Baru Disahkan DPR, UU Pemilu Digugat ke MK
Ketua Dewan Pembina Advokat Cinta Tanah Air (ACTA), Habiburokhman mengajukan gugatan UU Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK).
JAKARTA, NusaBali
Sebab, salah satu pasal dalam UU itu dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Berdasarkan pantauan di loket pendaftaran gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Gambir, Jakarta Pusat, Senin (24/7), Habiburokhman, yang mengenakan setelan jas berwarna hitam dengan kemeja putih, didampingi belasan kuasa hukumnya dari ACTA untuk mengajukan uji materi Pasal 222 UU Pemilu.
"Dalam permohonan ini, ACTA bertindak selaku kuasa hukum dari Habiburokhman, seorang warga negara Indonesia yang juga kebetulan menjabat Dewan Pembina ACTA," ujar Wakil Ketua ACTA Agustyar seusai pendaftaran gugatan.
UU Pemilu itu baru disahkan DPR dengan perdebatan alot. Habiburokhman sendiri menggugat Pasal 112 UU Pemilu tentang syarat parpol atau gabungan parpol dalam mengusung capres dan wapres.
"UU ini bertentangan dengan Pasal 4, Pasal 6a, Pasal 28D ayat 1 dan ayat 3 UUD 1945," tutur Agustyar. Sedangkan Habiburokhman mengatakan keberadaan dia dalam gugatan itu terkait dengan pemilihan presiden dan wakil presiden. Terlebih dengan syarat 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional pemilu sebelumnya. "Jadi terlepas kita berlatar belakang politik, tapi kita semua berkepentingan," katanya dilansir detik.com.
Habiburokhman mengaku khawatir UU yang sekarang, dalam hal pemilihan presiden, tersandera partai. Jadi hal itu dianggap bertentangan dengan UUD 1945. "Jadi tidak ada pendelegasian kewenangan untuk membuat peraturan yang lebih detail tentang 20-25 persen di UUD 1945. Sehingga kalau negara diselenggarakan tidak sesuai konstitusi, maka negara akan hancur," ucapnya.
Terpisah Mendagri, Tjahjo Kumolo menilai polemik yang muncul dari Undang-undang (UU) Pemilu sah-sah saja. Perbedaan pendapat yang muncul menurutnya bisa diuji nantinya ke Mahkamah Konstitusi (MK). "Soal masyarakat beda tafsir, sah-sah saja. Tapi yang berhak menguji apakah undang-undang atau pasal itu bertentangan dengan konstitusi dan menyimpang dari UUD ya Mahkamah Konstitusi (MK) itu sendiri," ujar Tjahjo usai acara halal bihalal di kampus IPDN, Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Minggu (23/7). Tjahjo pun mempersilakan siapapun yang tidak puas dengan hasil tersebut untuk mengajukan gugatan ke MK. "Silakan ke Mahkamah Konstitusi," sebut Tjahjo. *
"Dalam permohonan ini, ACTA bertindak selaku kuasa hukum dari Habiburokhman, seorang warga negara Indonesia yang juga kebetulan menjabat Dewan Pembina ACTA," ujar Wakil Ketua ACTA Agustyar seusai pendaftaran gugatan.
UU Pemilu itu baru disahkan DPR dengan perdebatan alot. Habiburokhman sendiri menggugat Pasal 112 UU Pemilu tentang syarat parpol atau gabungan parpol dalam mengusung capres dan wapres.
"UU ini bertentangan dengan Pasal 4, Pasal 6a, Pasal 28D ayat 1 dan ayat 3 UUD 1945," tutur Agustyar. Sedangkan Habiburokhman mengatakan keberadaan dia dalam gugatan itu terkait dengan pemilihan presiden dan wakil presiden. Terlebih dengan syarat 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional pemilu sebelumnya. "Jadi terlepas kita berlatar belakang politik, tapi kita semua berkepentingan," katanya dilansir detik.com.
Habiburokhman mengaku khawatir UU yang sekarang, dalam hal pemilihan presiden, tersandera partai. Jadi hal itu dianggap bertentangan dengan UUD 1945. "Jadi tidak ada pendelegasian kewenangan untuk membuat peraturan yang lebih detail tentang 20-25 persen di UUD 1945. Sehingga kalau negara diselenggarakan tidak sesuai konstitusi, maka negara akan hancur," ucapnya.
Terpisah Mendagri, Tjahjo Kumolo menilai polemik yang muncul dari Undang-undang (UU) Pemilu sah-sah saja. Perbedaan pendapat yang muncul menurutnya bisa diuji nantinya ke Mahkamah Konstitusi (MK). "Soal masyarakat beda tafsir, sah-sah saja. Tapi yang berhak menguji apakah undang-undang atau pasal itu bertentangan dengan konstitusi dan menyimpang dari UUD ya Mahkamah Konstitusi (MK) itu sendiri," ujar Tjahjo usai acara halal bihalal di kampus IPDN, Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Minggu (23/7). Tjahjo pun mempersilakan siapapun yang tidak puas dengan hasil tersebut untuk mengajukan gugatan ke MK. "Silakan ke Mahkamah Konstitusi," sebut Tjahjo. *
1
Komentar