MUTIARA WEDA : Makna Kebenaran Bagi Bangsa
Tak ada kebenaran yang mendua
Tan Hana Dharma Mangrwa
(Sutasoma, 139:5)
Saat ini bangsa Indonesia dilanda kecemasan yang kalau boleh dibilang ‘akut’. Mengapa? Karena adanya upaya penggantian ideologi negara yang secara terus-menerus terjadi sampai sekarang. Berbagai antisipasi yang dilakukan oleh negara seolah tidak mampu mencabut sampai ke akar-akarnya. Pemberangusan terhadap satu ideologi pengganggu tidak menjadikan jenis ideologi lainnya yang baru kapok untuk mencoba peruntungan. Mereka terus dan terus tampil dengan permainan serta aktor yang berbeda. Tujuannya hanya satu, yakni hendak menurunkan Pancasila dan kemudian menggantikannya dengan ideologi lain, yang ‘mungkin’ bagi mereka lebih baik dan lebih cocok untuk Indonesia.
Apa salahnya Pancasila? Apakah Pancasila membahayakan kehidupan banyak orang sehingga ia harus diupayakan untuk diganti? Apakah bapak pendiri bangsa kurang cerdas di dalam menentukan ideologi bangsa sehingga harus dicarikan jalan keluar untuk dijatuhkan? Bukankah bangsa Indonesia itu beraneka ragam atas suku, ras, bahasa dan agamanya sehingga diperlukan payung yang mampu menaungi itu semua? Apakah Pancasila tidak menjanjikan itu semua? Apakah ada salah satu unsur yang ada di Indonesia tidak mendapat perlindungan di bawah NKRI dengan Pancasila sebagai dasar dan ‘Bhineka Tunggal Ika’ sebagai semboyannya?
Jika dikaji, prase ‘Bhineka Tunggal Ika’ memiliki makna yang luar biasa. Apapun yang tampak berbeda itu pada hakikatnya tunggal. Mengapa demikian? Karena ‘tan hana dharma mangrwa’, tidak ada kebenaran yang mendua, yang ambigu, yang membingungkan. Apakah ada orang yang pobhia terhadap ungkapan tersebut sehingga menggigil ketakutan dan kemudian menyusun strategi untuk menghancurknnya? Mungkin, pobhia dalam arti kelainan psikis sangat kecil terjadi, sebab sesuatu yang menjadi grand desain pokok yang mampu menampung berbagai jenis kepentingan yang berbeda-beda sangatlah besar dan melampuai batas-batas pikiran manusia yang lebih sering sakit. Mungkin yang ada adakah pobhia politik, dalam artian ‘haus akan kekuasaan’ dimana ada oknum tertentu merasa tidak nyaman jika tidak berada di puncak dan kemudian ideologi Pancasila dijadikan objek serangan.
Kemungkinan kedua, jika kita tidak ingin menunjuk langsung pada perilakunya, menurut teks Sutra Patanjali tentang adanya modifikasi pikiran berupa ‘pramana’ dan ‘viparyaya’, secara eksistensi kondisi ini bisa dijawab. Bagi orang yang memiliki modifikasi pikiran ‘pramana’, ungkapan ‘tan hana dharma mangrwa’ akan bermakna bahwa siapa pun yang memiliki pemikiran adalah sebuah kemerdekaan, sepanjang pemikiran tersebut tetap dalam koridor kebenaran. Cara berpikir yang berbeda-beda tidak menjadikan manusia secara eksistensi terpisah. Tetapi jika seseorang memiliki modifikasi pikiran ‘viparyaya’, ungkapan ‘tan hana dharma mangrwa’ akan bermakna berbeda.
Pikiran viparyaya tidak akan mampu melihat adanya kebenaran pada cara berpikir yang berbeda selain cara berpikir dirinya. Apalagi cara berpikir seperti itu ‘seolah-olah’ ditopang oleh dalil-dalil suci, maka makna ungkapan tersebut akan semakin jauh. Bisa saja hal itu bermakna bahwa ‘tidak ada sebenarnya kebenaran yang kedua, hanya kebenaran yang diyakinilah yang benar, sehingga kebenaran lain tidak boleh mengambil tempat, sebab jika ada kebenaran lain diberikan berkembang, kebenaran itu akan mengotori kebenaran yang dianutnya.’
Mungkin di Indonesia orang dengan modifikasi pikiran viparyaya sangat banyak dan asumsi dari hasil pemikirannya banyak yang sejenis, sehingga mereka mampu menggalang kekuatan dan memberikan tekanan yang menyulitkan bagi pemerintah. Oleh karena itu, apa sebenarnya yang diperlukan oleh bangsa Indonesia? Cara terdekat dan mendesak yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah tindakan represif dengan cara menekan laju pertumbuhan gerakan tersebut dan menghentikan cara kerja sistem mereka. Langkah berikutnya yang sangat penting dan lama adalah mengembalikan arah berpikir masyarakat Indonesia menuju ‘pramana’ dan menghilangkan ‘viparyaya’.
Patanjali menekankan bahwa hanya meditasi yang secara efektif mampu membentuk poros berpikir baru di dalam diri seseorang. Meditasi artinya, sebuah cara bagaimana agar kekuatan laten yang ada di dalam diri masing-masing orang dapat ditumbuhkan dan kemudian diarahkan ke cahaya yang benar. Menggali karakter ilahi sejak dini (masa kanak-kanak) merupakan PR besar bagi bangsa Indonesia yang harus terus-menerus diupayakan.
