Luhut Minta Kenaikan Pajak Hiburan Ditunda
Ketua PHRI Bali Cok Ace Apreasi Menko Marves
Pemkab Badung siapkan peraturan bupati soal pengurangan pajak hiburan. Pajak akan akan disesuaikan tarif lama sebesar 15 persen.
JAKARTA, NusaBali
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan meminta kenaikan pajak barang jasa tertentu atau pajak hiburan bisa ditunda dan dievaluasi agar tidak merugikan masyarakat dan pelaku usaha kecil.
“Jadi kita mau tunda saja dulu pelaksanaannya karena itu dari Komisi XI kan sebenarnya, bukan dari pemerintah ujug-ujug terus jadi gitu. Sehingga kemarin kita putuskan ditunda, kita evaluasi,” katanya dalam unggahan video di akun Instagram pribadinya @luhut.pandjaitan yang dipantau di Jakarta, Rabu (17/1).
Luhut menyebut mendengar polemik terkait pajak hiburan saat dirinya tengah melakukan kunjungan kerja ke Bali beberapa waktu lalu. Dia pun langsung mengumpulkan pemangku kepentingan terkait, termasuk Gubernur Bali dan jajarannya.
Luhut menambahkan, uji materi atau judicial review yang diajukan sejumlah pihak juga nantinya akan jadi bahan pertimbangan pemerintah dalam penerapan pajak hiburan.
“Ada judicial review ke Mahkamah Konstitusi, saya pikir itu harus kita pertimbangkan karena keberpihakan kita ke rakyat kecil, karena itu banyak menyangkut pada pedagang-pedagang kecil juga,” imbuhnya.
Luhut pun menegaskan bahwa dirinya sangat mendukung pengembangan pariwisata di daerah. Oleh karena itu, dia tak ingin kenaikan pajak membebani pelaku usaha, terlebih mereka yang terlibat dan merasakan dampaknya.
“Jadi hiburan itu jangan hanya dilihat diskotek. Bukan, ini banyak, sekali lagi impact (dampak) pada yang lain, orang yang menyiapkan makanan, jualan, dan yang lain sebagainya. Saya kira, saya sangat pro dengan itu dan saya tidak melihat alasan untuk kita menaikkan pajak dari situ,” ujar Luhut.
Dalam UU No 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD), pajak hiburan terhadap 11 jenis pajak ditetapkan paling tinggi sebesar 10 persen.
Kesebelas jenis pajak itu, berdasarkan Pasal 55 UU 1/2022, di antaranya tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu; pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana; kontes kecantikan; kontes binaraga; pameran; serta pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap.
Kemudian, pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor; permainan ketangkasan; olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran; rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang; serta panti pijat dan pijat refleksi.
Adapun untuk diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa, pemerintah memperbarui kebijakan dengan menetapkan batas bawah 40 persen dan batas atas 75 persen. Hal itu mempertimbangkan jenis hiburan tersebut hanya dinikmati oleh golongan masyarakat tertentu, sehingga pemerintah menetapkan batas bawah guna mencegah perlombaan penetapan tarif pajak rendah demi meningkatkan omzet usaha.
Sementara itu, Ketua BPD PHRI Bali Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati (Cok Ace) mengapresiasi langkah Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan yang menyatakan menunda penerapan pajak hiburan sebagaimana UU No 1/2022. Tak hanya menunda, Menko Marves diharapkan berjuang meninjau kembali penerapan pajak tersebut.
“Pertama, selaku Ketua PHRI Bali, berterima kasih kepada Pak Luhut atas usahanya untuk menunda penerapan pajak hiburan itu,” ujar Cok Ace, Kamis (18/1).
Namun tak hanya menunda, Cok Ace meminta agar ikut berjuang supaya ketentuan penerapan pajak hiburan 40 persen itu ditinjau kembali. Karena kalau penundaan itu bersifat sementara. Karena sesudahnya bisa saja diterapkan atau diberlakukan kembali. Untuk itu, Cok Ace meminta penerapan pajak 40 persen untuk hiburan ditiadakan.
Yang kedua, Cok Ace meminta agar spa dikeluarkan atau tidak dimasukkan dalam kelompok hiburan. Hal itu karena dengan memasukkan spa dalam suatu kelompok hiburan, tidak sinkron dengan peraturan yang ada. Cok Ace menyebut aturan tersebut di antaranya UU Nomor 10/2009, juga ada Permenkeraf, dimana spa juga tidak termasuk kelompok hiburan.
