Siat Ndut hingga Siat Yeh, Hidupkan Permainan Tradisional yang Sederhana
Dari Gelaran Festival Air Desa Adat Suwat Gianyar
GIANYAR, NusaBali - Tradisi dan permainan tradisional semakin digaungkan sejumlah Desa Adat di Bali. Seperti siat ndut (perang lumpur,red) dan siat yeh (perang air) dalam serangkaian Festival Air Suwat di Desa Adat Suwat, Kecamatan/Kabupaten Gianyar digelar pada Saniscara Kliwon Landep, Sabtu (30/12) sore. Seperti apa?
Ratusan krama lanang istri turun berduyun-duyun memadati lokasi acara di dua petak sawah yang penuh lumpur di Desa Adat Suwat. Beragam permainan tradisional dipertandingkan seperti; nyuun jun (menjunjung kendi) berisi air, tarik tambang, lari upik, menangkap bebek hingga gebug bantal yang seluruhnya dilakukan dalam gelanggang berlumpur.
Bendesa Desa Adat Suwat Ngakan Putu Sudibya (Ngakan Dibia) menjelaskan Festival Air Suwat (FAS) ke 9 ini mengagendakan 3 kegiatan. Pertama perang lumpur, kedua mendak tirta, terakhir siat yeh (perang air) atau perang air. "Kita memang ingin membangun sebuah budaya yang berkaitan dengan pengembangan kearifan lokal di desa adat," jelas Ngakan Dibya.
Sejak gelaran pertama, FAS memang memilih air sebagai tema utama. "Sejak awal festival ini rohnya adalah air. Jadi kami berusaha tetap menjaga semua ritual yang berhubungan dengan air," terang mantan wartawan ini.
“Termasuk perang lumpur yang menggunakan media air. Peserta perang lumpur diikuti oleh krama Desa Adat Suwat dan warga sekitar. Ada juga wisatawan yang kebetulan berkunjung ke Suwat Waterfall, tertarik untuk ikut serta,” imbuh Ngakan Dibya.
Bagi Ngakan Dibya, perang lumpur ini ibarat nostalgia dengan permainan masa kecil yang dilakukan di sawah. "Ini permainan kami waktu kecil, kami ingin tetap terjaga dengan melakukan perbaikan-perbaikan sehingga menjadi menarik untuk ditonton," terangnya.
Ngakan Dibia menegaskan bahwa perang lumpur ini sebagai upaya mempertahankan tradisi lama. "Desa Suwat ini merupakan desa agraris. Penduduknya dominan jadi petani yang punya lahan sawah, biasanya saya waktu kecil terbiasa main lumpur di sawah," ujar Ngakan Dibia.
Selain siat endut, rangkaian FAS juga ada mendak tirta atau ritual suci di Pengelukatan Siwa Melahangge. Tirta suci ini digunakan sebagai sarana atau simbol ruwatan pada saat siat yeh berlangsung pada awal Tahun 2024, Senin (1/1) besok. "Kami nunas tirta suci di pengelukatan Siwa Melahangge, sebagai sarana untuk melakukan perang air," ujar Ngakan Dibya.
Perang air ini sendiri dimaknai sebagai ruwatan atau pembersihan diri masyarakat dari aura negatif tahun sebelumnya menuju energi positif di tahun yang baru. "Agar kita senantiasa semakin kuat menghadapi tantangan ke depan yang semakin berat," imbuhnya.
Tahun ini FAS didesain lebih sederhana dengan lebih banyak melibatkan tokoh-tokoh lokal. Pelaksanaan atau kepanitiaan sepenuhnya melibatkan para yowana (pemuda-pemudi) yang berasal dari tiga banjar adat di Desa Adat Suwat. Tujuannya jelas, yakni memberi pengalaman kepada para yowana dalam menggelar even dengan berbagai kendala yang ada. Lagipula mereka ini adalah generasi-generasi emas atau generasi z (gen-z) yang nantinya akan bersaing di era global untuk menuju Indonesia Emas 2045. "Kami ingin mereka bisa keluar menjadi pemenang di era global. Kita mulai dari hal-hal kecil untuk menuju mimpi besar tahun 2045,” tegas Ngakan Dibya.nvi
Bendesa Desa Adat Suwat Ngakan Putu Sudibya (Ngakan Dibia) menjelaskan Festival Air Suwat (FAS) ke 9 ini mengagendakan 3 kegiatan. Pertama perang lumpur, kedua mendak tirta, terakhir siat yeh (perang air) atau perang air. "Kita memang ingin membangun sebuah budaya yang berkaitan dengan pengembangan kearifan lokal di desa adat," jelas Ngakan Dibya.
Sejak gelaran pertama, FAS memang memilih air sebagai tema utama. "Sejak awal festival ini rohnya adalah air. Jadi kami berusaha tetap menjaga semua ritual yang berhubungan dengan air," terang mantan wartawan ini.
“Termasuk perang lumpur yang menggunakan media air. Peserta perang lumpur diikuti oleh krama Desa Adat Suwat dan warga sekitar. Ada juga wisatawan yang kebetulan berkunjung ke Suwat Waterfall, tertarik untuk ikut serta,” imbuh Ngakan Dibya.
Bagi Ngakan Dibya, perang lumpur ini ibarat nostalgia dengan permainan masa kecil yang dilakukan di sawah. "Ini permainan kami waktu kecil, kami ingin tetap terjaga dengan melakukan perbaikan-perbaikan sehingga menjadi menarik untuk ditonton," terangnya.
Ngakan Dibia menegaskan bahwa perang lumpur ini sebagai upaya mempertahankan tradisi lama. "Desa Suwat ini merupakan desa agraris. Penduduknya dominan jadi petani yang punya lahan sawah, biasanya saya waktu kecil terbiasa main lumpur di sawah," ujar Ngakan Dibia.
Selain siat endut, rangkaian FAS juga ada mendak tirta atau ritual suci di Pengelukatan Siwa Melahangge. Tirta suci ini digunakan sebagai sarana atau simbol ruwatan pada saat siat yeh berlangsung pada awal Tahun 2024, Senin (1/1) besok. "Kami nunas tirta suci di pengelukatan Siwa Melahangge, sebagai sarana untuk melakukan perang air," ujar Ngakan Dibya.
Perang air ini sendiri dimaknai sebagai ruwatan atau pembersihan diri masyarakat dari aura negatif tahun sebelumnya menuju energi positif di tahun yang baru. "Agar kita senantiasa semakin kuat menghadapi tantangan ke depan yang semakin berat," imbuhnya.
Tahun ini FAS didesain lebih sederhana dengan lebih banyak melibatkan tokoh-tokoh lokal. Pelaksanaan atau kepanitiaan sepenuhnya melibatkan para yowana (pemuda-pemudi) yang berasal dari tiga banjar adat di Desa Adat Suwat. Tujuannya jelas, yakni memberi pengalaman kepada para yowana dalam menggelar even dengan berbagai kendala yang ada. Lagipula mereka ini adalah generasi-generasi emas atau generasi z (gen-z) yang nantinya akan bersaing di era global untuk menuju Indonesia Emas 2045. "Kami ingin mereka bisa keluar menjadi pemenang di era global. Kita mulai dari hal-hal kecil untuk menuju mimpi besar tahun 2045,” tegas Ngakan Dibya.nvi
1
Komentar