Indeks Negara Hukum di Indonesia Masih Merah
Sudirta : Anjlok Jelang Pemilu, Dipicu Penegakan Hukum yang Lemah
DENPASAR, NusaBali - Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada Oktober 2023 merilis survei kondisi penegakan hukum di Indonesia. Kepercayaan pada lembaga penegakan hukum naik pada awal 2023 namun menurun pada akhir 2023 yang dipicu berbagai faktor, mulai maraknya mafia hukum, kasus suap hingga budaya korupsi yang masih tinggi.
“Hasilnya proporsi buruk mendapat 36,1 persen dari responden, sedangkan yang menilai baik hanya 28,1 persen. Tingkat kepercayaan terhadap institusi hukum juga melemah, seperti pada KPK yang hanya mencapai 55 persen, Polri 53 persen, Kejaksaan 59 persen, dan Badan Peradilan sebesar 57 persen. LSI bahkan memprediksi akan ada penurunan tren pada tahun Pemilu,” ujar Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDIP Dr Wayan Sudirta,SH,MH dalam keterangan tertulisnya, Senin (1/1).
Sudirta mengatakan fenomena hukum tahun 2023, mulai kasus pencucian uang oknum Kemenkeu, kasus Ferdi Sambo dan Teddy Minahasa, kasus Kanjuruhan, kasus putusan Mahkamah Konstitusi yang melahirkan MKMK, kasus Ketua KPK, hingga adanya dorongan untuk membuka kembali kasus ‘Kopi Sianida’ viral di media sosial. Fenomena di atas, kata Sudirta melahirkan berbagai opini dan rapor penegakan hukum di tahun 2023.
Dari review yang dikeluarkan World Justice Report, Indeks Negara Hukum di Indonesia di tahun 2023 masih merah atau sama dengan tahun sebelumnya yakni 0,53 dari skala 0-1. Skor ini mengindikasikan stagnasi pada upaya pembangunan hukum Indonesia. Beberapa aspek yang dinilai adalah tingkat pengaruh kekuasaan pemerintah, korupsi, keterbukaan, pemenuhan hak dasar seperti kebebasan berekspresi, ketertiban dan keamanan, penegakan aturan, peradilan sipil, dan peradilan pidana.
Sementara survei yang dilakukan oleh Litbang Kompas menunjukkan tren peningkatan kepercayaan publik di tahun 2023 di sektor hukum, yakni pada Januari yang hanya 59 persen menjadi 61,9 persen di akhir Agustus 2023. Kepuasan terjadi pada aspek-aspek seperti penuntasan kasus hukum dan kekerasan oleh aparat, pemberantasan suap, jaminan kesamaan di muka hukum, dan pemberantasan korupsi. “Fluktuasi tren kepercayan atau kepuasan publik terhadap sektor penegakan hukum memang merupakan refleksi dan menjadi pekerjaan rumah bersama tahun 2024. Terdapat hal yang fundamental dalam dinamika penegakan hukum pada 2023 ini,” tegas Sudirta.
Ditambahkan Sudirta, pemerintah berupaya menerapkan reformasi kultur dan struktur di seluruh Kementerian/Lembaga, termasuk institusi penegakan hukum dan sistem peradilan. Namun hal ini terlihat lambat, seiring dengan berbagai hal seperti tingkat pendidikan, budaya korupsi, dan masih adanya perdagangan pengaruh. “Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme juga belum berjalan sepenuhnya,” ujar pendiri Bali Corupption Watch (BCW) ini.
Sudirta menegaskan penegakan hukum masih diwarnai dengan mafia hukum, suap, dan penyalahgunaan kewenangan. Belum lagi ditambah dengan budaya kekerasan, kesewenangan, dan keterlibatan dalam tindak pidana. Kata dia, setiap insitusi penegak hukum memiliki manajemen Sumber Daya Manusia dan pengawasan. Berbagai cara untuk mengoptimalkan pengawasan, profesionalisme, dan transparansi terlihat telah dilakukan melalui sistem pengawasan melekat hingga digitalisasi. “Tapi masyarakat tetap dapat melihat dengan mata telanjang adanya praktik mafia di sektor pelayanan publik, suap di pengurusan perkara, penggunaan pengaruh ‘orang dalam’ dan berbagai penyalahgunaan kewenangan oleh aparat seperti penggunaan untuk kepentingan pribadi dan keluarga,” ujar advokat senior ini.
Kata dia, feformasi kultur dan struktur di manajemen Sumber Daya Manusia di sektor hukum adalah agenda penting diprioritaskan. Budaya organisasi dan sumber daya manusia harus diarahkan pada keadilan, transparansi, profesionalisme, akuntabilitas, dan mengutamakan integritas. “Maka dibutuhkan pemimpin-pemimpin yang dapat memberikan teladan dan tegas dalam melaksanakan tugas dan fungsinya secara bersih dan tidak pandang bulu serta lebih responsif dan berorientasi pada layanan publik,” pungkas Ketua Tim Perancang Undang-Undang DPD RI periode 2004-2009 dan 2009-2014 ini.n nat
Komentar