Bendesa dan Perbekel Jadi Saksi
Sidang Perkara Gaduh Nyepi 2023
Perbekel Sumberklampok berharap sejatinya agar kasus ini tidak berlarut-larut karena menciderai kebersamaan yang telah dibangun warga sejak lama.
SINGARAJA, NusaBali
Sidang perkara penodaan agama saat Nyepi 2023 di Desa Sumberklampok, Kecamatan Gerokgak, Buleleng, dilanjutkan dengan agenda pemeriksaan saksi, Kamis (1/2) siang di Pengadilan Negeri (PN) Singaraja. Jaksa menghadirkan tiga orang saksi yang mengetahui kejadian buka paksa portal di kawasan Taman Nasional Bali Barat (TNBB) tersebut.
Tiga saksi yang dihadirkan yakni anggota Pecalang Desa Adat Sumberklampok Putu Sumerta, Bendesa Adat Sumberklampok Putu Artana, dan Perbekel Desa Sumberklampok Wayan Sawitra Yasa. Mereka silih berganti dicerca pertanyaan oleh jaksa penuntut umum (JPU) Gede Putu Astawa dan Isnarti Jayaningsih terkait kronologi peristiwa.
Dalam kesaksiannya, Sumerta menyebut peristiwa itu terjadi saat dia bertugas menjaga pintu portal menuju Pantai Segara Rupek TNBB, pada 22 Maret 2023 silam. Sekitar pukul 10.00 Wita, sejumlah warga menggunakan sepeda motor mendatangi lokasi tersebut. Karena saat itu sedang berlangsung Nyepi, ia pun melarang warga masuk.
Namun, setelah sejumlah warga itu dilarang masuk dua terdakwa Acmat Saini, 51, dan Mokhamad Rasad, 57, mencoba membuka portal yang ditutup tersebut. “Pak Mat (Mokhamad Rasad) awalnya menerobos lewat samping, karena portal di tutup. Dia maksa masuk dan memukul portal. Dia ngomong, ini bukan jalan raya,” kata dia.
Lanjut Sumerta, terdakwa Acmat Saini juga sempat bertanya pada dirinya apakah mengenalnya karena mereka berdua bertetangga. Beberapa saat kemudian, terdakwa Acmat Saini membuka pintu portal. Karena suasana tak terkendali, Sumerta lalu menghubungi Bendesa Adat Putu Artana.
Artana mencoba menjelaskan pada warga terkait kesepakatan yang telah dikeluarkan oleh Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Dalam kesaksiannya Artana menyebut, imbauan bersama tersebut telah disosialisakan oleh pihak desa kepada desa adat maupun tokoh-tokoh pengurus Masjid di desa setempat.
Perbekel Sumberklampok Wayan Sawitra Yasa menyebut, pihaknya telah meminta Kelian Banjar Dinas untuk mensosialisasikan seruan bersama isi dari surat FKUB itu. Ia juga menjelaskan, pasca kejadian itu digelar mediasi. Dalam pertemuan yang melibatkan sejumlah pihak itu, kedua terdakwa menyampaikan permintaan maaf.
Dirinya juga berharap sejatinya agar kasus ini tidak berlarut-larut karena menciderai kebersamaan yang telah dibangun warga sejak lama. “Kami di sini sudah lama bergandengan tangan. Terkait kejadian ini menjadi pelajaran dan yang bersangkutan sudah berjanji tidak mengulang. Kami harap hubungan baik warga masyarakat tidak tercederai,” katanya.
Bendesa Artana menyampaikan, permohonan maaf juga disampaikan kedua terdakwa pada Desa Adat. Dalam Paruman Agung pertama, pihaknya sepakat untuk menerima permohonan maaf itu. Namun kasus tersebut tetap dibawa ke ranah hukum. Belakangan, digelar Paruman Agung kembali yang disepakati mencabut laporan kasus karena sudah diselesaikan secara kekeluargaan.
“Kami sudah mengelar Paruman Agung dan pada intinya ingin mencabut laporan persoalan ini dan diselesaikan kekeluargaan untuk menjaga situasi. Sebelumnya di BAP (Berita Acara Pemeriksaan), situasinya memang demikian,” kata Bendesa Artana.
