hantam. 7
Perseteruan yang tak kunjung selesai dialami dua orang bisa melebar menjadi permusuhan antar-kampung, lintas generasi. Berbagai jalan damai diupayakan, tenang beberapa saat, sekian tahun, tapi bisa selalu meletup keras setiap saat. Karena itu, kita mengenal istilah api dalam sekam, atau bom waktu, siap meledak kapan pun jika ada sedikit saja pemicunya.
Semua orang paham kekerasan harus dihindari, cukup berteriak-teriak untuk melampiaskan kemarahan. Jika ada yang berselisih jangan lebih dari saling hardik, orang Bali menyebutnya dengan ‘saling dengkik’. Tapi nyatanya adu jotos acap tak terduga, tak terhindarkan. Maka pertikaian pun menjadi baku hantam. Jika melibatkan senjata dia mudah berkembang menjadi baku tembak.
Pertikaian beratus-ratus tahun bisa berkembang menjadi baku bom, baku rudal, seperti perseteruan Israel dengan Palestina. Itu pertikaian antarbangsa, berlarut panjang, dan tak ada yang bisa meramal kapan akan berakhir.
Baku hantam antarbangsa sudah sejak lama mendera dunia. Dalam kisah Bharatayuda betapa baku hantam dalam keluarga bisa meluluhlantakkan peradaban, namun juga menciptakan dunia baru, pandangan baru, juga renungan-renungan, betapa baku hantam cuma menghasilkan arang dan abu.
Dalam skala kecil, baku hantam yang sangat ditakuti banyak orang adalah pertikaian antar-instansi. Masing-masing lembaga yang berkelahi akan membela korps masing-masing, tak lagi peduli salah benar. Mereka mengaku membela sebagai kewajiban dan wujud setia kawan. Itu mungkin sebabnya kita mengenal peribahasa ‘hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri, selalu lebih baik negeri beta’. Kalau amarah sudah meledak, tak peduli mereka, betapa kalau orang-orang kuat dan hebat bertikai yang kecil akan sengsara. Seperti peribahasa juga, ‘gajah berkelahi sesama gajah, pelanduk mati di tengah-tengah’.
Ketika Satpol PP Denpasar diserang oleh orang-orang tak dikenal Minggu (26/11) dinihari, banyak orang bergidik ngeri, bakalan terjadi baku hantam. Semakin mengerikan karena penyerangan yang berkaitan dengan operasi tempat hiburan itu melibatkan dua oknum anggota TNI (NusaBali 27/11 dan 29/11). Maka masyarakat lega ketika Waas Intel Kodam IX/Udayana menyambangi Kantor Satpol PP Denpasar berkaitan dengan penyerangan itu (NusaBali, 30/11) Orang-orang merasa lega karena kunjungan itu memberi arah dan pertanda tak akan terjadi baku hantam. Pertemuan itu mengisyaratkan, perselisihan, kesalahpahaman, tindakan emosional, tumpang tindih keperluan, bisa diselesaikan dengan damai.
Entahlah, mengapa belakangan ini sering terjadi peristiwa baku hantam. Banyak orang mabuk di alun-alun, di jalan, adu jotos. Pengendara motor serempetan aja mudah sekali marah, turun dari motor, dan mereka adu tinju. Di rumah tangga juga sering kita baca berita baku hantam antara suami dan istri, anak dengan ayah, atau dengan saudara kandung. Penyebabnya hal-hal sepele, seperti karena si anak telat diberi uang saku oleh si ibu. Atau kakak dan adik rebutan menggunakan motor.
Zaman memang semakin bising. Kebutuhan dan kepentingan kian merebak. Banyak orang menempuh cara pintas untuk mencapai tujuan dan hasrat. Yang menghalangi jalan langsung disikat. Wajar, jika banyak yang was-was, baku hantam bakal semakin sering terjadi. Banyak yang berpendapat, hanya dengan ketenangan baku hantam bisa dihindari. Selalu ada celah dan harapan untuk menghindar dari baku hantam. 7
Aryantha Soethama
Pengarang
Pengarang
Komentar