Kurang Tata Pencahayaan, Pentas Terasa 'Kering'
Sanggar Seni Kayonan, Semarapura menampilkan Oratorium Tradisional Kontemporer ‘Jaratkaru’ di panggung Madya Mandala Ksirarnawa, Taman Budaya, Denpasar, Selasa (18/7) malam mengisi Bali Mandara Mahalango IV.
Oratorium Tradisional Kontemporer ‘Jaratkaru’
DENPASAR, NusaBali
Pentunjukan ini mampu memuaskan dahaga para penikmat seni akan seni yang berkualitas. Hanya saja, penampilan terkendala fasilitas lampu panggung yang kurang menunjang.
Komposer sekaligus penata iringan oratorium tradisional kontemporer ‘Jaratkaru’, IB Made Widnyana juga merasakan hal itu. Menurut Widnyana, keberhasilan pementasan tidak hanya ditunjang oleh konsep yang bagus saja, melainkan juga memerlukan banyak faktor seperti audio, pencahayaan dan artistik panggung. Awalnya Widnyana membayangkan fasilitas tata lampu pementasan di Art Centre sudah mampu menunjang pementasan oratorium ‘Jaratkaru’ yang tampil. Nyatanya, ia harus mengubur bayangannya itu.
“Itu karena faktor pendukung seperti tata cahaya kurang mulus. Sebab sebuah pementasan akan berhasil seperti yang dibayangkan bila jembatannya (faktor pendukung, red) itu mulus,” ungkapnya.
Pengamat seni, Dr I Nyoman Astita MA juga mengakui hal tersebut. Menurutnya, karena tidak didukung oleh visual yang kuat, pementasan jadi terasa 'kering'. Padahal pementasannya bagus, dan cerita yang disajikan sangat menarik. Kata dia, untuk pementasan-pementasan sejenis ini memang tidak hanya mengandalkan kekuatan dialog semata melainkan juga tata panggung dan faktor tata lampu untuk pencahayaan. Sebab dengan dukungan kuat artistik pencahayaan dapat mewujudkan imajinasi ruang bawah, tengah dan atas atau bhur bwah swah dalam konsep Bali.
"Ini adalah cerita yang paling mendasar bagi orang Bali. Cuma dalam pertunjukan ini karena tidak diukung oleh visual yang kuat seperti suasana dan pencahayaan maka secara visual terasa kering. Kelemahan fasilitas untuk mendukung pencahayaan ini membuat imajinasi mana ruang bhur, mana ruang bwah dan mana ruang swah tidak terlukiskan di panggung,” komentarnya.
Sementara stage manager Bali Mandara Mahalango, Kadek Wahyudita, mengatakan, hal itu terjadi karena fasilitas di Art Centre memang belum dapat menunjang pementasan yang memerlukan fasilitas-fasilitas khusus. Wahyudita berharap ini menjadi catatan yang perlu segera dipecahkan. Keluhan tata pencahayaan ini ditanggapi secara cepat oleh Kabid Kesenian, Tenaga Kebudayaan dan Seni Rupa Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, Ni Wayan Sulastriani. Dalam jangka pendek, pihaknya berencana untuk melakukan pementasan berikutnya dengan meminjam di ISI Denpasar atau di Penggak Mersi. "Ke depannya ini menjadi bahan evaluasi kami untuk dicarikan jalan keluar," katanya.
Oratorium Tradisional Kontemporer ‘Jaratkaru’ menceritakan tentang kisah hidup seorang pertapa yakni Jaratkaru yang memilih sebagai Brahmacari yang tulus memberikan persembahan kepada Dewa dan melupakan hal duniawi. Dalam cerita ini dikisahkan perjalanan Jaratkaru dalam menempuh perjalanan di dunia bhur bwah swah (dunia bawah, tengah dan atas). Cerita ini diangkat dari bagian epos Mahabrata yaitu Adi Parwa.
Khusus untuk tata musik yang digarapnya, ketika Widnyana selaku komposer menerima naskah, dia sengaja tidak membawa konsep sendiri, melainkan mencoba memanfaatkan yang ada. “Berdasarkan pengalaman saya baik itu dari tradisi, pengalaman teater kontemporer, teater barat ini cukup menginsipirasi. Apalagi tadi juga ada musik film. Itu sangat sekali membantu . Dari situ saya sesuaikan dengan skenario dengan tetap berakar pada gamelan semar pegulingan,” terang Widnyana. *in
Komentar