Majelis Hakim pimpinan sidang, hakim ketua I Made Bagiarta serta hakim anggota Hermayanti dan Pulung Yustisia Dewi secara bergiliran juga memeriksa keterangan ketiga saksi. Hakim menanyakan peran terdakwa Acmat Saini dan Mokhamad Rasad saat itu dan keperluan warga beramai-ramai ke pantai saat Nyepi.
Ditemui usai sidang, penasehat hukum terdakwa, Agus Samijaya menyebut dari rangkaian kronologi yang disampaikan saksi Pecalang, Bendesa, dan Perbekel, peristiwa yang terjadi saat itu hanya pembukaan portal pintu. Sehingga, menurutnya, Pasal 156 KUHP tentang Penodaan Agama yang didakwakan oleh JPU, unsurnya tidak terpenuhi.
“Dari keterangan sakti fakta, jelas tidak terpenuhi unsur. Dalam Pasal 156a dan Pasal 156 unsur keduanya adanya sifat permusuhan, kebencian, dan menyebarkan hal sifatnya penistaan kepada agama dan golongan tertentu jelas tidak trerbukti sama sekali. Yang ada hanya pembukaan portal,” katanya. Pihaknya pun yakin kedua terdakwa bisa dibebaskan dari dakwaan.
Ia juga menyebut adanya surat keberatan dari Parisada Hindu Dharma (PHDI) Bali kasus itu dihentikan. “Sementara PHDI Buleleng dan Kecamatan merestui ada perdamaian. Artinya penyelesaian secara kekeluargaan, dibuktikan dengan hadirnya di acara rekonsiliasi doa bersama,” kata dia.
Menurutnya, surat itu dianggap sebagai intervensi hukum terhadap proses peradilan. “Akhirnya kami ambil kesimpulan, RJ (restorative justice) gagal jangan-jangan karena surat PHDI Bali, padahal PHDI Kabupaten dan Kecamatan setuju untuk penyelesaian secara RJ dan damai di lapangan. seperti disampaikan Perbekel, Desa Mawacara dan Desa Kalapatra,” tutupnya.7 mzk
Sidang perkara penodaan agama saat Nyepi 2023 di Desa Sumberklampok, Kecamatan Gerokgak, Buleleng, dilanjutkan dengan agenda pemeriksaan saksi, Kamis (1/2) siang di Pengadilan Negeri (PN) Singaraja. Jaksa menghadirkan tiga orang saksi yang mengetahui kejadian buka paksa portal di kawasan Taman Nasional Bali Barat (TNBB) tersebut.
Tiga saksi yang dihadirkan yakni anggota Pecalang Desa Adat Sumberklampok Putu Sumerta, Bendesa Adat Sumberklampok Putu Artana, dan Perbekel Desa Sumberklampok Wayan Sawitra Yasa. Mereka silih berganti dicerca pertanyaan oleh jaksa penuntut umum (JPU) Gede Putu Astawa dan Isnarti Jayaningsih terkait kronologi peristiwa.
Dalam kesaksiannya, Sumerta menyebut peristiwa itu terjadi saat dia bertugas menjaga pintu portal menuju Pantai Segara Rupek TNBB, pada 22 Maret 2023 silam. Sekitar pukul 10.00 Wita, sejumlah warga menggunakan sepeda motor mendatangi lokasi tersebut. Karena saat itu sedang berlangsung Nyepi, ia pun melarang warga masuk.
Namun, setelah sejumlah warga itu dilarang masuk dua terdakwa Acmat Saini, 51, dan Mokhamad Rasad, 57, mencoba membuka portal yang ditutup tersebut. “Pak Mat (Mokhamad Rasad) awalnya menerobos lewat samping, karena portal di tutup. Dia maksa masuk dan memukul portal. Dia ngomong, ini bukan jalan raya,” kata dia.
Lanjut Sumerta, terdakwa Acmat Saini juga sempat bertanya pada dirinya apakah mengenalnya karena mereka berdua bertetangga. Beberapa saat kemudian, terdakwa Acmat Saini membuka pintu portal. Karena suasana tak terkendali, Sumerta lalu menghubungi Bendesa Adat Putu Artana.
