Perludem: Pemilu Serentak Kaburkan Isu Kelokalan
DENPASAR, NusaBali.com - Desain Pemilu serentak yang dimulai sejak Pemilu 2019 dinilai telah menutupi isu-isu lokal yang bisa diangkat oleh terutama calon anggota legislatif (caleg) di daerah. Hal ini disebabkan hegemoni Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) yang begitu kuat.
Penilaian ini disampaikan Khoirunnisa Nur Agustyati, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Peludem) ketika menjadi pembicara di seminar nasional 'Menjaga Integritas Demokrasi dalam Pemilu Serentak Tahun 2024', Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip), Universitas Warmadewa, Kamis (14/12/2023).
Kata perempuan yang akrab disapa Ninis ini, salah satu semangat dari pelaksanaan pemilu serentak yang diargumentasikan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusannya pada tahun 2013 silam adalah upaya memperkuat sistem pemerintahan presidensial. Sebab, sistem pemerintahan inilah yang disepakati dalam konstitusi.
"Kalau dibaca putusan MK itu, kalau mau kuat sistem presidensialnya, salah satu caranya adalah menyerentakkan pemilunya (dengan Pemilu Anggota Legislatif/Pileg). Karena ada beberapa faktor yang memperkuat sistem presidensial berdasarkan teori-teori atau praktik-praktik negara lain yang melakukan pemilu serentak," jelas Ninis.
Namun, penggabungan dua jenis Pemilu ini membuat isu-isu yang berkembang di masyarakat didominasi seputaran topik-topik Pilpres. Yang paling merasakan dampak dari dominasi isu Pilpres yang cenderung membawa isu nasional ini adalah Pileg untuk DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.
Jelas Ninis, Pilpres dan Pileg yang diserentakkan ini menutup isu-isu kelokalan yang seharusnya bisa diangkat oleh para caleg DPRD Kabupaten/Kota dan DPRD Provinsi. Sebab, isu yang lebih menjual di mata pemilih adalah yang berkaitan dengan Pilpres.
"Padahal, di provinsi ataupun di kabupaten/kota ada isu-isu yang sebetulnya juga menjadi khas di sana. Tapi, tertutupi karena semua terfokus pada Pilpresnya saja. Ini yang perlu menjadi catatan pasca Pemilu 2024 nanti," ungkap Ninis.
Di samping itu, Ninis menyebut motivasi lain pemilu serentak menurut MK adalah agar pelaksanaan pemilu lebih efektif dan efisien, mendorong partisipasi masyarakat, membuat pelaksaan pemilu lebih sederhana, dan lainnya. Namun, kata Ninis, hal ini tidak dijumpai di Pemilu Serentak 2019.
"Pasca Pemilu 2019 itu banyak sekali yang langsung mengusulkan, 'Ini kita tidak bisa lagi pemilu serentak yang model lima kotak seperti hari ini'. Karena baik dari sisi proses maupun hasilnya itu jadi sangat kompleks," tegas Ninis yang menjabat Direktur Eksekutif Perludem sejak tahun 2020.
Ninis menilai jika ada ruang evaluasi untuk penyelenggara pemilu serentak dengan lima kotak yakni Pilpres, Pileg DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota yang sudah akan berjalan dua kali ini, akan ada banyak catatan yang bisa diberikan. *rat
Kata perempuan yang akrab disapa Ninis ini, salah satu semangat dari pelaksanaan pemilu serentak yang diargumentasikan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusannya pada tahun 2013 silam adalah upaya memperkuat sistem pemerintahan presidensial. Sebab, sistem pemerintahan inilah yang disepakati dalam konstitusi.
"Kalau dibaca putusan MK itu, kalau mau kuat sistem presidensialnya, salah satu caranya adalah menyerentakkan pemilunya (dengan Pemilu Anggota Legislatif/Pileg). Karena ada beberapa faktor yang memperkuat sistem presidensial berdasarkan teori-teori atau praktik-praktik negara lain yang melakukan pemilu serentak," jelas Ninis.
Namun, penggabungan dua jenis Pemilu ini membuat isu-isu yang berkembang di masyarakat didominasi seputaran topik-topik Pilpres. Yang paling merasakan dampak dari dominasi isu Pilpres yang cenderung membawa isu nasional ini adalah Pileg untuk DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.
Jelas Ninis, Pilpres dan Pileg yang diserentakkan ini menutup isu-isu kelokalan yang seharusnya bisa diangkat oleh para caleg DPRD Kabupaten/Kota dan DPRD Provinsi. Sebab, isu yang lebih menjual di mata pemilih adalah yang berkaitan dengan Pilpres.
"Padahal, di provinsi ataupun di kabupaten/kota ada isu-isu yang sebetulnya juga menjadi khas di sana. Tapi, tertutupi karena semua terfokus pada Pilpresnya saja. Ini yang perlu menjadi catatan pasca Pemilu 2024 nanti," ungkap Ninis.
Di samping itu, Ninis menyebut motivasi lain pemilu serentak menurut MK adalah agar pelaksanaan pemilu lebih efektif dan efisien, mendorong partisipasi masyarakat, membuat pelaksaan pemilu lebih sederhana, dan lainnya. Namun, kata Ninis, hal ini tidak dijumpai di Pemilu Serentak 2019.
"Pasca Pemilu 2019 itu banyak sekali yang langsung mengusulkan, 'Ini kita tidak bisa lagi pemilu serentak yang model lima kotak seperti hari ini'. Karena baik dari sisi proses maupun hasilnya itu jadi sangat kompleks," tegas Ninis yang menjabat Direktur Eksekutif Perludem sejak tahun 2020.
Ninis menilai jika ada ruang evaluasi untuk penyelenggara pemilu serentak dengan lima kotak yakni Pilpres, Pileg DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota yang sudah akan berjalan dua kali ini, akan ada banyak catatan yang bisa diberikan. *rat
1
Komentar