Memaknai Tiga ‘Utang’
Rinani trinyapakritya manomok se niwecayet, Anapakritya moksam tu sewama no wrajatyadhah. (Manavadharmasastra, 6.35)
Kalau dia telah membayar tiga macam utangnya (kepada Tuhan, kepada leluhur, dan kepada orangtua), hendaknya dia menunjukkan pikirannya untuk mencapai kebebasan terakhir. Dia yang mengejar kebebasan terakhir itu tanpa menyelesaikan tiga macam utangnya akan tenggelam ke bawah.
MENURUT teks, kelahiran kita telah secara otomatis digandongi oleh utang. Mengapa? Karena keberadaan kita (fisik dan mental) tergantung sepenuhnya dari-Nya. Ada tiga utang yang harus dibayar dalam kehidupan, yakni utang kepada Tuhan, leluhur, dan orangtua. Mengapa berutang kepada Tuhan? Karena bahan pembentuk tubuh berasal dari-Nya. Mengapa kita berutang kepada leluhur, karena melalui leluhur, genetis kita berasal. Mengapa berutang kepada orangtua? Karena orangtua lah yang secara langsung meneruskan gen leluhur sekaligus mem-feeding kita untuk tumbuh dan berkembang.
Kita mesti menyelesaikan utang itu terlebih dahulu sebelum kita berniat untuk mencapai pembebasan. Mengapa? Karena tidak mungkin kebebasan akan dicapai jika kita masih menanggung beban. Terhadap hal ini, ada beberapa penafsiran yang mungkin. Pertama, penafsiran dari sisi praktis. Untuk bisa mempraktikkan ajaran kalepasan (kebebasan), mereka harus memyelesaikan semua urusan domestiknya terlebih dahulu. Bagaimana caranya membayar utang kepada Tuhan? Dengan melaksanakan upacara yadnya. Bagaimana caranya membayar utang kepada leluhur? Dengan pitra puja (memuja leluhur) dan melahirkan keturunan. Bagaimana caranya membayar utang kepada orangtua? Dengan melayaninya. Setelah ini selesai, maka melakukan kegiatan spiritual apapun untuk pembebasan baru memiliki arti.
Kedua, penafsiran dari sisi ontologis. Diri sejati kita adalah atman yang tak terbatas dan abadi. Sementara, keberadaan tubuh ini adalah belenggu, sehingga ‘utang’ yang dimaksudkan di sini adalah belenggu itu sendiri. Jadi, hanya dengan membebaskan diri dari belenggu inilah kita bisa bebas dari utang. Hanya persoalannya, ajaran kalepasan harus dipraktikkan dari awal. Hanya jika kita sukses mempraktikkan ajaran kalepasan, utang itu terbayar secara otomatis. Utang adalah belenggu. Jika belenggu itu hilang, maka secara otomatis kita terbebas dari utang. Sepertinya, teks di atas tidak mengarah pada interpretasi ini. Teks di atas lebih mengarah pada praktik tradisi, di mana ada banyak kewajiban keluarga yang harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum akhirnya bisa melepaskan diri dari ikatan keluarga.
Di zaman itu, orang yang berjalan di jalan kebebasan dilakukan dengan menjadi sannyasin. Artinya, saat orang mengambil jalan sannyasa, dia sepenuhnya tidak lagi bersentuhan dengan keluarga. Seorang sannyasin mesti telah dianggap mati oleh keluarganya sehingga tidak pernah lagi berhubungan. Untuk menjadi seorang sannyasin, dia harus telah menyelesaikan seluruh kewajiban terhadap keluarganya. Kewajiban dalam keluarga inilah dinyatakan sebagai ‘utang’, dan ini harus terselesaikan terlebih dahulu. Namun dalam perkembangannya, ketika sannyasin dimaknai lebih berupa ‘state of mind’, maka syarat meninggalkan keluarga dan jenis pekerjaan lainnya tidak lagi menjadi persoalan. Justru mereka yang telah mengambil jalan sannyasin lah yang banyak melakukan kegiatan untuk kesejahteraan dunia. Mereka tetap ada di dunia dan melakukan kegiatan dengan mengajak masyarakat melakukan pelayanan.
Ketika masyarakat berada dalam kemiskinan ekstrem, maka sannyasin tidak lagi dipahami sebagai orang yang telah meninggalkan keluarga dan berbagai kegiatan lainnya, melainkan meninggalkan keluarga kecil di rumah untuk merangkul dan melayani keluarga yang lebih besar (masyarakat dunia itu sendiri). Makna sannyasa saat ini adalah pelayanan. Mengapa? Sebab seorang sannyasin adalah dia yang telah selesai dengan dirinya, utang tidak lagi membelenggunya, sehingga dia sepenuhnya bisa mengabdikan diri pada kemanusiaan. Inilah interpretasi ketiga dari teks di atas. Saat masyarakat berada dalam kondisi sejahtera, pelayanan kemanusiaan seperti ini tidak diperlukan, sehingga interpretasi pertama dipraktikkan. Tetapi, saat masyarakat berada dalam kesengsaraan, rasa kemanusiaan memanggil sehingga seorang sannyasin adalah seorang altruis, yang menerjunkan diri sepenuhnya untuk kesejahtarraan masyarakat. Bagaimana agar rasa altruis itu tumbuh? Bagaimana agar prinsip sannyasin ini terjadi di dalam diri? Tentu, pemahaman atas interpretasi nomor dua sangat penting. Inilah yang harus disadari sejak awal dan kemudian melakukan praktik sadhana accordingly. 7
MENURUT teks, kelahiran kita telah secara otomatis digandongi oleh utang. Mengapa? Karena keberadaan kita (fisik dan mental) tergantung sepenuhnya dari-Nya. Ada tiga utang yang harus dibayar dalam kehidupan, yakni utang kepada Tuhan, leluhur, dan orangtua. Mengapa berutang kepada Tuhan? Karena bahan pembentuk tubuh berasal dari-Nya. Mengapa kita berutang kepada leluhur, karena melalui leluhur, genetis kita berasal. Mengapa berutang kepada orangtua? Karena orangtua lah yang secara langsung meneruskan gen leluhur sekaligus mem-feeding kita untuk tumbuh dan berkembang.
