Lukisan ‘Nomaden to Nomaden’ Suarakan Keprihatinan Deforestasi
DENPASAR, NusaBali.com - Kampanye ekologi dan perjuangan melawan deforestasi semakin santer. Hal ini tidak terlepas dari dampak negatif yang ditimbulkan akibat deforestasi, seperti bencana alam, perubahan iklim, hingga kepunahan flora dan fauna.
Prihatin akan hal ini, sejumlah seniman di Bali turut menyuarakan suaranya melalui karya seni. Salah satunya adalah seniman asal Denpasar, Slinat.
Dalam kegiatan pameran bertajuk ‘Kisah Rimba’ yang digelar di Dharma Negara Alaya, Denpasar, 8-14 Desember 2023, Slinat memamerkan karya lukisnya yang berjudul ‘Nomaden to Nomaden’. Lukisan berukuran 2,8 meter x 2,2 meter ini menggambarkan wajah seorang nelayan bermata empat, memiliki dua mulut, dengan pose wajah terlihat tanpa ekspresi.
Selain wajah seorang nelayan, lukisan ini juga menampilkan hal-hal yang melekat dalam kehidupan seorang nelayan, seperti rumah, mangrove, dan hasil laut semisal udang dan ikan. Uniknya, semuanya ditampilkan dalam kondisi yang tidak biasa. Rumah, mangrove, dan hasil alam ini digambarkan dalam keadaan terikat.
Lukisan ‘Nomaden to Nomaden’ terinspirasi dari potret kehidupan Suku Duano yang tinggal di wilayah Kuala Selat, di pesisir timur Riau. Suku ini dikenal menggantungkan seluruh hidupnya dari hasil laut. Kebiasaan mereka yang suka berpindah-pindah untuk mencari hasil laut membuat mereka dijuluki sebagai ‘orang laut’ di wilayah itu.
Namun, saat ini, kehidupan melaut mereka telah terancam oleh bencana abrasi yang berlangsung kurang lebih 15 tahun lamanya. Banyak hutan mangrove ditebang, biota-biota laut mati, dan hasil tangkapan mereka pun menjadi berkurang.
Tak sedikit dari mereka (Suku Duano) harus rela beralih profesi, karena ketidakpastian yang dihadapi ini. “Jadi, itu yang saya visualkan lewat karya lukisan baliho,” jelas Slinat.
Nomaden to Nomaden ingin menggambarkan situasi kebingungan yang sedang dihadapi nelayan Suku Duona sekarang ini. “Nelayan yang matanya empat, mulutnya dua, itu sebenarnya karya optik. Jadi, dia kelihatan kayak goyang-goyang. Ini mau memvisualkan kesan bingung, karena situasi itu,” jelas Slinat.
Mereka seakan dipaksa meninggalkan pekerjaan sebagai nelayan dan tercabut dari identitas yang telah lama melekat dalam hidup mereka.
“Saya gambarkan juga hasil tangkapan yang menghilang, jadi udang, ikan segala macam yang diterbangkan oleh pohon mangrove itu, yang menghilang ke atas. Jadi, saya gambarkan begitu situasinya,” terang Slinat.
Nomaden to Nomaden sebagai judul dari lukisan, dipilih untuk menyelaraskan maksud atau pesan yang ingin disampaikan. Slinat menerangkan bahwa situasi berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain atau dari satu situasi ke situasi lainnya adalah hal yang tidak menyenangkan, bahkan mendatangkan penderitaan.
Lukisan Nomaden to Nomaden sebagian besar dibuat menggunakan tinta arang. Dan untuk mempertegas beberapa warna pada gambar pohon mangrove, Slinat menambahkan sedikit pewarna akrilik di dalamnya.
Pulitzer Center, selaku promotor kegiatan, menggandeng sejumlah seniman Bali dan para jurnalis untuk mengisi rangkaian kegiatan pameran bertajuk Kisah Rimba.
Kegiatan itu menampilkan berbagai karya, mulai dari lukisan, karikatur, komik, mural, instalasi, hingga foto jurnalistik. Semua karya tersebut berkolaborasi dengan catatan kritis para jurnalis terhadap isu hutan dan bencana ekologi lainnya. *m04
1
Komentar