Sengketa Tanah Ungasan, Nulung dkk vs Pemprov Bali: Klaim Penguasaan oleh Pemprov Dipastikan Palsu
Pemprov Bali
Kepala Biro Aset Setda
Drs. I Ketut Adiarsa, MH
Banjar Bakungsari
PTUN Denpasar
BPN Bali
MANGUPURA, NusaBali - Klaim Pemprov Bali, melalui Surat Pernyataan Kepala Biro Aset Setda Prov. Bali, Drs. I Ketut Adiarsa, MH, yang mengakui telah menggarap tanah sengketa di Banjar Bakungsari Desa Ungasan, dipastikan palsu.
Pemprov Bali tidak akan mampu menunjukkan obyek sengketa maupun batas-batasnya, dalam pemeriksaan setempat oleh PTUN Denpasar yang dijadwalkan pada Senin (19/2) dalam perkara Nomor 27/G/2023/PTUN.DPS, dimana Pemprov Bali menggugat Kakanwil BPN Provinsi Bali atas pembatalan dua sertikat Pemprov Bali, yakni sertifikat Hak Pakai (SHP) No. 121 dan 126. Untuk diketahui, melalui SK Nomor: 168/Pbt/BPN.51/VIII/2023 tertanggal 31 Agustus 2023, Kanwil BPN Bali telah membatalkan SHP No. 121 dan SHP No. 126 atas nama Pemprov Bali tersebut.
‘’Bukti-bukti kepalsuan itu sudah ada. Khususnya soal pernyataan Kepala Biro Asset Setda Bali, Ketut Adiarsa yang awalnya mengklaim menggarap tanah sengketa ketika diajukan permohonan ke Kantor Pertanahan Kabupaten Badung, saat memberi keterangan di depan polisi, justru membantah pernah mengakui sebagai penggarap tanah sengketa. Kalau pengakuannya kontradiktif begitu, bagaimana mungkin Pemprov Bali bisa membuktikan diri menggarap tanah yang disebut sebagai tanah dana bukti DN 11 di Ungasan,’’ lanjut Putu Wirata, Kuasa Hukum I Ketut Nulung dkk, selaku Tergugat II Intervensi 1 s.d 13, dalam perkara No. 27/G/2023/PTUN.DPS tersebut.
‘’Dua SHP atas nama Pemprov Bali yang dibatalkan Kanwil BPN Bali tersebut terbukti cacat administrasi dan cacat hukum, karena penerbitannya banyak kejanggalan.Wayan Koster, sewaktu masih menjadi Gubernur Bali, sudah menyetujui pembatalan dua SHP tersebut, setelah dijelaskan bahwa proses penerbitannya ada cacat administrasi, cacat hukum, bahkan ada indikasi pemalsuan dalam proses penerbitannya,’’ kata Putu Wirata, SH. Namun, setelah dua SHP tersebut dibatalkan oleh Kanwil BPN Bali dan Gubernur Bali dijabat Irjen Mahendra Jaya, justru menggugat ke PTUN Denpasar.
Lanjut Putu Wirata, gugatan Pj Gubernur Bali tersebut mencerminkan sikap yang tidak taat hukum, tidak sensitif pada rasa keadilan yang diperjuangkan oleh penggugat, yang awalnya adalah I Made Sirta Dkk sebanyak 10 KK pada tahun 2001 dan kini sudah menjadi 50 KK, dan banyak diantaranya telah meninggal dunia, antara lain I Made Sirta dan I Made Sabra Arnata.
‘’Seharusnya, bila taat pada sumpah jabatan, berpegang pada asas-asas umum pemerintahan yang baik, sikap Pejabat Gubernur Bali yang ngotot masih berperkara dengan rakyatnya, yakni I Nyoman Nulung dkk yang sudah punya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, memperkosa rasa keadilan rakyat. Kenapa kalau rakyat kecil memohon tanah negara sulitnya minta ampun, dan tetap belum mendapatkan haknya walaupun sudah dimenangkan di pengadilan. Tapi, kalau investor memohon tanah kepada Pemda Bali, prosesnya cepat,’’ imbuh Putu Wirata.