Kita mesti menyelesaikan utang itu terlebih dahulu sebelum kita berniat untuk mencapai pembebasan. Mengapa? Karena tidak mungkin kebebasan akan dicapai jika kita masih menanggung beban. Terhadap hal ini, ada beberapa penafsiran yang mungkin. Pertama, penafsiran dari sisi praktis. Untuk bisa mempraktikkan ajaran kalepasan (kebebasan), mereka harus memyelesaikan semua urusan domestiknya terlebih dahulu. Bagaimana caranya membayar utang kepada Tuhan? Dengan melaksanakan upacara yadnya. Bagaimana caranya membayar utang kepada leluhur? Dengan pitra puja (memuja leluhur) dan melahirkan keturunan. Bagaimana caranya membayar utang kepada orangtua? Dengan melayaninya. Setelah ini selesai, maka melakukan kegiatan spiritual apapun untuk pembebasan baru memiliki arti.
Kedua, penafsiran dari sisi ontologis. Diri sejati kita adalah atman yang tak terbatas dan abadi. Sementara, keberadaan tubuh ini adalah belenggu, sehingga ‘utang’ yang dimaksudkan di sini adalah belenggu itu sendiri. Jadi, hanya dengan membebaskan diri dari belenggu inilah kita bisa bebas dari utang. Hanya persoalannya, ajaran kalepasan harus dipraktikkan dari awal. Hanya jika kita sukses mempraktikkan ajaran kalepasan, utang itu terbayar secara otomatis. Utang adalah belenggu. Jika belenggu itu hilang, maka secara otomatis kita terbebas dari utang. Sepertinya, teks di atas tidak mengarah pada interpretasi ini. Teks di atas lebih mengarah pada praktik tradisi, di mana ada banyak kewajiban keluarga yang harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum akhirnya bisa melepaskan diri dari ikatan keluarga.
Di zaman itu, orang yang berjalan di jalan kebebasan dilakukan dengan menjadi sannyasin. Artinya, saat orang mengambil jalan sannyasa, dia sepenuhnya tidak lagi bersentuhan dengan keluarga. Seorang sannyasin mesti telah dianggap mati oleh keluarganya sehingga tidak pernah lagi berhubungan. Untuk menjadi seorang sannyasin, dia harus telah menyelesaikan seluruh kewajiban terhadap keluarganya. Kewajiban dalam keluarga inilah dinyatakan sebagai ‘utang’, dan ini harus terselesaikan terlebih dahulu. Namun dalam perkembangannya, ketika sannyasin dimaknai lebih berupa ‘state of mind’, maka syarat meninggalkan keluarga dan jenis pekerjaan lainnya tidak lagi menjadi persoalan. Justru mereka yang telah mengambil jalan sannyasin lah yang banyak melakukan kegiatan untuk kesejahteraan dunia. Mereka tetap ada di dunia dan melakukan kegiatan dengan mengajak masyarakat melakukan pelayanan.
Ketika masyarakat berada dalam kemiskinan ekstrem, maka sannyasin tidak lagi dipahami sebagai orang yang telah meninggalkan keluarga dan berbagai kegiatan lainnya, melainkan meninggalkan keluarga kecil di rumah untuk merangkul dan melayani keluarga yang lebih besar (masyarakat dunia itu sendiri). Makna sannyasa saat ini adalah pelayanan. Mengapa? Sebab seorang sannyasin adalah dia yang telah selesai dengan dirinya, utang tidak lagi membelenggunya, sehingga dia sepenuhnya bisa mengabdikan diri pada kemanusiaan. Inilah interpretasi ketiga dari teks di atas. Saat masyarakat berada dalam kondisi sejahtera, pelayanan kemanusiaan seperti ini tidak diperlukan, sehingga interpretasi pertama dipraktikkan. Tetapi, saat masyarakat berada dalam kesengsaraan, rasa kemanusiaan memanggil sehingga seorang sannyasin adalah seorang altruis, yang menerjunkan diri sepenuhnya untuk kesejahtarraan masyarakat. Bagaimana agar rasa altruis itu tumbuh? Bagaimana agar prinsip sannyasin ini terjadi di dalam diri? Tentu, pemahaman atas interpretasi nomor dua sangat penting. Inilah yang harus disadari sejak awal dan kemudian melakukan praktik sadhana accordingly. 7
1
Komentar