Seni Mensyukuri Anugerah Dewa Kemakmuran
Kolaborasi Seniman Layang-layang Bali - Jepang
Karya ini menciptakan bayangan dalam dari refleksi matahari di antara kertas putih dan tinta hitam, mewujudkan tarian alam yang menghantui dan menyampaikan bahwa alam terkadang murka.
DENPASAR, NusaBali
Layang-layang bukan sekadar permainan yang menyenangkan. Ia menjadi seni yang menerbangkan pemaknaan hidup si pembuatnya. Di Bali, layang-layang bahkan menjadi simbol dewa kemakmuran atau Sang Hyang Rare Angon. Petani di masa lalu menerbangkan layang-layang seperti pecukan, bebean, atau janggan sebagai wujud syukur atas berkah panen yang dianugerahkan Dewa Kemakmuran.
Kini, pemaknaan layang-layang berkembang sebagai bentuk kritik atas berbagai permasalahan sehari-hari. Seniman layang-layang I Kadek Dwi Armika, 44, menunjukkan itu melalui pameran layang-layang bertajuk Wind Forest: Rimba Angin di Cush Cush Gallery, Denpasar.
Layang-layang bukan sekadar permainan yang menyenangkan. Ia menjadi seni yang menerbangkan pemaknaan hidup si pembuatnya. Di Bali, layang-layang bahkan menjadi simbol dewa kemakmuran atau Sang Hyang Rare Angon. Petani di masa lalu menerbangkan layang-layang seperti pecukan, bebean, atau janggan sebagai wujud syukur atas berkah panen yang dianugerahkan Dewa Kemakmuran.
Kini, pemaknaan layang-layang berkembang sebagai bentuk kritik atas berbagai permasalahan sehari-hari. Seniman layang-layang I Kadek Dwi Armika, 44, menunjukkan itu melalui pameran layang-layang bertajuk Wind Forest: Rimba Angin di Cush Cush Gallery, Denpasar.
Pameran Wind Forest: Rimba Angin mengeksplorasi layang-layang dari segi material dan bentuk. Penggunaan material alami dan bermain dengan angin adalah ajakan untuk lebih dekat dengan alam. Pameran ini juga merupakan bentuk respons terhadap permasalahan lingkungan hidup di Bali saat ini.
Kadek Armika tidak sendiri menggarap pameran ini. Bersama seniman layang-layang perempuan Jepang Yoh Yasuda, Armika memperkenalkan layang-layang kontemporernya. Keduanya ingin membagikan bahwa layaknya menerbangkan layang-layang, segala sesuatu memerlukan keseimbangan untuk keberlanjutan hidup.
Foto: Seniman layang-layang asal Jepang Yoh Yasuda. -SURYADI
Layang-layang yang dipamerkan lebih menyerupai karya seni kontemporer. Masing-masing menyajikan sekitar 10 layang-layang. Salah satu karya Kadek Armika 'Black Forest' jauh dari bentuk layangan tradisional di Bali pada umumnya. Bentuk tak beraturan berwarna hitam dan putih merupakan simbol keresahannya atas semakin berkurangnya area hutan maupun ruang terbuka hijau.
Hutan yang jauh dari hiruk pikuk kota padat polusi menjadi daya tarik bagi Armika untuk membuat karya yang bebas dan liar. Cipratan ekspresif tinta memunculkan warna hitam dan putih (Rwa Bhineda, kehidupan nyata dan tidak nyata, baik dan buruk). Karya ini menciptakan bayangan dalam dari refleksi matahari di antara kertas putih dan tinta hitam, mewujudkan tarian alam yang menghantui dan menyampaikan bahwa alam terkadang murka.
Hutan yang jauh dari hiruk pikuk kota padat polusi menjadi daya tarik bagi Armika untuk membuat karya yang bebas dan liar. Cipratan ekspresif tinta memunculkan warna hitam dan putih (Rwa Bhineda, kehidupan nyata dan tidak nyata, baik dan buruk). Karya ini menciptakan bayangan dalam dari refleksi matahari di antara kertas putih dan tinta hitam, mewujudkan tarian alam yang menghantui dan menyampaikan bahwa alam terkadang murka.
