Bertahun Baru
PASANGAN suami istri lansia itu sudah merayakan tahun baru dengan beragam macam. Ketika mereka masih pasangan muda, lima tahun menikah, mereka bertahun baru di Mojokerto. Tak begitu jauh dengan Denpasar, asal mereka. Ke Mojokerto mereka pergi, untuk menelisik situs Majapahit.
Mereka pernah menikmati tahun baru di Tengger, Taman Nasional Bromo, menyaksikan matahari pertama di tahun itu.
Sepuluh tahun menikah, mereka bertahun baru ke Eropa.
Usia lima puluh, mereka pergi ke Jepang, bertahun baru di Wakayama, di penginapan di tengah hutan pinus. Dingin sekali, tetapi sangat berkesan buat mereka.
Dua tahun lalu, ketika perkawinan mereka sudah 35 tahun, mereka bertahun baru di Australia.
Bosan ke mancanegara, mereka menghabiskan malam tahun baru di Lovina, Buleleng. Pernah juga bersama anak-menantu menyambut tahun baru di Toyabungkah, di tepi Danau Batur.
Kini, pasangan itu menimbang-nimbang, manakah tahun baru yang paling berkesan buat mereka? Ketika menikmati salju di Paris, Nederland atau Praha? Ketika di Danau Buyan? Atau tatkala cuma menghabiskan malam tahun baru di Pantai Kuta? Pernah mereka menyambut pagi di Pantai Sanur, di antara turis-turis sepuh yang menunggu matahari pertama di tepi pantai. Apakah itu tahun baru yang paling berkesan?
Pasangan suami istri itu, tak tahu mana yang paling berkesan. Karena itu, ia ragu ketika hendak memilih seperti apa sebaiknya menghabiskan tahun baru kali ini. Kepada anak, menantu, dan cucu, ia melontarkan gagasan. “Kita habiskan tahun baru bersama saja. Mau?”
Tapi, masing-masing punya acara sendiri-sendiri. Yang muda-muda mau menghabiskan malam tahun baru sampai dinihari dengan teman-teman mereka.
“Kami hendak panggang ikan,” ujar seorang anak.
Yang lain menimpali, “Kami akan jalan-jalan di Pantai Kuta sampai mabuk. Ha-ha-ha...”
Ada yang berkomentar, “Mana mungkin mabuk kalau cuma jalan?”
Pasangan lansia itu mulai menimbang-nimbang, mengapa tidak ada tahun baru yang khas Bali? Jika orang Bali begitu banyak gagasan ketika merayakan hari-hari besar, mengapa mereka tidak punya cara khusus merayakan tahun baru?
Si suami berkomentar, orang Bali memang tak bakalan punya cara khusus merayakan tahun baru. Mereka tak pernah punya cara khas merayakan pergantian tahun. Lihatlah hari raya Nyepi, pergantian tahun kita, sesungguhnya tak pernah dirayakan. “Orang Bali mengisi tahun baru itu dengan diam, duduk-duduk, berbaring bermalas-malasan atau maceki.”
Di Bali perayaan tahun baru itu memang untuk orang lain. Mereka datang sebagai kaum plesir, menyambut tahun baru dengan bersenang-senang. Jika kemudian banyak orang Bali yang juga bergembira menyambut tahun baru, itu pertanda mereka mencoba menjadi ‘orang lain’. Agar tidak menjadi ‘orang lain’, si istri punya gagasan merayakan tahun baru bergaya Bali.
“Memangnya bisa kamu merayakan tahun baru versi Bali?” tanya si suami.
Si istri menjelaskan, ia akan menghaturkan sesaji di malam tahun baru. Akan ia undang keluarga besar, sanak-saudara, anak-anak, menantu, cucu-cucu. Akan ia ajak mereka bersembahyang. Esoknya, pas di tahun baru, mereka akan dikumpulkan di rumah tua, sembahyang di merajan, dengan sesaji beraneka buah, kue, dan daging. Tentu ada suguhan babi guling, menu favorit keluarga besar itu.
Di malam tahun baru, banyak yang hadir. Mereka sembahyang dan berdoa. Makanan-makanan lezat disuguhkan. Ada yang nyanyi-nyanyi karaoke. Selepas pukul sepuluh, banyak yang pamitan.
“Saya mau ke Kuta, niup terompet,” ujar seseorang.
“Kalau saya mau ke alun-alun, lihat kembang api,” sahut yang lain.
“Saya pamit ya, mau ke Sanur.”
Ada pula yang dengan enteng berujar, “Saya duluan ya, mau antar pacar putar-putar kota.”
Menjelang tengah malam, cuma pasangan suami-istri lansia itu yang duduk termangu di kebun belakang rumah. Mereka berdua mendengar letupan kembang api di angkasa. Keesokan hari, pas tahun baru, lewat jam satu siang beberapa orang datang, masih mengantuk, malas sembahyang di merajan.
