Sampah dan Arus Lalin Macet Jadi Momok
Di Balik Sumringah Sektor Pariwisata Bali
TPST (Tempat Pengolahan Sampah Terpadu) yang menjadi ujung tombak pengelolaan sampah belum dapat beroperasi secara optimal. Pun, perilaku warga dalam mengelola sampah berbasis sumber tidak pernah beranjak membaik.
DENPASAR, NusaBali
Sektor pariwisata dari tahun ke tahun telah menumbuhkan kemajuan perekonomian signifikan bagi Bali. Sejurus dengan itu, Bali terus didera dampak yang kian berat untuk diatasi, yakni luberan sampah dan arus lalulintas macet terutama di kawasan wisata Bali selatan. Dua hal ini makin jadi momok bagi wilayah berjuluk pulau surga ini.
Beberapa tahun belakangan masalah penanganan sampah dan kemacetan di Bali menjadi kekhawatiran banyak pihak. Puncaknya, saat Tempat Pembuangan Akhir (TPA) terbesar di Bali, TPA Suwung, terbakar. Satu lagi, kemacetan parah berjam-jam arus lalin di sekitar Bandara I Gusti Ngurah Rai, akhir tahun 2023.
Sektor pariwisata dari tahun ke tahun telah menumbuhkan kemajuan perekonomian signifikan bagi Bali. Sejurus dengan itu, Bali terus didera dampak yang kian berat untuk diatasi, yakni luberan sampah dan arus lalulintas macet terutama di kawasan wisata Bali selatan. Dua hal ini makin jadi momok bagi wilayah berjuluk pulau surga ini.
Beberapa tahun belakangan masalah penanganan sampah dan kemacetan di Bali menjadi kekhawatiran banyak pihak. Puncaknya, saat Tempat Pembuangan Akhir (TPA) terbesar di Bali, TPA Suwung, terbakar. Satu lagi, kemacetan parah berjam-jam arus lalin di sekitar Bandara I Gusti Ngurah Rai, akhir tahun 2023.
Foto: Kebakaran sampah di TPA Suwung, Kota Denpasar, saat musim kemarau beberapa waktu lalu. -SURYADI
Pengamat tata ruang Bali Prof Dr Ir Putu Rumawan Salain MSi, mengatakan membeludaknya sampah di TPA Suwung dan kemacetan parah pada momen liburan bukan sesuatu yang mengagetkan. Sebab selama ini perkembangan penanganan dua masalah tersebut seperti jalan di tempat.
Menurut guru besar Fakultas Teknik Universitas Udayana (Unud), pemerintah selama ini masih terkesan setengah hati menyelesaikan kedua masalah tersebut, khususnya pengelolaan sampah sampah. Menurut Prof Rumawan, permasalahan sampah belum menjadi prioritas dibandingkan bidang pembangunan lain.
Penutupan TPA Suwung, misalnya, tidak pernah terealisasi sesuai rencana. Hal itu disebabkan TPST (Tempat Pengolahan Sampah Terpadu) yang menjadi ujung tombak pengelolaan sampah belum dapat beroperasi secara optimal. Pun, perilaku warga dalam mengelola sampah berbasis sumber tidak pernah beranjak membaik.
“Saya berpikir pemerintah tahu (permasalahan sampah), tapi canggung untuk memberi pendanaan karena tidak populer. Uang itu tidak diberikan secara maksimal karena tidak memberikan pengaruh signifikan kepada pembangunan,” jelas Prof Rumawan kepada NusaBali, Sabtu (6/1).
Prof Rumawan mengingatkan, saat ini setiap bidang pembangunan bersifat saling kait mengait, tidak bisa berdiri sendiri. Permasalahan sampah yang tidak dikelola dengan baik maupun kemacetan lalu lintas yang tidak kunjung diselesaikan akan berdampak kepada bidang pembangunan lainnya, termasuk pariwisata, kemiskinan, hingga stunting. Untuk itu, dia mendorong pembuat kebijakan untuk membuat perencanaan pembangunan Bali secara holistik.
