Natal di Banjar Tuka, Dalung Dirayakan Meriah Bak Galungan
MANGUPURA, NusaBali.com - Banjar Tuka, Desa Dalung, Kecamatan Kuta Utara, Badung memiliki keunikan tersendiri. Mayoritas penduduk asli maupun pendatang di banjar ini adalah umat Kristiani baik Katolik maupun Protestan. Maka tidak heran, Hari Raya Natal menjadi perayaan besar.
Dari 280 kepala keluarga yang berdomisili di Banjar Tuka, hanya 44 kepala keluarga yang beragama Hindu dan tergabung dalam Desa Adat Tuka. Sedangkan sisanya membentuk Pamaksan Katolik dan Pamaksan Kristen Protestan.
Sebelum Hari Raya Natal yang jatuh setiap 25 Desember, warga Katolik di Banjar Tuka melakukan panampahan minimal satu hari sebelumnya. Atau, dua hari sebelumnya jika persiapan di gereja terlalu sibuk dan memakan waktu lebih banyak.
Kelian Dinas Banjar Tuka, Arnoldus I Nyoman Adi Suryanata, 42, menjelaskan selama perayaan Hari Raya Natal, secara tradisi ada rentetan Panampahan Natal, Hari Raya Natal, dan Umanis Natal.
"Kami ngejot (berbagi hasil mebat/masakan ke tetangga) pada Panampahan Natal, biasanya sehari atau dua hari sebelum Natal," ujar Adi Suryanata ketika dijumpai di sela Misa Hari Raya Natal di Gereja Tritunggal Mahakudus Tuka, Senin (25/12/2023).
Belakangan, Panampahan Natal lebih sering digelar dua hari sebelum Hari Raya Natal. Sebab, sehari sebelum Hari Raya Natal, warga disibukkan dengan persiapan di gereja seperti menghias lingkungan gereja dengan penjor, janur, gebogan, dan utamanya Misa Vigili Natal atau detik-detik kelahiran Yesus Kristus.
Hiasan bernuansa budaya Bali ini bukan hanya dipasang di dalam lingkungan gereja tetapi juga di sepanjang jalan umum menuju ke gereja. Ornamen khas Bali ini dipasang selain dekorasi yang sudah menjadi pakem seperti pohon Natal, diorama kisah kelahiran Yesus Kristus, dan lain-lain.
"Kami di sini juga ada Umanis Natal atau sehari setelah Hari Raya Natal. Umanis Natal ini diisi dengan aktivitas Natal kedua yang dijalani dengan misa di gereja," jelas Adi Suryanata.
Kata Romo Paskalis Nyoman Widastra SVD, Pastor Paroki Tritunggal Mahakudus Tuka, terlepas sebagai umat Katolik, identitas diri sebagai orang Bali tidak bisa dihilangkan. Oleh karena itu, gereja pun berarsitektur khas Bali dan menyerupai wantilan.
"Begitu pula pengguna simbol khas Bali yang kami lihat dalam konteks budaya. Bagi umat Katolik, di mana pun gereja Katolik berada harus berdialog dengan budaya setempat. Makanya kami juga menggunakan gebogan tapi ada salibnya, ada penjor tapi bersifat dekorasi bukan keagamaan," jelas Romo Widastra.
Lebih lanjut, Romo Widastra membeberkan bahwa ke-Katolik-an di Banjar Tuka telah dimulai pada tahun 1936 di mana ada dua orang Bali dari Tuka yang telah dibaptis sebagai Kristen Protestan. Dua orang ini adalah Wayan Dibloeg dan Made Bronong yang kemudian mengikuti gereja Katolik.
"Sebelum 1936 itu ada Pendeta Chang dari Christian Missionary Alliance (CMA) yang beragama Kristen Protestan namun kemudian ditinggalkan gembalanya, Pendeta Chang. Karena tidak punya gembala, mereka (Dibloeg dan Bronong) akhirnya bertemu Frater Kersten," tutur Romo Widastra.
Frater Kersten, kata Romo kelahiran Palasari, Kecamatan Melaya, Jembrana ini, menyukai budaya sebagaimana sifat gereja Katolik. Hal ini berbeda dengan ajaran CMA yang sebelumnya diterima Wayan Dibloeg dan Made Bronong yang disebut ekstrem dan cenderung menjaga jarak dengan budaya setempat.
"Mereka (Dibloeg dan Bronong) lalu ditunjukkan kitab suci ber-Bahasa Bali oleh Frater Kersten, yang pada zaman itu memang sudah ada. Jadi, ke-Katolik-an di Tuka ini sebenarnya bukan dari orang Bali yang beragama Hindu tetapi orang Bali yang beragama Kristen Protestan," imbuh Romo Widastra.
Meski Banjar Tuka 'terbelah' ke dalam Desa Adat Tuka, Pamaksan Katolik, dan Pamaksan Kristen Protestan, atas nama leluhur yang sama, mereka menjaga solidaritas dan toleransi. Hal ini diakui oleh Bendesa Adat Tuka I Gede Sukarya, 56, yang turut memantau kegiatan Misa Natal pada Senin.
"Dalam perayaan Paskah dan Natal seperti sekarang ini kami selalu berkolaborasi terutama dalam ranah pengamanan. Kalau di adat itu ada pacalang, nah kami juga ada Bankamda (Bantuan Keamanan Desa Adat). Bankamda ini unsurnya tidak hanya dari umat Hindu, tetapi juga saudara Kristiani," beber Sukarya.
