Suguhkan Prembon Inovatif, Unsur Dramatik Kurang Tergarap
Komunitas Seni Manik Metu, Banjar Tatasan Kelod, Tonja, Denpasar mementaskan Prembon Inovatif dengan lakon ‘Brahmana Keling’ dalam ajang Bali Mandara Mahalango IV.
DENPASAR, NusaBali
Inovasi dalam seni prembon itu dipentaskan di Kalangan Madya Mandala Taman Budaya Bali, Senin (17/7) malam.
Lakon Brahmana Keling menceritakan di Kerajaan Gelgel yang dipimpin Raja Dalem Waturenggong hendak menyelenggarakan yadnya di Pura Besakih. Untuk itu ia memerintahkan sang patih, Arya Tangkas untuk menyiapkan upacara yadnya. Di tengah persiapan upacara, datang seorang yang berbau dengan pakaian compang-camping seperti pengemis. Ia mengaku saudara raja dan ingin bertemu raja.
Patih Arya Tangkas berang dan menyiksa orang tersebut. Tak tahan disiksa, orang tersebut memastu bahwa upacara yadnya tidak akan berjalan sebagaimana mestinya. Pastu itu berjaalan. Raja pun memerintahkan patih Arya Tangkas untuk mencari orang tersebut. Tujuannya agar upacara yadnya berjalan lancar dan raja menerimanya sebagai saudara.
Menurut pengamat seni, Dr I Nyoman Astita MA, ada upaya menggabungkan topeng, sendratari dan bondres jadi satu dalam bingkai prembon inovasi. Upaya ini dapat menjadi bahan pertimbangan dan apresiasi bersama. Namun Astita menilai, susunan dramatiknya belum tergarap. “Sebenarnya pementasan ini ceritanya bagus dan juga ada unsur sejarahnya. Tapi susunan dramatiknya kurang tergarap dengan bagus,” ungkapnya.
Dia mencontohkan, susunan dramatik yang kurang tergarap bagus, seperti ada alur-alur yang terlalu lambat. Sehingga secara pertunjukan banyak hal-hal yang terasa vakum dan terkesan kurang dinamis. "Selain itu plotnya kurang lancar. Dari segi bloking penari, kurang memperhatikan tata panggung. Sering penari membelakangi penonton dan juga posisinya tidak tepat," katanya.
Astita juga menambahkan, ada bagian yang agak fatal yakni unggah-ungguh yang menempatkan struktur lakon siapa raja, siapa patih dan siapa punakawan. "Itu tidak dijaga konsistensinya. Dalam pentas ini juga kadang-kadang raja itu ngomong matah seperti orang biasa, karena itu otomatis mengurangi karakter dia," ujarnya. "Seharusnya, pada bagian-bagain itu yang berbicara adalah penasar. Seharusnya raja konsisten dengan bahasa kawinya. Jadi dari segi itu, penataan perlu diperhatikan," imbuhnya.
Hal senada juga diungkapkan pengamat seni, Kadek Wahyudita SSn. Wahyudita menilai penggarapan perlu ditingkatkan lagi, mengingat event ini adalah Bali Mandara Mahalango, yang diharapkan menampilkan puncak-puncak seni budaya Bali. Dia belum melihat secara jelas inovasinya. "Selain itu, dari sisi musik pengiring masih tradisi dan ceritanya pun masih cerita tradisi. Masih terkesan tradisi," katanya.
Kendati demikian, baik Astita dan Wahyudita tetap mengapresiasi yang dilakukan Sanggar Seni Manik Metu, Tonja dalam upaya menggarap prembon inovasi dengan menggabungkan bondres, topeng dan sendratari, meski dalam penggarapan dramatiknya dinilai belum ada inovasi. *in
Lakon Brahmana Keling menceritakan di Kerajaan Gelgel yang dipimpin Raja Dalem Waturenggong hendak menyelenggarakan yadnya di Pura Besakih. Untuk itu ia memerintahkan sang patih, Arya Tangkas untuk menyiapkan upacara yadnya. Di tengah persiapan upacara, datang seorang yang berbau dengan pakaian compang-camping seperti pengemis. Ia mengaku saudara raja dan ingin bertemu raja.
Patih Arya Tangkas berang dan menyiksa orang tersebut. Tak tahan disiksa, orang tersebut memastu bahwa upacara yadnya tidak akan berjalan sebagaimana mestinya. Pastu itu berjaalan. Raja pun memerintahkan patih Arya Tangkas untuk mencari orang tersebut. Tujuannya agar upacara yadnya berjalan lancar dan raja menerimanya sebagai saudara.
Menurut pengamat seni, Dr I Nyoman Astita MA, ada upaya menggabungkan topeng, sendratari dan bondres jadi satu dalam bingkai prembon inovasi. Upaya ini dapat menjadi bahan pertimbangan dan apresiasi bersama. Namun Astita menilai, susunan dramatiknya belum tergarap. “Sebenarnya pementasan ini ceritanya bagus dan juga ada unsur sejarahnya. Tapi susunan dramatiknya kurang tergarap dengan bagus,” ungkapnya.
Dia mencontohkan, susunan dramatik yang kurang tergarap bagus, seperti ada alur-alur yang terlalu lambat. Sehingga secara pertunjukan banyak hal-hal yang terasa vakum dan terkesan kurang dinamis. "Selain itu plotnya kurang lancar. Dari segi bloking penari, kurang memperhatikan tata panggung. Sering penari membelakangi penonton dan juga posisinya tidak tepat," katanya.
Astita juga menambahkan, ada bagian yang agak fatal yakni unggah-ungguh yang menempatkan struktur lakon siapa raja, siapa patih dan siapa punakawan. "Itu tidak dijaga konsistensinya. Dalam pentas ini juga kadang-kadang raja itu ngomong matah seperti orang biasa, karena itu otomatis mengurangi karakter dia," ujarnya. "Seharusnya, pada bagian-bagain itu yang berbicara adalah penasar. Seharusnya raja konsisten dengan bahasa kawinya. Jadi dari segi itu, penataan perlu diperhatikan," imbuhnya.
Hal senada juga diungkapkan pengamat seni, Kadek Wahyudita SSn. Wahyudita menilai penggarapan perlu ditingkatkan lagi, mengingat event ini adalah Bali Mandara Mahalango, yang diharapkan menampilkan puncak-puncak seni budaya Bali. Dia belum melihat secara jelas inovasinya. "Selain itu, dari sisi musik pengiring masih tradisi dan ceritanya pun masih cerita tradisi. Masih terkesan tradisi," katanya.
Kendati demikian, baik Astita dan Wahyudita tetap mengapresiasi yang dilakukan Sanggar Seni Manik Metu, Tonja dalam upaya menggarap prembon inovasi dengan menggabungkan bondres, topeng dan sendratari, meski dalam penggarapan dramatiknya dinilai belum ada inovasi. *in
1
Komentar