Kemacetan parah yang terjadi pada momen libur akhir tahun lalu, menurut Prof Rumawan, harus dijadikan momentum untuk memperbaiki tata kelola jaringan transportasi di Bali. Diakuinya, hal itu bukan hal mudah, mengingat jalan di Bali saat ini sebagian besar merupakan pengembangan jalan yang dibuat sejak zaman kerajaan. Di mana pada saat itu mobilitas penduduk kebanyakan dengan berjalan kaki, sehingga jalan-jalan relatif sempit dan persimpangan jalan juga relatif dekat.
Menurut guru besar Fakultas Teknik Universitas Udayana (Unud), pemerintah selama ini masih terkesan setengah hati menyelesaikan kedua masalah tersebut, khususnya pengelolaan sampah sampah. Menurut Prof Rumawan, permasalahan sampah belum menjadi prioritas dibandingkan bidang pembangunan lain.
Penutupan TPA Suwung, misalnya, tidak pernah terealisasi sesuai rencana. Hal itu disebabkan TPST (Tempat Pengolahan Sampah Terpadu) yang menjadi ujung tombak pengelolaan sampah belum dapat beroperasi secara optimal. Pun, perilaku warga dalam mengelola sampah berbasis sumber tidak pernah beranjak membaik.
“Saya berpikir pemerintah tahu (permasalahan sampah), tapi canggung untuk memberi pendanaan karena tidak populer. Uang itu tidak diberikan secara maksimal karena tidak memberikan pengaruh signifikan kepada pembangunan,” jelas Prof Rumawan kepada NusaBali, Sabtu (6/1).
Prof Rumawan mengingatkan, saat ini setiap bidang pembangunan bersifat saling kait mengait, tidak bisa berdiri sendiri. Permasalahan sampah yang tidak dikelola dengan baik maupun kemacetan lalu lintas yang tidak kunjung diselesaikan akan berdampak kepada bidang pembangunan lainnya, termasuk pariwisata, kemiskinan, hingga stunting. Untuk itu, dia mendorong pembuat kebijakan untuk membuat perencanaan pembangunan Bali secara holistik.
Kemacetan parah yang terjadi pada momen libur akhir tahun lalu, menurut Prof Rumawan, harus dijadikan momentum untuk memperbaiki tata kelola jaringan transportasi di Bali. Diakuinya, hal itu bukan hal mudah, mengingat jalan di Bali saat ini sebagian besar merupakan pengembangan jalan yang dibuat sejak zaman kerajaan. Di mana pada saat itu mobilitas penduduk kebanyakan dengan berjalan kaki, sehingga jalan-jalan relatif sempit dan persimpangan jalan juga relatif dekat.
Foto: Kemacetan arus lalulintas di kawasan Badung selatan, jalur menuju Bandara Ngurah Rai, Tuban, Badung. -ANTARA
Sama seperti persoalan sampah, Prof Rumawan melihat pemerintah belum optimal melakukan pembangunan di bidang perhubungan. Di tengah jalanan sempit dan kepemilikan kendaraan pribadi yang terus bertambah, Prof Rumawan masih sering melihat kendaraan dengan tonase besar. Seperti truk ataupun bus berukuran besar melintas bebas di tengah kota, bahkan pada jam-jam sibuk.
“Sepertinya ada pembiaran. Saya tidak mengerti dan itu memicu kemacetan,” sentilnya.
Dia menambahkan, kemacetan parah maupun persoalan sampah menggunung juga menjadi momentum untuk mencari titik daya tampung Bali menerima jumlah kunjungan wisatawan. Menurutnya, Bali tidak boleh lupa pada tujuan pariwisata yang berkualitas.
Adanya anggapan kemacetan menjadi pertanda ekonomi tengah berjalan, menurut Prof Rumawan, merupakan pernyataan kurang bertanggung jawab. Kemacetan yang tidak terkelola, cepat atau lambat, akan merugikan perekonomian itu sendiri. Wisatawan akan kapok berwisata ke Bali karena akan selalu bertemu dengan kemacetan.