Adapun, pembatalan SHP No. 121 dan SHP No. 126 tersebut, dilakukan oleh Kakanwil BPN Provinsi Bali melalui SK Nomor: 168/Pbt/BPN.51/VIII/2023 dengan alasan adanya cacat prosedur dan administrasi dalam penerbitannya, seperti status tanah masih dalam sengketa, sebagaimana putusan PTUN Denpasar Nomor 08/G/2001/PTUN.Dps tanggal 3 Mei 2001 jo. Putusan Pengadilan Tinggi PTUN Surabaya Nomor 73/B/TUN/2001/PT.TUN.SBY tanggal 2 Agustus 2001 jo Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 01 K/TUN/2002 tanggal 8 April 2004, yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Alasan kedua, tanah ternyata belum tercatat sebagai asset Pemerintah Provinsi Bali pada saat permohonan Hak Pakai tahun 2015, ketiga dalam Surat Pernyataan Drs. I Ketut Adiarsa, MH (Kepala Biro Aset Setda Provinsi Bali) tertanggal 18 Juni 2014, tidak menyebutkan secara tegas sejak kapan tanah obyek sengketa digarap/dikuasai secara fisik, dan keadaan di lapangan terdapat penguasaan oleh pihak lain berupa bangunan dan Pura Batu Nunggul yang dibangun pada tanggal 23 Agustus 1998.
Kuasa Hukum I Nyoman Nulung dkk I Putu Wirata, SH menyatakan, sikap tidak taat hukum serta tidak melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, bermula dari tindakan Pemprov Bali, yang tahun 2015 mengajukan permohonan sertifikat hak pakai ke Kantor Pertanahan Kabupaten Badung. Padahal, atas tanah yang menjadi obyek sengketa, sudah ada putusan PTUN yang berkekuatan hukum tetap, yakni putusan PTUN Denpasar Nomor 08/G/2001/PTUN.Dps tanggal 3 Mei 2001 jo. Putusan Pengadilan Tinggi PTUN Surabaya Nomor 73/B/TUN/2001/PT.TUN.SBY tanggal 2 Agustus 2001 jo Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 01 K/TUN/2002 tanggal 8 April 2004. Adapun amar putusan, mengabulkan permohonan I Made Sirta dkk (sekarang I Nyoman Nulung Dkk) dan menolak dalil Pemprov Bali yang dalam perkara tersebut bertindak sebagai Penggugat Intervensi.
‘’Memohon SHP atas tanah sengketa yang telah ada putusan PTUN yang telah inkracht, jelas merupakan sikap yang tidak taat hukum, karena yang berhak dan harus diberikan sertifikat adalah I Made Sirta dkk,’’ ujar Putu Wirata.
Apalagi, atas putusan PTUN yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut, telah ada kesepakatan untuk melaksanakannya, sebagaimana tertuang dalam Kesimpulan Pansus Konflik Agraria dan SDA DPD RI pada tanggal 14 Maret 2013, yang ditandatangani BPN RI, Kakanwil BPN Prov. Bali, Inspektorat Jenderal Kemendagri, BPKP, Ketuka Komisi I DPRD Bali I Made Arjaya, Wakil Ketua DPRD Bali Ida Bagus Sukarta, Kepala Biro Aset Pemprov Bali Ketut Adiarsa, Asisten Pemerintahan dan Kesra Pemkab Badung IBA Yoga Segara, SH, MH dan Pimpinan Pansus Knflik Agraria dan SDA DPD RI.
Di tahun 2023, melalui kuasa hukumnya, I Nyoman Nulung mengajukan permohonan pembatalan SHP No. 121 dan SHP No. 126 Desa Ungasan ke Kanwil BPN Prov Bali. Gubernur Bali Wayan Koster, yang menerima I Wayan Sudirta, SH (dulunya Ketua Pansus Konflik Agraria dan SDA DPD RI) dan Putu Wirata, SH selaku Kuasa Hukum Nyoman Nulung dkk, sepakat dan menyetujui pembatalan SHP No. 121 dan SHP No. 126 tersebut oleh Kanwil BPN Bali.
Namun, setelah SK Pembatalan SHP No. 121 dan No. 126 tersebut diterbitkan oleh Kakanwil BPN Bali, tiba-tiba Pemprov Bali menggugat SK pembatalan BPN Bali tersebut ke PTUN Denpasar dalam perkara Nomor 27/G/2023/PTUN.DPS.
