Pemangku dan Serati Banten Dilatih
Puluhan pemangku dan serati banten, Minggu (16/7) kemarin mengikuti pelatihan kepanditaan dan serati banten yang dilaksanakan oleh Jurusan Brahma Vidya, Sekolah Tinggi Agama Hindu (STAH) Negeri Mpu Kuturan Singaraja.
Selaraskan Upacara dengan Filsafat
SINGARAJA, NusaBali
Dalam pelatihan tersebut pemangku dan serati banten dituntut tidak hanya paham membuat banten dan menghaturkannya dalam bentuk upacara namun juga harus paham filsafat yang terkandung di dalamnya.
Ketua Panitia Pelaksana Pelatihan, Gede Mahardika, SAg, MFilH, disela-sela pelatihan mengungkapkan upacara di Bali dengan sarana banten atau sesajen tidak dapat terlepas dari Tri Kerangka Umat Hindu yang meliputi Tatwa, Susila dna Upacara. Sehingga pinandita dna serati banten wajib hukumnya menguasai ketiga elemen tersebut.
“Pemangku sekarang diharapkan tidak lagi memiliki pemahaman asal jadi, asal cepat dan mudah dalam membuat banten atau sarana upakara tetapi paham makna dan arti filosofisnya,” ujar dia. Sehingga hal tersebut dapat menjadikan pinandita dan serati banten benar-benar menjadi sosok yang dipercaya umat dalam penerapan ilmu keagamaan.
Pelatihan semacam ini yang akan digelar setiap tahunnya secara rutin selain mengimplementasikan program lembaga, juga diharapkan dapat meningkatkan kwalitas pinandita dan serati banten di era kekinian.
Sementara itu, Ketua STAH Negeri Mpu Kuturan, Prof Dr Drs I Made Suweta MSi, dengan pelatihan yang digelar lembaganya, pemangku dan serati diharapkan dapat menjadi garda terdepan terkait pembinaan umat di era modern saat ini yang mulai mengarah para perilaku hedonis, materialistik dan individualis.
Karena menurutnya masyarakat dan generasi muda saat ini tidak lagi berfikir tradisional, namun telah mengarah para pemikiran ilmiah. Mereka yang mulai peka dengan kehidupannya akan mencari tahu apa makna di balik kebiasaan yang mereka lakoni selama ini.
Khusus kepada para pinandita dan serati banten yang selama ini menjadi kepercayaan umat, menurut Suweta, harus bisa memberi pemahaman yang benar mengenai tata upacara dan makna upacara kepada para siswanya. “Sampai saat ini yang dipercaya masyarakat masih lebih percaya kepada sulinggih atau pinandita dibandingkan dengan dosen. Nah inilah yang mendasari pindandita harus benar-benar menguasai pemahaman sastra yang benar, sehingga tidak ada lagi dasar ‘mula keto’ dalam menjalankan upacara,” ungkap dia. *k23
Komentar