Frans Nadjira yang Keras dan Berani
SEJAK di bangku SMP pertengahan 80-an, Ketut Janu terus berupaya keras menulis puisi. “Tapi sajak tak pernah lahir dari tangan saya. Kalau pun toh hadir, itu cuma kata yang ditulis berderet ke bawah. Itu bukan puisi,” akunya.
Kendati Ketut tak kuasa menulis puisi, ia tekun mencermati kaum penyair yang bermukim Bali. Ketika kuliah di jurusan antropologi, ia mulai memahami dan meresapi, karya penyair kelahiran Bali dengan yang lahir di luar Bali, tapi lama tinggal di pulau ini, menghasilkan suasana berbeda. Penyair yang lahir di Bali gampang dan leluasa – bahkan acap kelewatan – memainkan idiom-idiom Bali dalam sajak-sajak mereka. Yang datang dari luar Bali lebih mengesankan puisi dengan daya ungkap terpusat pada apa semestinya yang pantas diketahui tentang Bali, sehingga menghasilkan puisi-puisi yang terinspirasi Bali. “Bang Frans Nadjira itu contohnya,” komentar Ketut.
Menurut Ketut Janu, puisi karya Frans Nadjira ‘Selamat Jalan I Gusti Nyoman Lempad’ sangat kental mewakili suasana Bali, dinamika Bali, namun lepas dari idiom-idiom Bali.
Untuk kali terakhir
kata menjengukmu
karena kata cuma milikku:
"Selamat jalan, batu paras
yang ditatah dengan kapak."
Dalam diri Janu, kekuatan beberapa baris dalam puisi ini memberi kesan sepadan dengan puisi ‘Senja di Pelabuhan Kecil’ karya Chairil Anwar.
Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.
Menurut Ketut Janu, Frans melontarkan dengan lugas, tandas, dengan metafor menggebrak, menghasilkan puisi yang gagah. Berbeda dengan Chairil yang mengungkapkannya dengan keindahan yang mengalir dari kegalauan hati.
Kita memang sulit mendapatkan suasana hati dengan lontaran kata-kata indah dalam puisi Frans Nadjira. Frans lebih menyukai ungkapan yang langsung menggertak, tanpa tedeng aling-aling. Kelebihan dan kekuatannya adalah, ia tahu betul bagaimana menguasai kata untuk menghasilkan frasa-frasa yang kuat, fokus, dan dalam. Tidak heran jika puisi-puisinya yang menggugat menjadi keras, tajam, dan sangat mempersoalkan.
Mungkin karena latar belakangnya sebagai orang Bugis, pengalaman hidup yang keras dari pengembaraan yang jauh, bertemu dengan orang-orang kuat untuk bertahan hidup, karya-karyanya menjadi suguhan yang keras, berani, dan bersuara lantang. Sulit kita mendapatkan puisi-puisi Frans yang lembut dan membuai.
“Karena itulah saya tertarik sama Bang Frans,” ujar Ketut Janu. Ia bersama penyair muda, dua atau tiga kali, pernah berkunjung ke rumah Frans untuk menimba ilmu dan pengisian diri. Ia kagum, bagaimana kaum penyair itu menghormatinya, semakin terlena ketika Frans ngomong kencang-kencang tentang puisi dengan dialek Bugis yang khas, terkesan begitu berani dan yakin kuat pada yang benar.
“Tapi saya tetap tak sanggup menulis puisi,” ujar Janu. “Entahlah, teman-teman lain terpacu oleh petuah-petuah Bang Frans, saya tak sedikit pun terpicu. Semestinya saya sudah jadi penyair bagus akibat lecutan-lecutan Bang Frans, ternyata tidak,” tutur Janu yang akhirnya menjadi guru SMA, dan tetap menyukai puisi.
Jika Janu membaca puisi ‘Selamat Jalan I Gusti Nyoman Lempad’, ia pasti teringat Frans Nadjira. Mendengar atau membaca pendapat orang tentang Lempad, ia pasti teringat Frans. Jika rekan-rekannya sesama penikmat puisi menyebut Frans Nadjira, ia pasti teringat Lempad. “Frans Nadjira dan Lempad menjadi satu paket tak terpisahkan dalam batin saya,” ujar Janu. “Itu puisi tentang Bali terbaik tanpa harus melesakkan idiom-idiom Bali ke dalamnya. Puisi ini berulang-ulang lebih seratus kali saya baca di panggung, atau dalam hati dan pikiran.”