Suami-istri lansia itu, akhirnya paham, orang Bali memang tak punya gaya, tak ada cara, untuk merayakan tahun baru. Mungkin karena tradisi mereka mengajarkan, pergantian tahun itu, ketika Nyepi, harus diresapi dengan diam, hening, tidak ke mana-mana. Boleh jadi, orang Bali memang tak mengenal acara tahun baru. 7
Sepuluh tahun menikah, mereka bertahun baru ke Eropa.
Usia lima puluh, mereka pergi ke Jepang, bertahun baru di Wakayama, di penginapan di tengah hutan pinus. Dingin sekali, tetapi sangat berkesan buat mereka.
Dua tahun lalu, ketika perkawinan mereka sudah 35 tahun, mereka bertahun baru di Australia.
Bosan ke mancanegara, mereka menghabiskan malam tahun baru di Lovina, Buleleng. Pernah juga bersama anak-menantu menyambut tahun baru di Toyabungkah, di tepi Danau Batur.
Kini, pasangan itu menimbang-nimbang, manakah tahun baru yang paling berkesan buat mereka? Ketika menikmati salju di Paris, Nederland atau Praha? Ketika di Danau Buyan? Atau tatkala cuma menghabiskan malam tahun baru di Pantai Kuta? Pernah mereka menyambut pagi di Pantai Sanur, di antara turis-turis sepuh yang menunggu matahari pertama di tepi pantai. Apakah itu tahun baru yang paling berkesan?
Pasangan suami istri itu, tak tahu mana yang paling berkesan. Karena itu, ia ragu ketika hendak memilih seperti apa sebaiknya menghabiskan tahun baru kali ini. Kepada anak, menantu, dan cucu, ia melontarkan gagasan. “Kita habiskan tahun baru bersama saja. Mau?”
Tapi, masing-masing punya acara sendiri-sendiri. Yang muda-muda mau menghabiskan malam tahun baru sampai dinihari dengan teman-teman mereka.
“Kami hendak panggang ikan,” ujar seorang anak.
Yang lain menimpali, “Kami akan jalan-jalan di Pantai Kuta sampai mabuk. Ha-ha-ha...”
Ada yang berkomentar, “Mana mungkin mabuk kalau cuma jalan?”
Pasangan lansia itu mulai menimbang-nimbang, mengapa tidak ada tahun baru yang khas Bali? Jika orang Bali begitu banyak gagasan ketika merayakan hari-hari besar, mengapa mereka tidak punya cara khusus merayakan tahun baru?
Si suami berkomentar, orang Bali memang tak bakalan punya cara khusus merayakan tahun baru. Mereka tak pernah punya cara khas merayakan pergantian tahun. Lihatlah hari raya Nyepi, pergantian tahun kita, sesungguhnya tak pernah dirayakan. “Orang Bali mengisi tahun baru itu dengan diam, duduk-duduk, berbaring bermalas-malasan atau maceki.”
Di Bali perayaan tahun baru itu memang untuk orang lain. Mereka datang sebagai kaum plesir, menyambut tahun baru dengan bersenang-senang. Jika kemudian banyak orang Bali yang juga bergembira menyambut tahun baru, itu pertanda mereka mencoba menjadi ‘orang lain’. Agar tidak menjadi ‘orang lain’, si istri punya gagasan merayakan tahun baru bergaya Bali.
“Memangnya bisa kamu merayakan tahun baru versi Bali?” tanya si suami.
Si istri menjelaskan, ia akan menghaturkan sesaji di malam tahun baru. Akan ia undang keluarga besar, sanak-saudara, anak-anak, menantu, cucu-cucu. Akan ia ajak mereka bersembahyang. Esoknya, pas di tahun baru, mereka akan dikumpulkan di rumah tua, sembahyang di merajan, dengan sesaji beraneka buah, kue, dan daging. Tentu ada suguhan babi guling, menu favorit keluarga besar itu.
Di malam tahun baru, banyak yang hadir. Mereka sembahyang dan berdoa. Makanan-makanan lezat disuguhkan. Ada yang nyanyi-nyanyi karaoke. Selepas pukul sepuluh, banyak yang pamitan.
“Saya mau ke Kuta, niup terompet,” ujar seseorang.
“Kalau saya mau ke alun-alun, lihat kembang api,” sahut yang lain.
“Saya pamit ya, mau ke Sanur.”
Ada pula yang dengan enteng berujar, “Saya duluan ya, mau antar pacar putar-putar kota.”
Menjelang tengah malam, cuma pasangan suami-istri lansia itu yang duduk termangu di kebun belakang rumah. Mereka berdua mendengar letupan kembang api di angkasa. Keesokan hari, pas tahun baru, lewat jam satu siang beberapa orang datang, masih mengantuk, malas sembahyang di merajan.
Suami-istri lansia itu, akhirnya paham, orang Bali memang tak punya gaya, tak ada cara, untuk merayakan tahun baru. Mungkin karena tradisi mereka mengajarkan, pergantian tahun itu, ketika Nyepi, harus diresapi dengan diam, hening, tidak ke mana-mana. Boleh jadi, orang Bali memang tak mengenal acara tahun baru. 7
Aryantha Soethama
Pengarang
1
Komentar