Penurunan Kemiskinan Melalui Pariwisata Regeneratif
DI Provinsi Bali, pengembangan desa wisata tercatat sebanyak 397. Namun, pariwisata pedesaan tersebut belum sepenuhnya bisa mengentaskan kemiskinan di pedesaan khususnya. Karena, masih terdapat penduduk miskin di daerah pedesaan sekitar 71.550 dan di perkotaan sekitar 133.810.
Artinya, pengembangan desa wisata belum bisa mengentaskan kemiskinan walau menggunakan paradigma berkelanjutan. Pilihan paradigm pariwisata lain yang lebih menjanjikan apa? Mungkin, pilihannya adalah pariwisata regeneratif (regenerative tourism).
Pariwisata regeneratif berupaya untuk mencapai keseimbangan kelayakan ekonomi, penerimaan sosial, dan tanggung jawab terhadap lingkungan. Terdapat perbedaan antara desa wisata berkelanjutan dengan desa wisata regeneratif.
Pariwisata berkelanjutan itu baik, tetapi tidak cukup. Berbagai tantangan yang dihadapi di tingkat global, termasuk krisis iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, penurunan ekosistem, restrukturisasi pekerjaan, akumulasi kekayaan dan meningkatnya ketidaksetaraan, inklusi, akses ke pendidikan, dan krisis kesehatan.
SDGs, meskipun penting, sesungguhnya tidak cukup. Masalah dengan SDGs dan metrik terkait adalah ketika suatu ukuran menjadi target, itu berhenti menjadi ukuran yang baik. Dengan kata lain, ketika target ditetapkan, dan itu menjadi tujuan, orang akan menargetkan tujuan itu terlepas dari konsekuensinya. Mereka akan mengejar ‘tanda persetujuan’ itu.
Alasan pertama bergeser ke pariwisata regeneratif berkaitan dengan etika perawatan. Sebagian besar dari kita tidak memikirkan posisi etis. Misalnya, pariwisata berkelanjutan diterima begitu saja dan tidak dipertanyakan lagi. Sesungguhnya, peran alam adalah untuk menggerakkan ekonomi, mengekstraksi sumber daya, dan mengumpulkan kekayaan. Tanggung jawab untuk merawat alam dibingkai sebagai ‘pengelolaan sumber daya’ di mana sumber daya alam perlu dikelola untuk memberi makan pertumbuhan ekonomi.
Alasan kedua, yaitu, organisasi apapun seharusnya memperkuat pemisahan antara manusia dan alam. SDGs merupakan perpanjangan dari pendekatan ini, yaitu, memperkuat pemisahan manusia dan alam. Prinsip regeneratif didasarkan pada pendekatan manajemen holistik, saling menghormati, hubungan jaringan, dan hubungan dengan alam dan semua makhluk hidup dan tidak hidup. Alasan ketiga, paradigma ilmiah yang telah mendominasi sejak zaman pencerahan. Sesungguhnya, pengetahuan adat menghubungkan beragam bidang pengetahuan dan praktik, seperti ekologi, astronomi, iklim, budaya, hukum dan spiritualitas, dan mencari harmoni dan keseimbangan dengan alam. Jarak dan dominasi atas alam harus dihindari.
Alasan ke-empat, nilai ekonomi harus disepadankan dengan penciptaan nilai holistik. Dalam pembingkaian itu, semua pemangku kepentingan berkontribusi secara sosial, budaya, nilai alam, dan harus berurusan dengan hilangnya nilai lokal berwujud atau tidak berwujud. Saat ini kita tidak memiliki pemahaman nyata tentang nilai yang diciptakan oleh pariwisata. mendukung pariwisata regeneratif.
Ke-lima, pengetahuan lokal dan pengembangan kapasitas. Sudah terlalu lama pakar luar yang datang dan memberi tahu masyarakat setempat apa yang harus dilakukan. Mereka menghabiskan terlalu sedikit waktu untuk memahami tantangan, bagaimana masalah dialami, dan menghargai kecerdikan masyarakat setempat. ‘Aset’ lokal ini adalah kunci masa depan dan sumber keunikan bagi bisnis, destinasi, dan komunitas.
Memanfaatkan pengetahuan, wawasan, pemecahan masalah kreatif, dan kepemilikan pemangku kepentingan lokal membangun kapasitas lokal, mencapai kepemilikan yang lebih kuat, dan mengarah pada masyarakat yang lebih tangguh dan terlibat. Dan, alasan terakhir bahwa manajemen ilmiah telah memberi kita segala macam teori kepemimpinan. Untuk mencapai pariwisata regeneratif, di zaman volatilitas, ketidakpastian, kompleksitas, dan ambiguitas, kita memerlukan etos, pola pikir, dan berbagai kualitas tidak berwujud yang sulit dirumuskan.
Sekarang, lebih dari sebelumnya, kepemimpinan yang adaptif, ulet, menginspirasi, antargenerasi, dan berbasis nilai diperlukan dalam pariwisata. Sistem operasi pariwisata industri mungkin perlu perombakan untuk memungkinkan evolusi kepemimpinan regeneratif baru.
Pariwisata regeneratif melibatkan pemahaman yang mendalam, mendengarkan dan membangun empati, dan mengambil tanggung jawab untuk tidak membahayakan, untuk menghormati alam, untuk bersandar dan bersama-sama menciptakan masa depan yang mengisi kembali dan meningkatkan kapasitas kita untuk berkembang di planet ini. Desain ekonomi kita yang disengaja, atau lingkungan kita dan komunitas kita adalah kunci ketahanan. 7
Prof Dewa Komang Tantra MSc, PhD
Guru Besar Tetap Universitas Warmadewa
Komentar