Lanjut Sukarya, adat dan pamaksan saling mengisi satu sama lain. Hal ini dapat dilihat ketika ada hajatan perkawinan, terutama lintas agama dan desa. Misalkan, ada warga Kristiani yang meminang umat Hindu dari luar. Mau tidak mau, prajuru Desa Adat Tuka dilibatkan lantaran ada prosesi secara adat Hindu Bali yang diminta desa adat bersangkutan. *rat
Sebelum Hari Raya Natal yang jatuh setiap 25 Desember, warga Katolik di Banjar Tuka melakukan panampahan minimal satu hari sebelumnya. Atau, dua hari sebelumnya jika persiapan di gereja terlalu sibuk dan memakan waktu lebih banyak.
Kelian Dinas Banjar Tuka, Arnoldus I Nyoman Adi Suryanata, 42, menjelaskan selama perayaan Hari Raya Natal, secara tradisi ada rentetan Panampahan Natal, Hari Raya Natal, dan Umanis Natal.
"Kami ngejot (berbagi hasil mebat/masakan ke tetangga) pada Panampahan Natal, biasanya sehari atau dua hari sebelum Natal," ujar Adi Suryanata ketika dijumpai di sela Misa Hari Raya Natal di Gereja Tritunggal Mahakudus Tuka, Senin (25/12/2023).
Belakangan, Panampahan Natal lebih sering digelar dua hari sebelum Hari Raya Natal. Sebab, sehari sebelum Hari Raya Natal, warga disibukkan dengan persiapan di gereja seperti menghias lingkungan gereja dengan penjor, janur, gebogan, dan utamanya Misa Vigili Natal atau detik-detik kelahiran Yesus Kristus.
Hiasan bernuansa budaya Bali ini bukan hanya dipasang di dalam lingkungan gereja tetapi juga di sepanjang jalan umum menuju ke gereja. Ornamen khas Bali ini dipasang selain dekorasi yang sudah menjadi pakem seperti pohon Natal, diorama kisah kelahiran Yesus Kristus, dan lain-lain.
"Kami di sini juga ada Umanis Natal atau sehari setelah Hari Raya Natal. Umanis Natal ini diisi dengan aktivitas Natal kedua yang dijalani dengan misa di gereja," jelas Adi Suryanata.
Kata Romo Paskalis Nyoman Widastra SVD, Pastor Paroki Tritunggal Mahakudus Tuka, terlepas sebagai umat Katolik, identitas diri sebagai orang Bali tidak bisa dihilangkan. Oleh karena itu, gereja pun berarsitektur khas Bali dan menyerupai wantilan.
"Begitu pula pengguna simbol khas Bali yang kami lihat dalam konteks budaya. Bagi umat Katolik, di mana pun gereja Katolik berada harus berdialog dengan budaya setempat. Makanya kami juga menggunakan gebogan tapi ada salibnya, ada penjor tapi bersifat dekorasi bukan keagamaan," jelas Romo Widastra.
Lebih lanjut, Romo Widastra membeberkan bahwa ke-Katolik-an di Banjar Tuka telah dimulai pada tahun 1936 di mana ada dua orang Bali dari Tuka yang telah dibaptis sebagai Kristen Protestan. Dua orang ini adalah Wayan Dibloeg dan Made Bronong yang kemudian mengikuti gereja Katolik.
"Sebelum 1936 itu ada Pendeta Chang dari Christian Missionary Alliance (CMA) yang beragama Kristen Protestan namun kemudian ditinggalkan gembalanya, Pendeta Chang. Karena tidak punya gembala, mereka (Dibloeg dan Bronong) akhirnya bertemu Frater Kersten," tutur Romo Widastra.
Frater Kersten, kata Romo kelahiran Palasari, Kecamatan Melaya, Jembrana ini, menyukai budaya sebagaimana sifat gereja Katolik. Hal ini berbeda dengan ajaran CMA yang sebelumnya diterima Wayan Dibloeg dan Made Bronong yang disebut ekstrem dan cenderung menjaga jarak dengan budaya setempat.
"Mereka (Dibloeg dan Bronong) lalu ditunjukkan kitab suci ber-Bahasa Bali oleh Frater Kersten, yang pada zaman itu memang sudah ada. Jadi, ke-Katolik-an di Tuka ini sebenarnya bukan dari orang Bali yang beragama Hindu tetapi orang Bali yang beragama Kristen Protestan," imbuh Romo Widastra.
Meski Banjar Tuka 'terbelah' ke dalam Desa Adat Tuka, Pamaksan Katolik, dan Pamaksan Kristen Protestan, atas nama leluhur yang sama, mereka menjaga solidaritas dan toleransi. Hal ini diakui oleh Bendesa Adat Tuka I Gede Sukarya, 56, yang turut memantau kegiatan Misa Natal pada Senin.
"Dalam perayaan Paskah dan Natal seperti sekarang ini kami selalu berkolaborasi terutama dalam ranah pengamanan. Kalau di adat itu ada pacalang, nah kami juga ada Bankamda (Bantuan Keamanan Desa Adat). Bankamda ini unsurnya tidak hanya dari umat Hindu, tetapi juga saudara Kristiani," beber Sukarya.
Lanjut Sukarya, adat dan pamaksan saling mengisi satu sama lain. Hal ini dapat dilihat ketika ada hajatan perkawinan, terutama lintas agama dan desa. Misalkan, ada warga Kristiani yang meminang umat Hindu dari luar. Mau tidak mau, prajuru Desa Adat Tuka dilibatkan lantaran ada prosesi secara adat Hindu Bali yang diminta desa adat bersangkutan. *rat
Komentar