Ujar Putu Wirata, gugatan Pemprov Bali tersebut mengingkari apa yang dinyatakan Gubernur Bali saat menerima Wayan Sudirta dan Putu Wirata di Jayasabha, dan membuat keadilan dan kepastian hukum yang semestinya sudah bisa dinikmati oleh Nyoman Nulung dkk, semakin Panjang dan tidak menentu.
Kasus bermula tahun 2000 ketika I Made Sirta dkk mengajukan permohonan sertifikat atas tanah yang telah mereka warisi, kuasai, garap secara turun temurun sejak ratusan tahun lalu, ditolak oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Badung. Atas penolakan tersebut, Made Sirta dkk menggugat Kantor Pertanahan Kabupaten Badung ke PTUN Denpasar, dan dikabulkan oleh PTUN di tingkat pertama, banding dan kasasi.
Yang aneh, setelah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, dimana Pemprov Bali selaku Penggugat Intervensi ditolak, Pemprov Bali justru memohon dan memperoleh SHP No. 121 dan SHP No. 126.
Adapun salah satu dasar yang dijadikan bukti untuk mengajukan permohonan adalah SURAT PERNYATAAN Drs. I Ketut Adiarsa, MH (Kepala Biro Aset Setda Prov Bali), yang menyatakan bahwa tanah yang berlokasi di Banjar Bakungsari, Desa Unggasan, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, seluas kurang lebih 143.000 m2, yang diakui digarapnya, tanpa menyebut tahunnya, surat ditandatangani tertanggal 18 Juni 2014.
Selaku Kuasa Hukum Nulung dkk, Putu Wirata menyatakan bahwa pernyataan menggarap tanah DN 11 tersebut, yang digunakan dalam permohonan SHP No. 121 dan SHP No. 126 oleh Pemprov Bali, merupakan surat palsu dan telah dilaporkan ke Bareskrim Polri. Kepalsuan lain yang diduga dilakukan dalam permohonan SHP No. 121 dan 126 tersebut adalah, dengan menerangkan bahwa tanah tidak dalam status sengketa, padahal jelas-jelas ada sengketa di pengadilan. Dugaan kepalsuan lain, dengan menerangkan bahwa tanah yang dimohon adalah tanah dana bukti DN 11, padahal jelas-jelas dalam putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap tanah sengketa disebut sebagai Tanah Negara, sesuai apa yang diatur dalam UUPA No. 5 Tahun 1960. Kepalsuan lainnya, dengan mengklaim menguasai tanah sengketa, tetapi Bu tanpa bukti, karena yang senyata-nyatanya menguasai, menggarap dan menghasili tanah sengketa adalah I Nyoman Nulung dkk.
Sementara Pemprov Bali tetap akan tunduk dengan mekanisme hukum yang berlaku dalam urusan sengketa tanah antara Pemprov dengan beberapa warga di Ungasan tersebut.
Karo Hukum Setda Provinsi Bali, Ida Bagus Gede Sudarsana dikonfirmasi NusaBali, Minggu (18/2) menyampaikan tanah yang saat ini dijadikan objek sengketa merupakan tanah yang dicatatkan aset Pemprov Bali namun belum disertifikatkan. Kata dia pihak Pemprov punya kewajiban untuk penataan aset supaya statusnya jelas. "Kalau kami tidak melakukan sertifikasi tanah negara yang menjadi aset Pemprov ini kita dinilai lalai dan tidak taat hukum. Aset Pemprov Bali kan sering menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan. Salah satunya karena pengelolaan dan banyak yang belum bersertifikat," ujar Gus Sudarsana.
Dijelaskan Gus Sudarsana, secara lembaga Pemprov akan mempertahankan aset yang memang menjadi hak Pemprov Bali. "Karena kami tidak mau dituduh menghilangkan kekayaan negara. Bahkan bisa dinilai memperkaya orang lain akibat penataan aset yang tidak jelas. Karena membiarkan aset negara dikuasai orang lain," ujar mantan Inspektur Pembantu di Inspektorat Pemprov Bali ini.
"Secara kelembagaan Pemprov Bali akan habis habisan, bila perlu sampai kasasi. Kalau memang nanti kita kalah berproses ya baru kita lepas dengan keputusan hukum yang punya kekuatan hukum bersifat tetap. Kalau sekarang ya kita berproses dulu. Kita tetap maju, bahkan sudah ada kuasa hukum yang ditunjuk," ujar Gus Sudarsana. Rez
1
Komentar