Profound Life dan Siwaratri
Dadi wekasan mapet panalimur arip mata sake takut makejepan, pinipik ikang ruwaning maja nirantarang tinibakenya ring way adalem, ri dalem ikang tataka ana teki rakwa Siwa-lingga nora ginaway, yata kaana n nikang sakala malwa parna tumiba ta nora minaha. (Wirama 5.4: Aswalalita)
Akhirnya dia mencari penyebab hilangnya rasa kantuk karena takut tertidur; maka dipipiklah daun maja itu dengan tidak hentinya dilemparkannya ke telaga yang dalam; di tengah telaga ternyata terdapat Siwalingga yang tidak dibuat oleh manusia; ke tempat itulah jatuhnya daun-daun maja tanpa disengaja.
KARYA Tanakung ini penuh simbolik. Semakin profound (solid) kehidupan orang, semakin dalam makna yang bisa ditemukan. Jika tidak, kita hanya memahami permukaannya saja. Hal ini diindikasikan oleh penulis ketika menyebut, ‘wruh ngwang nisphala ning mango jenek alanglang I kalangen ikang pasir wukir (I:21)’ - aku tahu, percuma saja menikmati keindahan, jika hanya melanglang buana lalu terpesona menikmati keindahan pemandangan pasir-gunung’. Apa yang ada di permukaan? Alur cerita, pilihan kata, latar, suasana hati, dan keindahan wirama. Jika permukaan ini mampu memenetrasi ‘kesadaran religious’ kita, tindakan dalam cerita itu akan menjadi ‘aktivitas religious’ kita bertepatan dengan waktu yang ditunjukkan dalam cerita. Kita mengikuti cerita itu.
Pertama, Lubdaka tidak tidur, kita juga tidak tidur semalam suntuk. Kedua, Lubdaka tidak makan, maka kita juga begitu. Ketiga, Lubdaka menggunakan daun bilwa, kita juga mempersembahkan daun itu. Untungnya, perayaan itu dilaksanakan di pura atau di tempat suci lainnya, tidak di hutan di atas pohon bilwa yang tumbuh dekat telaga seperti halnya Lubdaka. Namun, apapun itu, cerita inilah yang menjadi landasan (rujukan utama) orang merayakan hari suci Siwaratri. Ketika ditanya, mengapa tidak di atas pohon bilwa? Orang secara umum menjawab bahwa itu tidak mungkin dilakukan. Tempat yang ada telaga dan Lingga Siwa itu bisa digantikan dengan pura atau tempat suci lainnya. Yang terpenting adalah bagaimana jagra, upawasa, dan pemujaan kepada Dewa Siwa dilaksanakan.
Lalu apa makna yang ditemukan dalam perayaan Siwaratri ini? Pertama, tentu adalah penggambaran sebagaimana yang dinyatakan dalam cerita apa adanya. Maknanya adalah orang mesti memuja Siwa sebagaimana yang tertera dalam teks. Uraian di atas menyebut bahwa Lubdaka tidak tidur dengan berupaya melawan kantuk. Kita juga tidak tidur saat malam Siwaratri. Agar tidak tidur, dia memetik daun bilwa dan menjatuhkannya ke kolam dan jatuh di atas lingga Siwa. Kita juga banyak yang memuja Siwa Lingga. Lubdaka tidak makan seharian. Kita juga upawasa seharian tidak makan. Makna umum adalah di sini, memuja Dewa Siwa agar kita memperoleh keselamatan dan diampuni dosa-dosa yang pernah dilakukan di masa lalu.
Kedua, ada yang memaknai bahwa ‘Lubdaka melawan kantuk’ itu adalah simbolik di mana orang mesti melakukan sadhana untuk melawan kebodohan. Tidur menyebabkan orang tidak sadar. Demikian juga karena kebodohan orang tidak menyadari diri sejatinya. Orang perlu terjaga dan melawan kebodohan itu. Ketiga, ada yang mengatakan bahwa ketika orang berada total dalam kewajibannya, seperti halnya Lubdaka total menjadi seorang pemburu, seluruh hidupnya didedikasikan untuk itu dan hasil buruan sepenuhnya untuk kesejahteraan keluarganya, maka perbuatan-perbuatan yang tampak tidak sengaja dilakukan sesungguhnya pertanda jalan untuk pembebasan. Seperti Lubdaka, meskipun dia seorang pemburu sederhana, namun totalitas hidupnyalah yang mengantarkan dirinya mencapai Siwaloka. Jadi, tidak sengaja menginap di hutan, tidak sengaja melawan kantuk, dan tidak sengaja menjatuhkan daun bilwa di atas lingga Siwa hanyalah justifikasi agar kehidupannya tampak tidak terlalu menyimpang dengan praktik masyarakat umum. Sejatinya, totalitas hidupnyalah yang mengantarkan untuk itu. Orang yang hidupnya profound akan mendapatkan dirinya dalam kejutan-kejutan, tampak tak terduga.
Mana dari ketiga interpretasi tersebut yang terbenar? Kembali, bukan interpretasinya yang membuat orang bisa mendapatkan keuntungan. Melainkan, apakah cerita tersebut mampu membawa kehidupan masing-masing menjadi profound? Meskipun orang dengan interpretasi pertama, hanya sebatas permukaan, tetapi dengan itu membuat dirinya total dan profound, maka dialah sesungguhnya yang mampu memetik nilainya. Dibandingkan interpretasi nomor 2 dan 3, meskipun simboliknya adalah sepertti itu namun hanya berupa untaian kata-kata saja di pikiran, maka itu tiada guna. 7
I Gede Suwantana
Direktur Bali Vedanta Institute
1
Komentar