Di Bali, tegas Cok Ace, spa berfungsi sebagai healing, wellness untuk kebugaran, untuk kesehatan, bukan sebagai kelompok hiburan.
Cok Ace mengatakan pengenaan pajak hiburan 40 persen jelas sangat memberatkan pengusaha hotel, yang di dalamnya ada spa dan kelompok hiburan lain. Apalagi industri pariwisata Bali masih harus menanggung utang-utang selama pandemi Covid-19. Di pihak lain masa relaksasi kredit yakni restrukturisasi kredit akan segera berakhir yakni pada Maret 2024.
Sementara Pemkab Badung akan mengkaji penetapan pajak hiburan yang disesuaikan dengan tarif lama, yakni sebesar 15 persen. Hal tersebut diungkapkan Sekda Badung Wayan Adi Arnawa yang ditugaskan oleh Bupati Badung mengikuti zoom meeting dengan Mendagri Tito Karnavian dan Wamenkeu Suahasil Nazara terkait penyamaan persepsi tentang pajak hiburan tertentu berdasarkan UU No 1 Tahun 2022 dari Puspem Badung, Kamis (18/1).
Sekda Adi Arnawa mengatakan, kenaikan pajak hiburan tertentu yang signifikan ke angka 40-75 persen pasca penerapan UU No 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD) dianggap terlalu memberatkan oleh para pelaku pariwisata di Bali/Kabupaten Badung yang memiliki usaha di bidang hiburan khususnya bar, diskotik, karaoke, dan spa. Kebijakan ini dinilai berat, apalagi Bali di tengah kondisi recovery pariwisata pasca pandemi Covid-19.
“Ini yang menjadi keberatan teman-teman pelaku pariwisata yang bergerak di bidang usaha ini. Oleh sebab itu, kita sedang mencoba merumuskan instrumen hukum untuk membantu atas keberatan-keberatan pelaku pariwisata sesuai perintah Bupati kepada saya, dengan mencarikan celah hukum dalam rangka meringankan sesuai dengan kebijakan fiskal kita,” ujarnya seusai mengikuti zoom meeting.
Sekda Adi Arnawa mengaku telah memerintahkan Plt Kepala Bapenda, Kabag Hukum, dan Kadisparda Badung untuk segera merumuskan kebijakan pengurangan dan keringanan pajak hiburan secara kelembagaan.
Sebelumnya, di Kabupaten Badung pajak hiburan tertentu dipatok di angka 15 persen. Berdasarkan kebijakan ini, pada akhirnya menurut Sekda Adi Arnawa pembayaran pajak hiburan tertentu di Kabupaten Badung akan masuk ke angka 15 persen sesuai dengan tarif yang lama. “Dengan tetap menggunakan tarif 15 persen, maka akan terjadi pengurangan sebesar 25 persen dari tarif batas bawah 40 persen,” katanya.
Birokrat asal Desa Pecatu, Kecamatan Kuta Selatan, ini menambahkan, pola inilah yang akan secepatnya dirumuskan oleh Pemkab Badung. Sehingga pemerintah daerah bisa segera mengundang pelaku usaha untuk melakukan sosialisasi terkait tarif pajak hiburan tertentu di Kabupaten Badung.
Di sisi lain, meskipun kebijakan ini dinilai memiliki konsekuensi terhadap target PAD Badung, namun Sekda Adi Arnawa menjelaskan bahwa Bupati Giri Prasta dan Pemkab Badung memiliki concern yang tinggi terhadap perkembangan pariwisata di Bali dan Badung di masa recovery pasca pandemi Covid-19.
“Kita tidak hanya berpikir untuk peningkatan PAD, tapi bagaimana kita juga mempertimbangkan aspek sosial dan aspek sosiologis pengusaha yang sedang baru bangkit. Karena ini juga akan berdampak multi dimensional. Misalnya bagaimana dengan petani yang mensupport usaha-usaha ini kan bisa juga berat, termasuk bagaimana dengan tenaga kerja dan sebagainya,” terang Adi Arnawa.
