MUTIARA WEDA: Adharma Hanya Ada pada Orang Lain
catuṣpāt sakalo dharmaḥ satyaṁcaiva krte yuga,nādharmeṇāgamaḥ caccin manuṣyān prati vartate.itareṣvāgamād dharmaḥ pāda śastvavaropitaḥ,caurikānrta māyābhir dharmaś cāpa iti padaśaḥ.(Manavadharmasastra, I.81-82)
Pada zaman Krta yuga dharma berkaki empat dan sempurna, demikian pula halnya dengan satya (kebenaran); tak ada keuntungan yang akan diperoleh manusia dengan prilaku adharma. Adapun zaman lainnya karena adharma yang dilakukan, dharma itu berturut-turut dikurangi kakinya oleh adanya pencurian, kebohongan, dan penipuan sehingga kebajikan manusia berkurang seperempatnya dalam setiap yuganya.
MENURUT teks di atas, zaman krta yuga dharmanya berkaki empat, sangat lengkap. Berikutnya, Treta yuga berkaki tiga, satu hilang karena adharma mulai ada. Pada zaman Dvapara yuga kakinya masih dua, moral manusia semakin merosot. Saat ini antara dharma dan adharma seimbang. Di zaman kali yuga kaki dharma hanya tertinggal satu, hanya seperempat yang masih. Dikatakan bahwa di zaman kali, 75 persen bumi dipenuhi oleh kejahatan. Benarkah ini? Bagaimana cara menghitungnya? Bagaimana teks ini bisa memprediksi bahwa kebenarannya seperti itu?
Mari kita tidak menyoroti bagian ini, sebab apa yang diuraikan di dalam teks itu persoalan keyakinan. Mari kita lihat kebenaran lainnya, tidak dalam konteks sejarah dan keakuratan kalkulasinya. Mari kita lihat persoalan yang sekarang. Saat ini diyakini sedang berada di zaman kali yuga. Oleh karena itu kalkulasi dharma yang ada adalah 1 : 4. Artinya, orang yang masih berada dalam dharma hanya ¼ atau 25 persen dari jumlah total, sementara ¾ atau 75 persen lainnya berada dalam adharma. Karena teks bicara demikian, maka kita meyakininya.
Tapi, dalam kenyataannya di lapangan, berdasarkan keyakinan, apakah hitungan itu tetap demikian? Seperti misalnya, jika ada 100 orang, maka 25 orang berada dalam dharma, sementara 75 lainnya adharma. Itu logikanya. Namun, ketika keseratus orang itu membaca teks di atas, maka dipastikan semuanya berkesimpulan bahwa dirinya adalah bagian dari 25 persen itu. Tidak ada satupun yang menyatakan dirinya menjadi bagian dari yang 75 persen itu. Setiap orang akan menunjuk yang 75 persen itu ada pada orang lain, bukan pada dirinya. Sehingga, meskipun ada perhitungan 25 persne dan 75 persen, dipastikan ke-100 persen nya menyatakan dirinya berada dalam dharma, sehingga yang adharma 0 persen.
Oleh karena demikian, secara teks disebutkan pembagian dharma = 25 persen dan adharma = 75 persen, tetapi dalam keyakinan, dharma = 100 persen dan adharma = 0 persen. Tidak ada orang yang secara meyakinkan menyatakan dirinya adharma. Mungkin ada banyak yang menyatakan bahwa dirinya kurang sempurna, penuh kelemahan, tetapi itu adalah bentuk keegoan (sering disebut rasa humble). Dalam percakapan kita sering dengar seperti ini, “sebenarnya aku sih orangnya kurang sempurna, sering berbuat salah, tetapi aku tidaklah sebodoh itu, tidak sekonyol itu, aku rasanya masih punya akal sehat kok!”. Dia seolah-olah merendahkan diri agar tidak terlalu kentara mengunggulkan dirinya. Sejatinya dia ingin menyatakan bahwa dirinya pintar dan benar. Jadi, dalam keyakinan, letak adharma yang 75 persen itu hanya ada pada orang lain, tidak ada pada dirinya. Semuanya meyakini bahwa dirinya bagian dari 25 persen tersebut.
Ini paradoks, namun demikianlah kebenarannya di lapangan. Adharma tidak ada jika dilihat dari keyakinan di masing-masing orang. Oleh karena demikian, mari kita ubah interpretasi teks di atas. Matematika 25 persen dan 75 persen itu sebenarnya ada pada diri kita masing-masing. Ini rasanya lebih adil. Setiap orang memiliki tendensi dharma sekaligus adharma dengan hitungan 25 persen dan 75 persen. Hanya saja, kita tidak menyadari adharma kita 75 persen oleh karena kita diselimuti oleh avidya, asmita, raga, dvesa, abhinivesa, dan hal buruk lainnya. Kita selalu merasa benar dan orang lain yang salah. Makanya, tidak salah kalau orang ngerumpi di bale banjar, 75 persen bahkan lebih isinya adalah kejelekan orang lain. Mengapa? Karena adharma hanya ada pada orang lain.
Apakah setiap orang kecenderungan angkanya 25 : 75? Mungkin bervariasi. Ada orang yang dharmanya lebih dari 25 persen dan ada adharmanya yang lebih dari 75 persen. Bagaimana kita bisa menemukan indikasi persentase ini di dalam diri? Mungkin kuncinya ada di sini, ‘semakin sering kita bisa melihat dan memperbincangkan keburukan orang lain, maka semakin banyak persentase adharma kita’. Mengapa? Karena hukum keyakinan tadi: ‘adharma hanya ada pada orang lain’. 7
I Gede Suwantana
Direktur Bali Vedanta Institute
1
Komentar