MUTIARA WEDA: Bibit, Bebet, Bobot
saṃdhivigrahayostulyāyāṃ vṛddhau saṃdhimupeyā (Arthasastra, 7.2.1)
Jika memiliki keuntungan yang sama antara damai dan perang, raja harus memilih damai.
UNTUK menjaga kedaulatan dan supremasi negara, seorang raja (pemimpin) harus mampu melihat serta menyelesaikan berbagai ancaman dan tantangan yang datang baik dari dalam maupun luar. Jika ancaman itu datang, raja harus mampu menyelesaikannya apakah melalui jalur damai atau perang. Seperti misalnya kasus OPM di Papua. Sepertinya, dibanding kekuatan pasukan Angkatan Bersenjata RI dan mereka terlalu jauh timpangnya. Di atas hitungan kertas, tentara RI bisa sangat mudah mengalahkannya. Tetapi, hal itu tidak dilakukan. Mengapa? Karena kerugiannya bisa lebih besar. Jika RI mengambil tindakan, tentu ikut campur negara asing menjadi sangat mungkin, dan ini akan memperkeruh suasana. Akibatnya, bisa saja Papua lepas. Oleh karena itu, jalur damai adalah pilihan terbaik. Kondisi politik tidak memungkinkan untuk melakukan perang.
Jadi, menurut Canakya, jangankan rugi, setara saja untungnya, jalur damai mesti diutamakan. Seorang penguasa harus memiliki kemampuan pertimbangan seperti itu. Jika tidak, negara akan mengalami kerugian, wilayahnya bisa mengecil, sumber daya berkurang, dan sebagainya. Tiap-tiap negara tentu memiliki strateginya masing-masing untuk mempertahankan kedaulatannya, mengembangkan sumber kekayaannya, meluaskan kekuasaannya, dan seterusnya. Sehingga, dalam hubungan dan kerja sama antar negara, nuansa politiknya sangat tinggi. Dalam hal ini, berbagai pertimbangan harus diambil. Jika dalam praktiknya lebih banyak merugikan, maka kita harus berdamai dan mundur pelan-pelan, tetapi jika menguntungkan, kerjasama tersebut mesti dilanjutkan.
Pernyataan Canakya di atas mesti menjadi pertimbangan utama bagi para negarawan, politikus, dan mereka yang ditugaskan sebagai pengambil kebijakan. Jangan sampai kepentingan dalam politik merugi ke dalam. Politik fungsinya untuk menguatkan dan memajukan masyarakat dan diri sendiri. Persoalannya, memahami pernyataan di atas tidak gampang, namun banyak yang menggampangkannya. Sehingga, banyak dari mereka akhirnya merasa menjadi korban. Antara harapan dan kenyataan jauh panggang dari api. Seperti misalnya, ada salah satu tokoh ingin menjadi anggota legislatif dan kemudian ikut mencalonkan diri lewat sebuah partai. Tentu ongkosnya tidak sedikit, bisa puluhan bahkan ratusan miliar. Jika kalah, tentu dia akan merasa sangat rugi, dan mengembalikan uang kekalahan itu tidak gampang. Aset pun ludes. Stres, pusing akhirnya.
Kemudian, jika berhasil menjadi anggota dewan, tentu naluri kita berkata ‘kembalikan dulu ongkos yang telah dikeluarkan’. Ini memiliki tension-nya yang tidak bisa ditutupi. Belum sempat kembali, segera datang banyak tangan menengadah yang harus dipenuhi. Janji-janji politik harus ditepati. Ini menjadi tension kedua. Kemudian untuk mengumpulkan pundi-pundi yang mulai mengering, berbagai manuver harus dilakukan pada saat bertugas. Tension baru lagi. Akhirnya, sampai pemilihan berikutnya, ongkos itu tak kembali. Ketegangan lagi. Aksi gila pun dilakukan, tetapi masalahnya harus berhadapan dengan KPK. Selesai menjabat, kursi pun diduduki anggota baru. Kembali menjadi warga masyarakat biasa, kadang tidak disapa dan tidak dianggap. Ini terasa seperti hukuman. Lengkap deritanya.
Nah, untuk itu penting memahaminya jika mau terjun ke dunia politik agar tidak menyisakan kesedihan. Bagaimana? Jika sama saja keuntungannya, damai pilihannya, yakni jangan terjun fight, tidak usah nyalon. Jika keuntungannya lebih tinggi, tarung itu memiliki arti. Apa keuntungannya? Pertama, well-being (kesejahteraan) masyarakat meningkat; kedua, mendapat kedudukan yang tinggi di hati masyarakat; dan ketiga, modal (kapital, sosial, dan yang lainnya) berlipat. Jika dalam pemilihan, memikirkan diri sendiri untuk balik modal saja masih berpikir (apalagi menyejahterakan masyarakat), maka lebih baik memilih damai, duduk bersama masyarakat atau melakukan kegiatan yang melibatkan masyarakat. Ketimbang pernah menjadi anggota dewan dan oleh masyarakat dianggap gagal, setelah turun, muka kita tidak lagi dianggap.
Sehingga, dalam mengambil keputusan penting sekali mengikuti pesan Canakya di atas. Caranya? Tentukan dulu bibit, bebet, dan bobot, serta beya-nya. Jika merasa memiliki gen pemimpin, memiliki pengetahuan tata cara memimpin, cukup modal kapital dan sosial serta ambisi menjabat tidak lagi memikirkan cuan, maka bertarunglah. Menang atau kalah tidak masalah. Damai akan tetap dirasakan. 7
I Gede Suwantana
Direktur Bali Vedanta Institute
1
Komentar