“Berangkat dari itulah, di antara pilihan yang berat ini kita akan mencoba sesuai perintah Bapak Bupati, bagaimana kita di Badung sebisa mungkin meringankan wajib pajak meskipun kita butuh uang. Dan saya melihat ada celah hukum untuk memenuhi keinginan teman-teman pelaku usaha hiburan,” tandasnya. 7 ant, k17, ind
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan meminta kenaikan pajak barang jasa tertentu atau pajak hiburan bisa ditunda dan dievaluasi agar tidak merugikan masyarakat dan pelaku usaha kecil.
“Jadi kita mau tunda saja dulu pelaksanaannya karena itu dari Komisi XI kan sebenarnya, bukan dari pemerintah ujug-ujug terus jadi gitu. Sehingga kemarin kita putuskan ditunda, kita evaluasi,” katanya dalam unggahan video di akun Instagram pribadinya @luhut.pandjaitan yang dipantau di Jakarta, Rabu (17/1).
Luhut menyebut mendengar polemik terkait pajak hiburan saat dirinya tengah melakukan kunjungan kerja ke Bali beberapa waktu lalu. Dia pun langsung mengumpulkan pemangku kepentingan terkait, termasuk Gubernur Bali dan jajarannya.
Luhut menambahkan, uji materi atau judicial review yang diajukan sejumlah pihak juga nantinya akan jadi bahan pertimbangan pemerintah dalam penerapan pajak hiburan.
“Ada judicial review ke Mahkamah Konstitusi, saya pikir itu harus kita pertimbangkan karena keberpihakan kita ke rakyat kecil, karena itu banyak menyangkut pada pedagang-pedagang kecil juga,” imbuhnya.
Luhut pun menegaskan bahwa dirinya sangat mendukung pengembangan pariwisata di daerah. Oleh karena itu, dia tak ingin kenaikan pajak membebani pelaku usaha, terlebih mereka yang terlibat dan merasakan dampaknya.
“Jadi hiburan itu jangan hanya dilihat diskotek. Bukan, ini banyak, sekali lagi impact (dampak) pada yang lain, orang yang menyiapkan makanan, jualan, dan yang lain sebagainya. Saya kira, saya sangat pro dengan itu dan saya tidak melihat alasan untuk kita menaikkan pajak dari situ,” ujar Luhut.
Dalam UU No 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD), pajak hiburan terhadap 11 jenis pajak ditetapkan paling tinggi sebesar 10 persen.
Kesebelas jenis pajak itu, berdasarkan Pasal 55 UU 1/2022, di antaranya tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu; pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana; kontes kecantikan; kontes binaraga; pameran; serta pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap.
Kemudian, pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor; permainan ketangkasan; olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran; rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang; serta panti pijat dan pijat refleksi.
Adapun untuk diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa, pemerintah memperbarui kebijakan dengan menetapkan batas bawah 40 persen dan batas atas 75 persen. Hal itu mempertimbangkan jenis hiburan tersebut hanya dinikmati oleh golongan masyarakat tertentu, sehingga pemerintah menetapkan batas bawah guna mencegah perlombaan penetapan tarif pajak rendah demi meningkatkan omzet usaha.
Sementara itu, Ketua BPD PHRI Bali Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati (Cok Ace) mengapresiasi langkah Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan yang menyatakan menunda penerapan pajak hiburan sebagaimana UU No 1/2022. Tak hanya menunda, Menko Marves diharapkan berjuang meninjau kembali penerapan pajak tersebut.
“Pertama, selaku Ketua PHRI Bali, berterima kasih kepada Pak Luhut atas usahanya untuk menunda penerapan pajak hiburan itu,” ujar Cok Ace, Kamis (18/1).
Namun tak hanya menunda, Cok Ace meminta agar ikut berjuang supaya ketentuan penerapan pajak hiburan 40 persen itu ditinjau kembali. Karena kalau penundaan itu bersifat sementara. Karena sesudahnya bisa saja diterapkan atau diberlakukan kembali. Untuk itu, Cok Ace meminta penerapan pajak 40 persen untuk hiburan ditiadakan.
Yang kedua, Cok Ace meminta agar spa dikeluarkan atau tidak dimasukkan dalam kelompok hiburan. Hal itu karena dengan memasukkan spa dalam suatu kelompok hiburan, tidak sinkron dengan peraturan yang ada. Cok Ace menyebut aturan tersebut di antaranya UU Nomor 10/2009, juga ada Permenkeraf, dimana spa juga tidak termasuk kelompok hiburan.