Ketika penyair, pelukis, dan novelis yang lahir 3 September 1942, meninggal 12 Januari 2024, Ketut Janu berniat hadir di pemakaman. “Tapi saya lagi di Singaraja, menghadiri pernikahan putera teman,” kabarnya pada rekan yang hadir di Pemakaman Bugis, di Sidakarya, Denpasar Selatan, hari itu.
Dalam beberapa hari nanti, berbulan dan berbilang tahun, Ketut Janu pasti selalu terkenang-kenang Frans Nadjira, yang sering bersuara lantang, keras, dan berani. 7
Menurut Ketut Janu, puisi karya Frans Nadjira ‘Selamat Jalan I Gusti Nyoman Lempad’ sangat kental mewakili suasana Bali, dinamika Bali, namun lepas dari idiom-idiom Bali.
Untuk kali terakhir
kata menjengukmu
karena kata cuma milikku:
"Selamat jalan, batu paras
yang ditatah dengan kapak."
Dalam diri Janu, kekuatan beberapa baris dalam puisi ini memberi kesan sepadan dengan puisi ‘Senja di Pelabuhan Kecil’ karya Chairil Anwar.
Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.
Menurut Ketut Janu, Frans melontarkan dengan lugas, tandas, dengan metafor menggebrak, menghasilkan puisi yang gagah. Berbeda dengan Chairil yang mengungkapkannya dengan keindahan yang mengalir dari kegalauan hati.
Kita memang sulit mendapatkan suasana hati dengan lontaran kata-kata indah dalam puisi Frans Nadjira. Frans lebih menyukai ungkapan yang langsung menggertak, tanpa tedeng aling-aling. Kelebihan dan kekuatannya adalah, ia tahu betul bagaimana menguasai kata untuk menghasilkan frasa-frasa yang kuat, fokus, dan dalam. Tidak heran jika puisi-puisinya yang menggugat menjadi keras, tajam, dan sangat mempersoalkan.
Mungkin karena latar belakangnya sebagai orang Bugis, pengalaman hidup yang keras dari pengembaraan yang jauh, bertemu dengan orang-orang kuat untuk bertahan hidup, karya-karyanya menjadi suguhan yang keras, berani, dan bersuara lantang. Sulit kita mendapatkan puisi-puisi Frans yang lembut dan membuai.
“Karena itulah saya tertarik sama Bang Frans,” ujar Ketut Janu. Ia bersama penyair muda, dua atau tiga kali, pernah berkunjung ke rumah Frans untuk menimba ilmu dan pengisian diri. Ia kagum, bagaimana kaum penyair itu menghormatinya, semakin terlena ketika Frans ngomong kencang-kencang tentang puisi dengan dialek Bugis yang khas, terkesan begitu berani dan yakin kuat pada yang benar.
“Tapi saya tetap tak sanggup menulis puisi,” ujar Janu. “Entahlah, teman-teman lain terpacu oleh petuah-petuah Bang Frans, saya tak sedikit pun terpicu. Semestinya saya sudah jadi penyair bagus akibat lecutan-lecutan Bang Frans, ternyata tidak,” tutur Janu yang akhirnya menjadi guru SMA, dan tetap menyukai puisi.
Jika Janu membaca puisi ‘Selamat Jalan I Gusti Nyoman Lempad’, ia pasti teringat Frans Nadjira. Mendengar atau membaca pendapat orang tentang Lempad, ia pasti teringat Frans. Jika rekan-rekannya sesama penikmat puisi menyebut Frans Nadjira, ia pasti teringat Lempad. “Frans Nadjira dan Lempad menjadi satu paket tak terpisahkan dalam batin saya,” ujar Janu. “Itu puisi tentang Bali terbaik tanpa harus melesakkan idiom-idiom Bali ke dalamnya. Puisi ini berulang-ulang lebih seratus kali saya baca di panggung, atau dalam hati dan pikiran.”
Ketika penyair, pelukis, dan novelis yang lahir 3 September 1942, meninggal 12 Januari 2024, Ketut Janu berniat hadir di pemakaman. “Tapi saya lagi di Singaraja, menghadiri pernikahan putera teman,” kabarnya pada rekan yang hadir di Pemakaman Bugis, di Sidakarya, Denpasar Selatan, hari itu.
Dalam beberapa hari nanti, berbulan dan berbilang tahun, Ketut Janu pasti selalu terkenang-kenang Frans Nadjira, yang sering bersuara lantang, keras, dan berani. 7
Aryantha Soethama
Pengarang
Pengarang
1
Komentar