MUTIARA WEDA: Pemilu Damai
udeti savitā tāmrastāmra evāstameti ca, sampatau ca vipattau ca mahatāmekarūpatā. (Kavya Prakash 7.245)
Matahari berwarna merah pada saat terbit, dan merah pada saat terbenam juga. Demikian pula, orang-orang mulia tetap sama pada saat senang dan susah.
PADA 14 Februari 2024 ini, Indonesia kembali masuk dalam momentum sejarah dalam memilih pemimpin untuk lima tahun ke depan. Memilih pemimpin ibarat memilih pengemudi bangsa. Tentu, siapa pun pemimpin yang dipilih rakyat, nantinya dianggap mampu memegang kemudi dan mengantarkan bangsa ini sejalur dengan cita-citanya. Oleh karena itu, apapun jenis sumpah serapah yang pernah terlontar, apapun asumsi negatif yang pernah hadir di pikiran, sekuat apapun like dan dislike kepada salah satu paslon pada saat kampanye, semua itu mesti dinetralisir kembali dan dipulihkan kembali sehingga damai tetap menjadi sesuluh hati.
Mari kita berkaca dari teks di atas. Saat matahari terbit menyiratkan warna merah yang sejuk dan indah, demikian juga menjelang terbenam, menyemburatkan warna merah yang sejuk dan indah. Sebelum masa kampanye pemilu, suasana adem tenang, setelah pemilu, mestinya tetap adem tenang. Matahari ketika meninggi terasa panas, dan setelah turun sejuk kembali. Biarkan saat kampanye saja suasana agak sedikit panas, setelahnya sejuk kembali. Mengapa pada saat kampanye panas? By design matahari ketika menanjak tinggi akan semakin panas. Namun, jangan biarkan bara kampanye tetap terbawa setelahnya. Mari secara bersama-sama mematuhi proses alam ini, bahwa matahari setelah memancarkan panasnya di siang hari, perlahan meredup dan sejuk kembali di sore hari.
Bagaimana caranya agar kesejukan hadir kembali? Oleh karena negara kita negara demokrasi, kemenangan terletak pada suara terbanyak, maka siapa pun nantinya yang terpilih berdasarkan suara itu, maka itulah yang merepresentasikan Indonesia. Ketidakpuasan, asumsi negatif, dan lain-lainnya mesti dibawa ke mode off. Apakah kemudian tidak boleh menjadi oposisi? Sepanjang oposisi tidak me-mode on-kan kebencian, kegaduhan, dan mengedepankan permusuhan, maka oposisi sangat bermanfaat. Oposan adalah penasihat real, reviewer sejati yang berupaya meluruskan hal bengkok yang tidak dilihat oleh penguasa. Hubungan antara penguasa dan oposan tidak ubahnya seperti perusahaan dan assessor. Perusahaan berupaya melakukan semua hal secara baik dan benar dan asesor berupaya menemukan kelemahan yang ada untuk segera diperbaiki.
Kita sebagai masyarakat, mesti mendukung penguasa yang terpilih. Mendukung bisa dalam hal bekerja bersama atau sejalan dalam mewujudkan visi dan misi penguasa, atau memposisikan diri sebagai oposan yang seperti ‘meng-assessment’ kinerja mereka, sehingga perbaikan bisa dilakukan segera setelahnya. Menjadi oposan mesti produktif, seluruhnya didedikasikan untuk kemajuan bangsa. Marilah kita bijak sebagai rakyat, sebagaimana teks di atas, tetap stabil baik pada saat menang atau kalah. Siapa pun yang menang dalam pesta demokrasi adalah kemenangan bersama, dan siapa pun yang kalah juga sebenarnya mendukung kemenangan bersama itu. Apa ‘kemenangan bersama’ itu? Yakni kemenangan rakyat yang nantinya berupaya melanjutkan pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan mereka.
Tidakkah ada rasa sakit hati ketika jagoan kita kalah dalam ring pemilihan itu? Tentu ada dan dipastikan ada. Namun, kembali seperti di atas, jangan sampai ketidakpuasan dan rasa sakit hati itu meniadakan kesejukan sinar matahari yang kembali berwarna awal pasca pemilu itu. Gembira dan sakit hati, baik dan buruk serta berbagai dualitas lainnya akan selalu terjadi, namun jangan sampai menghilangkan kestabilan. Kesejukan harus tetap terjaga. Bagaimana caranya menjaga kesejukan itu sementara jagoan kita kalah, di mana menurut kita dia adalah sosok yang pantas menjadi kemudi bangsa ini lima tahun ke depan?
Kita harus mampu mengembalikan hal ini pada etika demokrasi. Kita harus berada pada kesadaran di mana demokrasi berbasis pada suara rakyat. Meskipun menurut kita yang menang itu tidak layak, tetapi yang memilih adalah suara terbanyak dari rakyat, sehingga untuk itu kita tidak perlu memperpanjang baranya perdebatan. Segera putuskan apakah memposisikan diri sejalur dengan visi misinya atau menjadi oposan/pengkritik yang membangun. Apapun keputusan yang diambil, goalnya mesti sama, menjadikan bangsa Indonesia semakin sejahtera dan bermartabat. 7
I Gede Suwantana
Direktur Bali Vedanta Institute
Komentar