"Saya ingin mengenalkan dimensi lain dunia layang-layang. Respons saya tentang hutan yang mulai terkikis, dari yang kecil teba misalnya yang ada di belakang rumah sudah mulai hilang, semakin terdesak keberadaannya. Sekarang yang rimbun cuma pikiran manusia," kata Kadek Armika ditemui di Cush Cush Gallery, Sabtu (2/11).
Layang-layang kontemporer Kadek Armika sebagai pengembangan pengetahuan seputar pembuatan dan budaya layang-layang tradisional Bali, telah memikat hati seniman layang-layang perempuan asal Negeri Sakura, Yoh Yasuda.
Yoh tertarik untuk mengetahui lebih jauh tentang budaya layang-layang di Bali, sejak belajar tentang layang-layang Indonesia di tahun 2019. Kecintaannya terhadap layang-layang sebagai salah satu eksplorasi seni terinspirasi dari daerah asal ibunya, Nagasaki, yang terkenal dengan festival layang-layang di Jepang.
“Pertama kali saya melihat Yoh dan layang-layangnya, saya terpesona dengan karya seninya. Dia berdiri di sana, seorang wanita cantik asal Jepang yang tertarik bermain layang-layang di bawah terik matahari. Sesuatu yang jarang saya lihat, hal ini menunjukkan bahwa layang-layang bersifat universal untuk semua orang dan usia,” sebut Kadek Armika yang juga Ketua Persatuan Layang-layang Indonesia Provinsi Bali (Pelangi Bali).
Pada bulan Juli 2023 lalu, Yoh datang ke Bali untuk berpartisipasi dalam Bali International Kite Festival, dan bertemu dengan Kadek Armika. Kreasi layang-layang Armika dari bahan alami memikat Yoh, dan menjadi awal mula kolaborasi keduanya.
“Saya sudah mengenal layang-layang daun palem dan layang-layang abstrak karya Bli Armika, namun saya pertama kali bertemu langsung dengannya di Bali International Kite Festival pada Juli tahun ini. Layang-layangnya sangat unik dan indah, jadi saya sangat senang bertemu dengannya! Saya langsung paham dengan konsep dan estetika layang-layangnya,” ujar Yoh Yasuda.
Yoh menceritakan bagaimana orang Jepang di masa lalu juga menerbangkan layang-layang sebagai bentuk rasa syukur atas panen yang berhasil. Namun, menurutnya saat ini anak muda di Jepang mulai meninggalkan layang-layang. "Layang-layang hanya dimainkan oleh orangtua," ujarnya.
Layang-layang tradisional Jepang, kata Yoh, berbentuk sederhana seperti persegi, heksagonal, dan bentuk-bentuk sederhana lainnya. Terkadang layang-layang tersebut dilukis dengan gambar tokoh-tokoh seperti ksatria samurai.
Sama dengan Kadek Armika, Yoh yang juga seorang pematung memamerkan karya-karya kontemporer. Layang-layang yang dipamerkannya terinspirasi bentuk-bentuk tumbuhan, salah satunya bunga anggrek. Bunga tanaman hutan tersebut banyak dijumpainya selama di Indonesia dan mengingatkannya dengan anggrek yang juga tumbuh di Jepang. Yoh membuat layang-layang anggreknya menggunakan teknik ala Indonesia khususnya Bali. "Saya ingin menghubungkan keduanya," ujarnya.
Pameran Wind Forest: Rimba Angin terbuka untuk umum mulai tanggal 2-22 Desember 2023. Pameran dibuka Senin hingga Jumat, pukul 09:00 – 17:00 Wita dan Sabtu - Minggu pukul 10:00 - 17:00 Wita. cr78.
1
Komentar