Kemacetan, khususnya di wilayah Bali selatan, kata Prof Rumawan, tidak hanya merugikan wisatawan, tapi juga telah menjadi rutinitas warga Bali sendiri. Kemacetan tersebut selain menjadi biaya ekonomi juga berimbas pada lingkungan dengan penambahan emisi karbon yang dikeluarkan kendaraan.
“Pelayanan pariwisata berkualitas mestinya dikaitkan dengan daya dukung. Berapa daya dukung yang efektif Bali untuk bisa hidup nyaman semuanya,” ujar Prof Rumawan.
“Sepertinya ada pembiaran. Saya tidak mengerti dan itu memicu kemacetan,” sentilnya.
Dia menambahkan, kemacetan parah maupun persoalan sampah menggunung juga menjadi momentum untuk mencari titik daya tampung Bali menerima jumlah kunjungan wisatawan. Menurutnya, Bali tidak boleh lupa pada tujuan pariwisata yang berkualitas.
Adanya anggapan kemacetan menjadi pertanda ekonomi tengah berjalan, menurut Prof Rumawan, merupakan pernyataan kurang bertanggung jawab. Kemacetan yang tidak terkelola, cepat atau lambat, akan merugikan perekonomian itu sendiri. Wisatawan akan kapok berwisata ke Bali karena akan selalu bertemu dengan kemacetan.
Kemacetan, khususnya di wilayah Bali selatan, kata Prof Rumawan, tidak hanya merugikan wisatawan, tapi juga telah menjadi rutinitas warga Bali sendiri. Kemacetan tersebut selain menjadi biaya ekonomi juga berimbas pada lingkungan dengan penambahan emisi karbon yang dikeluarkan kendaraan.
“Pelayanan pariwisata berkualitas mestinya dikaitkan dengan daya dukung. Berapa daya dukung yang efektif Bali untuk bisa hidup nyaman semuanya,” ujar Prof Rumawan.
Prof Rumawan berharap kontribusi wisatawan asing sebesar Rp 150.000 yang diterapkan mulai 14 Februari 2024 nanti, memberikan secercah harapan untuk permasalahan sampah dan kemacetan di Bali. Menurutnya, wisman yang sudah membayar akan mempertanyakan manfaat uang yang sudah dikeluarkan jika permasalahan dasar yang selama ini mereka keluhkan, sampah dan kemacetan, masih menjadi pemandangan sehari-hari.
“Kalau bicara pariwisata berkualitas, wisatawan mestinya menikmati. Bila perlu, turis yang berlibur tiga hari di Bali, bisa jadi lima hari. Itu akan menjadi penanda keberhasilan kita dan turis bisa menikmati destinasi wisata di Bali dengan baik,” tandas Prof Rumawan.
Seperti diketahui, pungutan bagi wisatawan asing telah disahkan melalui Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Bali Nomor 6 Tahun 2023 tentang Pungutan bagi Wisatawan Asing untuk Pelindungan Kebudayaan dan Lingkungan Alam Bali.
Penjabat (Pj) Gubernur Bali Sang Made Mahendra Jaya menegaskan persoalan sampah akan menjadi salah satu prioritas yang akan ditangani menggunakan dana pungutan wisman. Pemprov Bali, ujar Pj Gubernur, juga terus mengupayakan peningkatan kualitas sarana dan prasarana pendukung sektor pariwisata, salah satunya bidang infrastruktur transportasi dengan pengembangan LRT (Light Rail Transit).
“Untuk jangka panjang, pemerintah akan membangun kereta LRT dari bandara ke sejumlah titik yang selama ini lalu lintasnya padat seperti Legian, Seminyak, dan Canggu,” kata Pj Gubernur.
Pj Gubernur mengungkapkan pembangunan underpass di sejumlah titik di wilayah Kuta Selatan juga menjadi solusi jangka menengah. Hal ini akan diusahakan pemerintah agar kemacetan parah seperti saat akhir tahun lalu tidak menjadi rutinitas pada setiap puncak kunjungan wisatawan.7cr78
Komentar