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
Dosen Fak. Brahma Widya, IHDN Denpasar
(Sutasoma, 139:5)
Saat ini bangsa Indonesia dilanda kecemasan yang kalau boleh dibilang ‘akut’. Mengapa? Karena adanya upaya penggantian ideologi negara yang secara terus-menerus terjadi sampai sekarang. Berbagai antisipasi yang dilakukan oleh negara seolah tidak mampu mencabut sampai ke akar-akarnya. Pemberangusan terhadap satu ideologi pengganggu tidak menjadikan jenis ideologi lainnya yang baru kapok untuk mencoba peruntungan. Mereka terus dan terus tampil dengan permainan serta aktor yang berbeda. Tujuannya hanya satu, yakni hendak menurunkan Pancasila dan kemudian menggantikannya dengan ideologi lain, yang ‘mungkin’ bagi mereka lebih baik dan lebih cocok untuk Indonesia.
Apa salahnya Pancasila? Apakah Pancasila membahayakan kehidupan banyak orang sehingga ia harus diupayakan untuk diganti? Apakah bapak pendiri bangsa kurang cerdas di dalam menentukan ideologi bangsa sehingga harus dicarikan jalan keluar untuk dijatuhkan? Bukankah bangsa Indonesia itu beraneka ragam atas suku, ras, bahasa dan agamanya sehingga diperlukan payung yang mampu menaungi itu semua? Apakah Pancasila tidak menjanjikan itu semua? Apakah ada salah satu unsur yang ada di Indonesia tidak mendapat perlindungan di bawah NKRI dengan Pancasila sebagai dasar dan ‘Bhineka Tunggal Ika’ sebagai semboyannya?
Jika dikaji, prase ‘Bhineka Tunggal Ika’ memiliki makna yang luar biasa. Apapun yang tampak berbeda itu pada hakikatnya tunggal. Mengapa demikian? Karena ‘tan hana dharma mangrwa’, tidak ada kebenaran yang mendua, yang ambigu, yang membingungkan. Apakah ada orang yang pobhia terhadap ungkapan tersebut sehingga menggigil ketakutan dan kemudian menyusun strategi untuk menghancurknnya? Mungkin, pobhia dalam arti kelainan psikis sangat kecil terjadi, sebab sesuatu yang menjadi grand desain pokok yang mampu menampung berbagai jenis kepentingan yang berbeda-beda sangatlah besar dan melampuai batas-batas pikiran manusia yang lebih sering sakit. Mungkin yang ada adakah pobhia politik, dalam artian ‘haus akan kekuasaan’ dimana ada oknum tertentu merasa tidak nyaman jika tidak berada di puncak dan kemudian ideologi Pancasila dijadikan objek serangan.
Kemungkinan kedua, jika kita tidak ingin menunjuk langsung pada perilakunya, menurut teks Sutra Patanjali tentang adanya modifikasi pikiran berupa ‘pramana’ dan ‘viparyaya’, secara eksistensi kondisi ini bisa dijawab. Bagi orang yang memiliki modifikasi pikiran ‘pramana’, ungkapan ‘tan hana dharma mangrwa’ akan bermakna bahwa siapa pun yang memiliki pemikiran adalah sebuah kemerdekaan, sepanjang pemikiran tersebut tetap dalam koridor kebenaran. Cara berpikir yang berbeda-beda tidak menjadikan manusia secara eksistensi terpisah. Tetapi jika seseorang memiliki modifikasi pikiran ‘viparyaya’, ungkapan ‘tan hana dharma mangrwa’ akan bermakna berbeda.
Pikiran viparyaya tidak akan mampu melihat adanya kebenaran pada cara berpikir yang berbeda selain cara berpikir dirinya. Apalagi cara berpikir seperti itu ‘seolah-olah’ ditopang oleh dalil-dalil suci, maka makna ungkapan tersebut akan semakin jauh. Bisa saja hal itu bermakna bahwa ‘tidak ada sebenarnya kebenaran yang kedua, hanya kebenaran yang diyakinilah yang benar, sehingga kebenaran lain tidak boleh mengambil tempat, sebab jika ada kebenaran lain diberikan berkembang, kebenaran itu akan mengotori kebenaran yang dianutnya.’
Mungkin di Indonesia orang dengan modifikasi pikiran viparyaya sangat banyak dan asumsi dari hasil pemikirannya banyak yang sejenis, sehingga mereka mampu menggalang kekuatan dan memberikan tekanan yang menyulitkan bagi pemerintah. Oleh karena itu, apa sebenarnya yang diperlukan oleh bangsa Indonesia? Cara terdekat dan mendesak yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah tindakan represif dengan cara menekan laju pertumbuhan gerakan tersebut dan menghentikan cara kerja sistem mereka. Langkah berikutnya yang sangat penting dan lama adalah mengembalikan arah berpikir masyarakat Indonesia menuju ‘pramana’ dan menghilangkan ‘viparyaya’.
Patanjali menekankan bahwa hanya meditasi yang secara efektif mampu membentuk poros berpikir baru di dalam diri seseorang. Meditasi artinya, sebuah cara bagaimana agar kekuatan laten yang ada di dalam diri masing-masing orang dapat ditumbuhkan dan kemudian diarahkan ke cahaya yang benar. Menggali karakter ilahi sejak dini (masa kanak-kanak) merupakan PR besar bagi bangsa Indonesia yang harus terus-menerus diupayakan.
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
Dosen Fak. Brahma Widya, IHDN Denpasar
Komentar