Melegenda, Gong Kebyar Eka Wakya Akan Tampil di PKB 2024
Tahun 1917 Pentas di Lombok Bawa Nama Buleleng
SINGARAJA, NusaBali - Gong Kebyar Eka Wakya yang bermarkas di Lingkungan Banjar Paketan, Kelurahan Paket Agung, Kecamatan/Kabupaten Buleleng akan mewakili Buleleng sebagai duta Gong Kebyar Legend dalam Pesta Kesenian Bali tahun ini.
Penunjukan Eka Wakya oleh Dinas Kebudayaan Buleleng ini bukan tanpa alasan. Kegiatan berkesenian warga Banjar Paketan sudah dilaksanakan turun temurun selama ratusan tahun.
Pembina Sekaa Gong Kebyar Eka Wakya I Gede Arya Setiawan dihubungi, Kamis (18/1), menceritakan tidak ada dokumen dan catatan resmi yang menyebut kapan pertama kalinya sekaa gong kebyar ini didirikan. Namun catatan yang ada dan penuturan tetua Sekaa Gong Eka Wakya sudah pentas di Puri Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) pada tahun 1917 silam. Saat itu Bali dan Lombok masih satu karesidenan di bawah pemerintahan Hindia Belanda.
Namun diyakini sebelum pementasan di Lombok, jauh sebelumnya Sekaa Gong Eka Wakya sudah terbentuk. Inisiator dan pembina gong kebyar Eka Wakya pertama adalah Pan Sasih yang dituangkan melalui surat Nomor 68 Tahun 1926 yang dikeluarkan punggawa Distrik Buleleng Gusti Ketut Kaler. Saat itu Pan Sasih ditunjuk sebagai Kelian Sekaa Gong.
Perjalanan panjang Eka Wakya pun mencatatkan sejumlah pembina gong kebyar terkenal pada masanya. Mulai dari Pan Wandres, maestro karawitan asal Desa Jagaraga, Kecamatan Sawan, Buleleng. Dilanjutkan oleh Gede Mendra, kemudian I Gusti Bagus Panji pendiri Kokar (Konservatori Karawitan. Kokar kini berubah menjadi Sekolah Menengah Karawitan Indonesia(SMKI).
Pembina terlama yakni pada 1940-an – 1970-an adalah Purnawirawan Mayor TNI I Gusti Made Kerta. Pada masa pembinaan Mayor Kerta, Eka Wakya berkembang pesat dari hasil penggojlokan yang sangat disiplin dan keras. Sekaa Gong Kebyar Eka Wakya pun berulang kali berhasil menjadi juara dalam lomba gong kebyar di era 1960-an.
“Dulu pernah dapat hadiah panggul ugal emas dan panggul terompong emas sebagai pemenang lomba. Selain itu juga tercatat empat kali tampil di Istana Presiden Tampaksiring (Gianyar),” tutur Arya.
Setelah Mayor Kerta meninggal, pembinaan Gong Kebyar Eka Wakya dilanjutkan oleh Keranca, Pasek Suasana, dan kini oleh Made Pasca Wirsuta, Putu Tegeh Ketiyasa,. dan Arya Setiawan sebagai generasi ke–11. Gaung kesenian Gong Kebyar Eka Wakya pun tak luput oleh waktu. Di era milenial Eka Wakya sudah langganan tampil di ajang kesenian bergengsi di Bali sebagai duta Buleleng.
Eksistensi Eka Wakya dalam mempertahankan dan melestarikan kesenian gong kebyar khas Buleleng pun terjaga hingga saat ini. Sebab warga Banjar Paketan memiliki misi, menggunakan gamelan untuk menyama braya.
“Jadi tetua kami secara turun temurun mengajarkan dan mengarahkan anak-anak mereka sejak kecil, yang laki-laki ikut berlatih gong kebyar, yang perempuan berlatih menari. Jadi setiap ada upacara keagamaan oleh salah satu warga diberikan secara gratis dengan sistem menyama braya,” imbuh Arya.
Pola pembibitan itu membuat Sekaa Gong Kebyar Eka Wakya tidak pernah putus dan tetap eksis hingga saat ini. Bahkan tidak hanya sekaa gong dewasa pria, tetapi juga ada sekaa gong anak-anak dan sekaa gong wanita.
Sementara ini, dikenal sebagai sekaa gong tua, Eka Wakya masih menggunakan instrumen gamelan tua yang sudah diwarisi sejak dahulu. Instrumen gamelan tua Eka Wakya secara umum jika dibandingkan dengan instrumen gamelan daerah lainnya di Bali memiliki beberapa kekhususan. Terutama dari jumlah gangsa yang pada umumnya memakai 4 lungguh, untuk Eka Wakya memakai 8 lungguh. Begitu juga dengan instrumen jublag atau calung yang pada umumnya memakai 2 unit, Eka Wakya menggunakan 4.
Meski gamelan tua, instrumennya sangat awet. Jika ada yang mulai mengalami kerusakan seperti retak, gamelan asli yang sudah berusia ratusan tahun ini akan diduplikasi. Sedangkan instrumen gamelan yang aslinya disimpan sebagai aset dan catatan sejarah.
Di sisi lain dalam persiapannya tampil sebagai sekaa gong kebyar legend di PKB nanti, penabuh sudah menyiapkan sejumlah materi garapan. Empat materi yang akan ditampilkan adalah karya lama yang sempat ditinggalkan. Keempat garapan tersebut di antaranya rekonstruksi tabuh kreasi Dwikora yang diciptakan tahun 1930 pada masa pembina Gde Manik. Tabuh kreasi ini kemudian diaransemen ulang oleh Mayor Metra hingga mengantarkan Eka Wakya menjadi juara dan pentas di Istana Tampaksiring. Nama tabuh kreasi Dwi Kora juga dicetuskan karena saat tampil di Istana Tampaksiring serangkaian dengan kerjasama Indonesia–Malaysia.
Garapan kedua yakni Tari Subali-Sugriwa yang juga tabuh tua Eka Wakya yang juga diilhami Gde Manik, dan kemudian disempurnakan kembali pada masa pembina Keranca. Garapan ketiga adalah Tari Gelatik. Materi ini diminta langsung oleh Prof Bandem dan Prof Rai yang belum lama ini tutup usia, untuk dibawakan kembali saat PKB mendatang.
“Ini sebagai penghormatan kami kepada Prof Rai, bagaimanapun juga Tari Gelatik salah satu tabuh andalan Eka Wakya yang membuat terkenal. Terakhir kami membawakan tabuh tua khas Buleleng,” ungkap Arya.
Kekhasan tabuh tua Buleleng menurutnya sangat bertentangan dengan karakter tabuh tua di Bali Selatan. Tabuh tua atau tabuh lelambatan pada umumnya dibawakan dengan alunan lembut, perlahan. Namun jika dengan gaya Buleleng tabuh tua tetap energik menampilkan jiwa semangat tetapi manis untuk didengar. Seluruh garapan ini nanti akan dibawakan oleh anggota sekaa yang berumur maksimal 78 tahun hingga yang termuda 17 tahun. Rentang umur ini menandakan eksistensi Seka Gong Kebyar Eka Wakya yang tidak pernah lekang oleh waktu. 7 k23
1
Komentar