Pangempon Pura Segara Rupek Tolak Bali Crossing
Jika proyek tersebut dibiarkan terlaksana, maka taksu Bali akan hilang, karena kesucian pura tidak bisa lagi dijaga.
SINGARAJA, NusaBali
Penolakan terhadap proyek listrik Jawa-Bali atau Bali Crossing samakin deras. Kali ini penolakan datang dari Pangempon Pura Segara Rupek termasuk warga di Desa Sumberkelampok, Kecamatan Gerokgak. Lembaga DPRD Buleleng juga ambil sikap yang sama menolak proyek tersebut. “Kalau pangempon Pura sudah pasti, Jero-Jero Mangku di sana (Pura Segara Rupek,red) sudah jelas menyampaikan tidak setuju. Sedangkan kami baik dari dinas dan adat di Desa Sumberkelampok, juga tegas menolak proyek Bali Crossing,” kata Kepala Desa (Perbekel) Desa Sumberkelampok, Wayan Sawitra Yasa yang dikonfirmasi Kamis (20/7).
Perbekel Sawitra Yasa menyebut, alasan penolakannya karena proyek itu bertentangan dengan Bhisama PHDI tentang kesucian pura. Menurutnya, jika proyek tersebut dibiarkan terlaksana, maka taksu Bali akan hilang, karena kesucian pura tidak bisa lagi dijaga. Di samping itu, proyek itu akan berbenturan dengan masyarakat di bawah. “Saya sampaikan tadi (dalam sosialisasi,red), bahwa masyarakat Sumberkalampok tidak setuju dengan proyek tersebut. Jika ini dipaksakan, maka karakter masyarakat Suberkelampok akan muncul. Aksi demo itu sudah kebutuhan, bukan lagi kebiasaan. Ini sudah kebutuhan warga kami. Bali ini saya ibaratkan seperti manusia, kepala adanya di Sumberkelampok, kalau kepalanya sudah sakit dengan proyek Bali Crossing, jelas tangan, badan dan kakinya pasti ikut sakit,” ungkapnya.
Sikap penolakan juga diambil Lembaga DPRD Buleleng. Ketua Dewan Gede Supriatna menegaskan, Bali memang perlu mandiri dalam pemenuhan energi listrik. Namun, kemandirian itu harus diwujudkan dari dalam, tidak mesti ada pasokan energi listrik dari luar Bali. “Kemandirian energi listrik itu harus diwujudkan dalam daerah sendiri, ya pasokan dari luar itu harus dikurangi. Sehingga ketersediaan listrik itu bisa terjamin. Kalau dari luar, kita tidak tahu pasokannya sewaktu-waktu bisa berkurang, dan tiba-tiba listrik mati,” katanya.
Menurutnya, kemandirian energi listrik ini menjadi bahan pertimbangan menyampaikan penolakan terhadap proyek listrik Bali Crossing. Hanya saja, saat ini pihaknya belum pernah dilibatkan dalam sosialisasi terkait dengan proyek tersebut.
Sementara Bupati Buleleng Putu Agus Suradnyana kembali menegaskan alasan penolakannya terhadap proyek listrik Bali Crossing. Dikatakan, ada empat hal yang mendasar yang jadi pertimbangan penolakannya, yakni masalah kesucian pura, Perda 16 Tahun 2009, ekosistem dan destinasi unggulan. Bupati Agus Suradnyana khawatir bentangan kabel SUTET dari Bali Crossing itu menganggu pengembangan destinasi unggulan yang ada di wilayah Gerokgak. Di samping itu, bentengan kabel itu juga bisa menganggu lalulintas penerbangan dari sekolah penerbangan yang berpusat di Lapangan Terbang Letkol Wisnu, di Desa Pemuteran, Kecamatan Gerokgak. “Bentangan SUTET apakah tidak membahayakan kehidupan di bawahnya. Di situ ada destinasi unggulan, seperti Pulau Menjangan, dan Batu Ampar,” tandasnya. *K19
Perbekel Sawitra Yasa menyebut, alasan penolakannya karena proyek itu bertentangan dengan Bhisama PHDI tentang kesucian pura. Menurutnya, jika proyek tersebut dibiarkan terlaksana, maka taksu Bali akan hilang, karena kesucian pura tidak bisa lagi dijaga. Di samping itu, proyek itu akan berbenturan dengan masyarakat di bawah. “Saya sampaikan tadi (dalam sosialisasi,red), bahwa masyarakat Sumberkalampok tidak setuju dengan proyek tersebut. Jika ini dipaksakan, maka karakter masyarakat Suberkelampok akan muncul. Aksi demo itu sudah kebutuhan, bukan lagi kebiasaan. Ini sudah kebutuhan warga kami. Bali ini saya ibaratkan seperti manusia, kepala adanya di Sumberkelampok, kalau kepalanya sudah sakit dengan proyek Bali Crossing, jelas tangan, badan dan kakinya pasti ikut sakit,” ungkapnya.
Sikap penolakan juga diambil Lembaga DPRD Buleleng. Ketua Dewan Gede Supriatna menegaskan, Bali memang perlu mandiri dalam pemenuhan energi listrik. Namun, kemandirian itu harus diwujudkan dari dalam, tidak mesti ada pasokan energi listrik dari luar Bali. “Kemandirian energi listrik itu harus diwujudkan dalam daerah sendiri, ya pasokan dari luar itu harus dikurangi. Sehingga ketersediaan listrik itu bisa terjamin. Kalau dari luar, kita tidak tahu pasokannya sewaktu-waktu bisa berkurang, dan tiba-tiba listrik mati,” katanya.
Menurutnya, kemandirian energi listrik ini menjadi bahan pertimbangan menyampaikan penolakan terhadap proyek listrik Bali Crossing. Hanya saja, saat ini pihaknya belum pernah dilibatkan dalam sosialisasi terkait dengan proyek tersebut.
Sementara Bupati Buleleng Putu Agus Suradnyana kembali menegaskan alasan penolakannya terhadap proyek listrik Bali Crossing. Dikatakan, ada empat hal yang mendasar yang jadi pertimbangan penolakannya, yakni masalah kesucian pura, Perda 16 Tahun 2009, ekosistem dan destinasi unggulan. Bupati Agus Suradnyana khawatir bentangan kabel SUTET dari Bali Crossing itu menganggu pengembangan destinasi unggulan yang ada di wilayah Gerokgak. Di samping itu, bentengan kabel itu juga bisa menganggu lalulintas penerbangan dari sekolah penerbangan yang berpusat di Lapangan Terbang Letkol Wisnu, di Desa Pemuteran, Kecamatan Gerokgak. “Bentangan SUTET apakah tidak membahayakan kehidupan di bawahnya. Di situ ada destinasi unggulan, seperti Pulau Menjangan, dan Batu Ampar,” tandasnya. *K19
Komentar