Rangkaian Aci Petabuhan, Nyomia Bhuta Kala
Tradisi Siat Sarang di Desa Adat Selat, Karangasem
AMLAPURA, NusaBali - Krama Desa Adat Selat, Desa/Kecamatan Selat, Karangasem, menggelar tradisi ritual Siat Sarang pada Wraspati Kliwon Warigadean, Kamis (8/2). Siat atau perang ini menggunakan sarang atau alas dari upakara jajan uli. Siat sebagai simbolis untuk menyomiakan atau mentralisir unsur bhuta kala dalam diri krama.
Tradisi itu juga merupakan rangkaian Aci Petabuhan, diawali menggelar aci di Palinggih Patokan depan Pura Bale Agung, dengan kurban godel dan anjing Bangbungkem. Upacara ini dipuput Jro Mangku Linggih. Siat Sarang juga dilaksanakan menjelang Usaba Dimel, di Pura Dalem, puncaknya Redite Pon Julungwangi, Minggu (11/2).
Tradisi tersebut berlangsung setiap setahun sekali. Proses itu berawal dari rumah masing-masing krama di pagi hari ngunggahang (mempersembahkan) satu kemasan tenge (berisikan kemasan daun gegirang, bambu, gunggung, dan aba) yang dihias bergambar makhluk bhuta kala. Kemasan itu, dipersembahkan di pekarangan rumah.
Menjelang sore hari, beberapa tenge yang dipasang di pekarangan rumah dikumpulkan penghuni rumah itu, dimasukkan ke dalam sarang. Sarang tersebut selanjutnya ditempatkan di lebuh (dekat pintu halaman rumah), makna simbolisnya untuk memancing agar kekuatan bhuta kala masuk ke dalam sarang. Selanjutnya sarang di bawa ke Pura Bale Agung, untuk mendapatkan labaan (pemberian kepada makhluk yang lebih rendah tingkatannya) berupa banten pacaruan, sekaligus menyomiakan sifat-sifat bhuta kala.
Setelah dipersembahkan di Pura Bale Agung, maka sarang tersebut diambil kalangan pemuda Desa Pakraman Selat, untuk dijadikan senjata, kemudian pemuda terbagi dua kelompok, Selat Kaja dan Selat Kelod, lalu berkumpul di pertigaan Desa Adat Selat.
Bendesa Adat Selat, Jro Mangku Wayan Gede Mustika, yang memberikan instruksi memulainya perang. Sesaat sebelum saling serang, Mangku Gede Mustika mengingatkan, tujuan siat sarang untuk mengusir sifat-sifat bhuta kala, yang melekat di dalam diri (angga sarira). Saat saling serang, dilarang menyerang bagian wajah. Perang dimulai setelah Mangku Gede Mus6tika melempar sarang ke arah utara dan ke selatan.
"Pada intinya tujuan siat sarang menyomiakan unsur bhuta kala di wawidangan Desa Adat Selat, dan yang melekat dalam diri," kata Mangku Gede Mustika.
Sifat-sifat bhuta di dalam diri, kata Mangku Gede Mustika, banyak macam. Diantaranya Tri Mala, Tri Mala Paksa, Catur Mada (empat kemabukan), Panca Wisaya (lima jenis racun), Panca Ma (madat, mabuk, memotoh, madon, dan maling), Sad Ripu (enam musuh dalam diri) dn lain-lain.
“Itulah sebabnya selama perang berlangsung, dengan ekspresi riang gembira tidak ada yang emosi, karena telah menyadari untuk memerangi musuh dalam diri dan unsur bhuta kala yang ada di wilayah Desa Adat Selat," tambahnya.7k16
Tradisi tersebut berlangsung setiap setahun sekali. Proses itu berawal dari rumah masing-masing krama di pagi hari ngunggahang (mempersembahkan) satu kemasan tenge (berisikan kemasan daun gegirang, bambu, gunggung, dan aba) yang dihias bergambar makhluk bhuta kala. Kemasan itu, dipersembahkan di pekarangan rumah.
Menjelang sore hari, beberapa tenge yang dipasang di pekarangan rumah dikumpulkan penghuni rumah itu, dimasukkan ke dalam sarang. Sarang tersebut selanjutnya ditempatkan di lebuh (dekat pintu halaman rumah), makna simbolisnya untuk memancing agar kekuatan bhuta kala masuk ke dalam sarang. Selanjutnya sarang di bawa ke Pura Bale Agung, untuk mendapatkan labaan (pemberian kepada makhluk yang lebih rendah tingkatannya) berupa banten pacaruan, sekaligus menyomiakan sifat-sifat bhuta kala.
Setelah dipersembahkan di Pura Bale Agung, maka sarang tersebut diambil kalangan pemuda Desa Pakraman Selat, untuk dijadikan senjata, kemudian pemuda terbagi dua kelompok, Selat Kaja dan Selat Kelod, lalu berkumpul di pertigaan Desa Adat Selat.
Bendesa Adat Selat, Jro Mangku Wayan Gede Mustika, yang memberikan instruksi memulainya perang. Sesaat sebelum saling serang, Mangku Gede Mustika mengingatkan, tujuan siat sarang untuk mengusir sifat-sifat bhuta kala, yang melekat di dalam diri (angga sarira). Saat saling serang, dilarang menyerang bagian wajah. Perang dimulai setelah Mangku Gede Mus6tika melempar sarang ke arah utara dan ke selatan.
"Pada intinya tujuan siat sarang menyomiakan unsur bhuta kala di wawidangan Desa Adat Selat, dan yang melekat dalam diri," kata Mangku Gede Mustika.
Sifat-sifat bhuta di dalam diri, kata Mangku Gede Mustika, banyak macam. Diantaranya Tri Mala, Tri Mala Paksa, Catur Mada (empat kemabukan), Panca Wisaya (lima jenis racun), Panca Ma (madat, mabuk, memotoh, madon, dan maling), Sad Ripu (enam musuh dalam diri) dn lain-lain.
“Itulah sebabnya selama perang berlangsung, dengan ekspresi riang gembira tidak ada yang emosi, karena telah menyadari untuk memerangi musuh dalam diri dan unsur bhuta kala yang ada di wilayah Desa Adat Selat," tambahnya.7k16
Komentar