Pajak Hiburan 40-75% Bikin Jokowi Marah
Hotman Paris sebut Pemda boleh kembali kepada tarif pajak yang lama
JAKARTA, NusaBali
Pengusaha sekaligus pengacara kondang Hotman Paris Hutapea mengklaim Presiden Joko Widodo (Jokowi) marah terkait pajak hiburan atas diskotek, karaoke, kelab malam, bar dan mandi uap/spa sebesar 40-75%. Orang nomor satu di Indonesia itu disebut tidak dilaporkan secara detail terkait pelaksanaannya.
"Saya dari Minggu lalu sudah dapat informasi bahwa Pak Jokowi sendiri tidak dilaporkan secara detail tentang besaran pajak 40% dan beliau marah. Ini informasi bukan saya dapat dari Menko Perekonomian, saya dapat minggu lalu," kata Hotman Paris di Kemenko Perekonomian, Jakarta Pusat, seperti dilansir detikcom, Senin (22/1).
"Presiden pun sangat marah atas tarif pajak yang sangat tinggi tersebut," tambahnya.
Oleh karena itu Jokowi mengumpulkan para menteri terkait untuk rapat terbatas tentang pajak hiburan pada Jumat (19/1). Dalam rapat itu disepakati bahwa pemerintah daerah bisa memberikan insentif pajak kepada pelaku usaha jasa hiburan.
Dalam kondisi tertentu, pemerintah daerah dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di daerahnya. Hal itu tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).
Insentif fiskal yang dimaksud berupa pengurangan, keringanan, pembebasan, atau penghapusan atas pokok pajak, pokok retribusi dan/atau sanksinya. Itu bisa diberikan atas permohonan wajib pajak berdasarkan pertimbangan kemampuan membayar, kondisi tertentu seperti bencana alam, kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan, serta untuk mendukung kebijakan pemerintah daerah.
"Akhirnya Jumat minggu lalu diadakan rapat kabinet yang dipimpin langsung oleh presiden dan disepakati bahwa pemerintah daerah boleh kembali kepada tarif pajak yang lama, bahkan mengurangi juga boleh karena di pasal 101 UU secara jabatan Pemda berhak," ucapnya.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian sendiri sudah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 900.1.13.1/403/SJ tentang Petunjuk Pelaksanaan Pajak Barang dan Jasa Tertentu Atas Jasa Kesenian dan Hiburan Tertentu Berdasarkan UU HKPD. Adanya aturan itu diklaim pemerintah daerah tidak harus patuh terhadap UU HKPD.
"Isi SE tersebut antara lain bahwa pemerintah daerah secara jabatan tidak harus patuh kepada (tarif pajak hiburan) 40%-75%, dia berwenang kepada tarif yang lama atau bahkan mengurangi," klaim Hotman Paris.
Keputusan pemerintah daerah untuk memberikan insentif pajak hiburan disebut bisa langsung dijalankan tanpa perlu SE dari Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
"Tadi saya tanyakan kepada Pak Menko Perekonomian (Airlangga Hartarto), sudah dibicarakan katanya di Istana, pemerintah daerah, gubernur, bupati dan sebagainya tidak memerlukan SE dari Menteri Keuangan. Cukup SE dari Mendagri karena itu adalah kewenangan pemerintah daerah," jelas dia.
Terkait rencana Pemerintah memberikan fasilitas pajak penghasilan (PPh) badan ditanggung pemerintah (DTP) untuk sektor penyelenggara jasa hiburan sebesar 10%, belum cukup menyenangkan pengusaha karena bersamaan dengan tarif pajak hiburan 40-75% untuk diskotek, karaoke, kelab malam, bar dan mandi uap/spa.
"Dalam kondisi UU Nomor 1 Tahun 2022 sudah kompositif, itu tidak menarik. Kecuali ini bisa dibatalkan dan kembali ke posisi lama, itu baru menarik. Kalau sekarang tidak menarik," kata Ketua Umum Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Hariyadi Sukamdani di Kemenko Perekonomian, Jakarta, Senin (22/1).
Hariyadi menilai insentif fiskal sebesar 10% yang diiringi dengan tarif pajak hiburan 40-75% tidak akan membantu pengusaha. Untuk itu, yang diminta adalah Pasal 58 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD) dibatalkan.
Di sisi lain, berbagai asosiasi hiburan juga akan mengajukan uji materi atau judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Pasal 58 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 2022. Sambil menunggu proses hukumnya, ia meminta tarif pajak hiburan kembali seperti semula. "Kami ingin pasal 58 ayat (2) dibatalkan," tegas Hariyadi. 7
Komentar