Artana mencoba menjelaskan pada warga terkait kesepakatan yang telah dikeluarkan oleh Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Dalam kesaksiannya Artana menyebut, imbauan bersama tersebut telah disosialisakan oleh pihak desa kepada desa adat maupun tokoh-tokoh pengurus Masjid di desa setempat.
Perbekel Sumberklampok Wayan Sawitra Yasa menyebut, pihaknya telah meminta Kelian Banjar Dinas untuk mensosialisasikan seruan bersama isi dari surat FKUB itu. Ia juga menjelaskan, pasca kejadian itu digelar mediasi. Dalam pertemuan yang melibatkan sejumlah pihak itu, kedua terdakwa menyampaikan permintaan maaf.
Dirinya juga berharap sejatinya agar kasus ini tidak berlarut-larut karena menciderai kebersamaan yang telah dibangun warga sejak lama. “Kami di sini sudah lama bergandengan tangan. Terkait kejadian ini menjadi pelajaran dan yang bersangkutan sudah berjanji tidak mengulang. Kami harap hubungan baik warga masyarakat tidak tercederai,” katanya.
Bendesa Artana menyampaikan, permohonan maaf juga disampaikan kedua terdakwa pada Desa Adat. Dalam Paruman Agung pertama, pihaknya sepakat untuk menerima permohonan maaf itu. Namun kasus tersebut tetap dibawa ke ranah hukum. Belakangan, digelar Paruman Agung kembali yang disepakati mencabut laporan kasus karena sudah diselesaikan secara kekeluargaan.
“Kami sudah mengelar Paruman Agung dan pada intinya ingin mencabut laporan persoalan ini dan diselesaikan kekeluargaan untuk menjaga situasi. Sebelumnya di BAP (Berita Acara Pemeriksaan), situasinya memang demikian,” kata Bendesa Artana.
Majelis Hakim pimpinan sidang, hakim ketua I Made Bagiarta serta hakim anggota Hermayanti dan Pulung Yustisia Dewi secara bergiliran juga memeriksa keterangan ketiga saksi. Hakim menanyakan peran terdakwa Acmat Saini dan Mokhamad Rasad saat itu dan keperluan warga beramai-ramai ke pantai saat Nyepi.
Ditemui usai sidang, penasehat hukum terdakwa, Agus Samijaya menyebut dari rangkaian kronologi yang disampaikan saksi Pecalang, Bendesa, dan Perbekel, peristiwa yang terjadi saat itu hanya pembukaan portal pintu. Sehingga, menurutnya, Pasal 156 KUHP tentang Penodaan Agama yang didakwakan oleh JPU, unsurnya tidak terpenuhi.
“Dari keterangan sakti fakta, jelas tidak terpenuhi unsur. Dalam Pasal 156a dan Pasal 156 unsur keduanya adanya sifat permusuhan, kebencian, dan menyebarkan hal sifatnya penistaan kepada agama dan golongan tertentu jelas tidak trerbukti sama sekali. Yang ada hanya pembukaan portal,” katanya. Pihaknya pun yakin kedua terdakwa bisa dibebaskan dari dakwaan.
Ia juga menyebut adanya surat keberatan dari Parisada Hindu Dharma (PHDI) Bali kasus itu dihentikan. “Sementara PHDI Buleleng dan Kecamatan merestui ada perdamaian. Artinya penyelesaian secara kekeluargaan, dibuktikan dengan hadirnya di acara rekonsiliasi doa bersama,” kata dia.
Menurutnya, surat itu dianggap sebagai intervensi hukum terhadap proses peradilan. “Akhirnya kami ambil kesimpulan, RJ (restorative justice) gagal jangan-jangan karena surat PHDI Bali, padahal PHDI Kabupaten dan Kecamatan setuju untuk penyelesaian secara RJ dan damai di lapangan. seperti disampaikan Perbekel, Desa Mawacara dan Desa Kalapatra,” tutupnya.7 mzk
1
Komentar