Di Bali, tegas Cok Ace, spa berfungsi sebagai healing, wellness untuk kebugaran, untuk kesehatan, bukan sebagai kelompok hiburan.
Cok Ace mengatakan pengenaan pajak hiburan 40 persen jelas sangat memberatkan pengusaha hotel, yang di dalamnya ada spa dan kelompok hiburan lain. Apalagi industri pariwisata Bali masih harus menanggung utang-utang selama pandemi Covid-19. Di pihak lain masa relaksasi kredit yakni restrukturisasi kredit akan segera berakhir yakni pada Maret 2024.
Sementara Pemkab Badung akan mengkaji penetapan pajak hiburan yang disesuaikan dengan tarif lama, yakni sebesar 15 persen. Hal tersebut diungkapkan Sekda Badung Wayan Adi Arnawa yang ditugaskan oleh Bupati Badung mengikuti zoom meeting dengan Mendagri Tito Karnavian dan Wamenkeu Suahasil Nazara terkait penyamaan persepsi tentang pajak hiburan tertentu berdasarkan UU No 1 Tahun 2022 dari Puspem Badung, Kamis (18/1).
Sekda Adi Arnawa mengatakan, kenaikan pajak hiburan tertentu yang signifikan ke angka 40-75 persen pasca penerapan UU No 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD) dianggap terlalu memberatkan oleh para pelaku pariwisata di Bali/Kabupaten Badung yang memiliki usaha di bidang hiburan khususnya bar, diskotik, karaoke, dan spa. Kebijakan ini dinilai berat, apalagi Bali di tengah kondisi recovery pariwisata pasca pandemi Covid-19.
“Ini yang menjadi keberatan teman-teman pelaku pariwisata yang bergerak di bidang usaha ini. Oleh sebab itu, kita sedang mencoba merumuskan instrumen hukum untuk membantu atas keberatan-keberatan pelaku pariwisata sesuai perintah Bupati kepada saya, dengan mencarikan celah hukum dalam rangka meringankan sesuai dengan kebijakan fiskal kita,” ujarnya seusai mengikuti zoom meeting.
Sekda Adi Arnawa mengaku telah memerintahkan Plt Kepala Bapenda, Kabag Hukum, dan Kadisparda Badung untuk segera merumuskan kebijakan pengurangan dan keringanan pajak hiburan secara kelembagaan.
Sebelumnya, di Kabupaten Badung pajak hiburan tertentu dipatok di angka 15 persen. Berdasarkan kebijakan ini, pada akhirnya menurut Sekda Adi Arnawa pembayaran pajak hiburan tertentu di Kabupaten Badung akan masuk ke angka 15 persen sesuai dengan tarif yang lama. “Dengan tetap menggunakan tarif 15 persen, maka akan terjadi pengurangan sebesar 25 persen dari tarif batas bawah 40 persen,” katanya.
Birokrat asal Desa Pecatu, Kecamatan Kuta Selatan, ini menambahkan, pola inilah yang akan secepatnya dirumuskan oleh Pemkab Badung. Sehingga pemerintah daerah bisa segera mengundang pelaku usaha untuk melakukan sosialisasi terkait tarif pajak hiburan tertentu di Kabupaten Badung.
Di sisi lain, meskipun kebijakan ini dinilai memiliki konsekuensi terhadap target PAD Badung, namun Sekda Adi Arnawa menjelaskan bahwa Bupati Giri Prasta dan Pemkab Badung memiliki concern yang tinggi terhadap perkembangan pariwisata di Bali dan Badung di masa recovery pasca pandemi Covid-19.
“Kita tidak hanya berpikir untuk peningkatan PAD, tapi bagaimana kita juga mempertimbangkan aspek sosial dan aspek sosiologis pengusaha yang sedang baru bangkit. Karena ini juga akan berdampak multi dimensional. Misalnya bagaimana dengan petani yang mensupport usaha-usaha ini kan bisa juga berat, termasuk bagaimana dengan tenaga kerja dan sebagainya,” terang Adi Arnawa.
“Berangkat dari itulah, di antara pilihan yang berat ini kita akan mencoba sesuai perintah Bapak Bupati, bagaimana kita di Badung sebisa mungkin meringankan wajib pajak meskipun kita butuh uang. Dan saya melihat ada celah hukum untuk memenuhi keinginan teman-teman pelaku usaha hiburan,” tandasnya. 7 ant, k17, ind
1
Komentar