Sulit Gabah, Puluhan Penggilingan Padi Terancam Tutup
DENPASAR, NusaBali - Puluhan penggilingan padi atau penyosohan gabah menganggur alias tak beroperasi. Penyebabnya karena gabah langka. Persatuan Penggilingan Padi Indonesia (Perpadi) menyatakan, jika kesulitan mendapatkan gabah berlanjut, pabrik penggilingan padi tidak akan bertahan alias tutup operasional.
“Berat sudah banyak teman- teman (pemilik penggilingan) yang tak bisa beroperasi lagi,” ujar I Wayan Suka Arta, salah seorang pemilik usaha penggilingan, Kamis (15/2).
Pria yang juga Sekretaris Perpadi Kabupaten Tabanan, menuturkan ada puluhan perusahaan pengggilingan padi, khususnya di Tabanan. Dari puluhan itu yang menjadi anggota Perpadi 48 penggilingan.
Volume usaha penggilingan yang ada bervariasi. Dari skala kecil, produksi antara 7 kuintal sampai 1 ton beras perhari. Kemudian penggilingan skala besar dengan produksi 8-10 ton per hari.
Belakangan karena kesulitan mendapatkan gabah, banyak yang tidak beroperasi. Kalaupun masih ada yang beroperasi, namun produksinya menurun. Contohnya yang biasanya bisa memproduksi beras 8-10 ton, kini hanya bisa produksi beras 3 ton.
“Jam kerja otomatis berkurang juga,” ungkapnya.
Menurut Suka Arta, ada beberapa hal yang menyebabkan pengusaha penggilingan kesulitan mendapatkan gabah. Diantaranya faktor cuaca ekstrem belakangan ini.
Di lapangan, lanjut Suka Arta ada sejumlah persawahan atau subak yang belum bisa menanam padi karena kesulitan irigasi, air tidak mencukupi.
“Semestinya Desember lalu menanam, namun tidak bisa karena tidak ada air,” ungkapnya. Sehingga harapan panen raya yang biasanya pada bulan Maret, diperkirakan sulit terealisasi.
Yang kedua faktor persaingan. Banyak gabah produksi Bali yang dibeli dan dikirim ke luar daerah. Hal itu karena faktor persaingan.
Pengusaha penggilingan beras lokal, yang sebagian besar merupakan tidak cukup banyak modal, tak berani membeli gabah dengan harga jor-joran. Misalnya harga gabah Rp8.000 perkilo. Pengusaha dari luar berani membelinya dengan harga diatasnya.
“Karena mereka permodalannya kuat,” ujarnya.
Alasan itulah, mengapa banyak gabah produksi lokal dikirim ke luar daerah, terutama ke Jawa.
Untuk itu diharapkan ada kebijakan dari Pemerintah, untuk melindungi pengusaha penggilingan lokal yang nota bena pelaku usaha kecil menengah (IKM).
“Kalau bisa ada kebijakan yang bisa ‘membantu’, memproteksi,” ujarnya. Misalnya ada batasan syarat maupun jumlah atau volume maksimal gabah yang boleh dikrim ke luar,” harap Suka Arta.
Bila tidak ada peraturan yang ‘melindungi’, dikhawatirkan usaha penggilingan satu persatu akan gulung tikar. “Bisa jadi dalam 5 tahun ke depan penggilingan di Bali habis,” ujarnya. k17.
Komentar