Yang Mamundut Keris adalah Kaum Brahmana, Warih dari Dang Hyang Dwijendra
Ritual Nangluk Merana, Tradisi Ngerebeg Keris Ki Baru Gajah di Tabanan
TABANAN, NusaBali - Puri Kediri bersama krama Desa Adat Kediri, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan melaksanakan Tradisi Ngerebeg Pusaka Keris Ki Baru Gajah bertepatan dengan Hari Raya Kuningan pada Saniscara Kliwon Kuningan, Sabtu (9/3). Prosesi Ngerebeg Keris Ki Baru Gajah ini dilakukan dengan cara jalan kaki dari Puri Kediri menuju Pura Luhur Pekendungan di Desa Beraban, Kecamatan Kediri atau sejauh 14 kilometer.
Tradisi Ngerebeg ini diyakini sebagai salah satu ritual nangkluk merana atau menetralisir aura negatif alam di Kabupaten Tabanan. Dan dalam tradisi ini salah satu perangkat upakara yang dibawa krama adalah papah jaka (batang pohon enau) yang diibaratkan sebagai penyisihan atau menghalau hama yang ada di sawah.
Penasihat Puri Kediri Anak Agung Ngurah Gede Sugiarta, menuturkan tradisi Ngerebeg dilaksanakan sejak abad ke–17 atau saat berdirinya Puri Kediri. Prosesi tersebut bagian dari bisama Ida Dang Hyang Dwijendra sebagai pemberi Pusaka Keris Ki Baru Gajah.
“Pusaka Keris Ki Baru Gajah ini paica (pemberian) dari Ida Bhatara Langit Ida Dang Hyang Dwijndra yang ada kaitannya dengan Pura Pekendungan,” ujar Agung Sugiarta.
Diceritakan kala itu atau sekitar abad ke–14, Dang Hyang Dwijendra melaksanakan Dharma Yatra ke wilayah Pura Tanah Lot dan Pura Pekendungan di Desa Beraban, Kecamatan Kediri. Dan pada saat itu ada paica (pemberian) Keris Ki Baru Gajah kepada Ki Bendesa Beraban. Oleh Dang Hyang Dwijendra, keris diminta diberikan kepada Raja Tabanan sebagai penguasa dan pada saat itu Puri Kediri belum ada.
Singkat cerita, menurut Agung Sugiarta, ketika era pemerintahan raja abad ke–19, I Gusti Ngurah Agung, memiliki tiga saudara kandung. Gusti Agung sendiri sebagai Raja Tabanan atau tepat Raja Tabanan sekarang.
Kemudian saudara nomor dua I Gusti Ngurah Demung sebagai raja di Puri Kaleran Tabanan dan yang nomor tiga atau bungsu I Gusti Ngurah Celuk diminta membangun puri di daerah Kekeran, nama dari Kecamatan Kediri terdahulu. Hanya saja saat itu Gusti Ngurah Celuk ini memiliki permintaan, dia mau datang ke Kekeran asalkan bisa membawa pusaka Ki Baru Gajah tersebut.
“Nah, singkat cerita akhirnya I Gusti Ngurah Celuk ini merabas hutan Kekeran untuk mendirikan Puri Kediri, kemudian Keris Ki Baru Gajah hingga sekarang tersimpan di gedong penyimpanan Puri Kediri,” beber Agung Sugiarta.
Karena Puri Kediri sebagai pengaceng dari Pura Tanah Lot, Pura Pekendungan, Pura Dangin Ambe, hingga Pura Alas Bomo, kemudian ada titah (perintah yang harus dipatuhi) dari Dang Hyang Dwijendra, di samping itu kawisesan (kemampuan) dari Keris Ki Baru Gajah ini sebagai nangluk merana, maka setiap Pujawali di Pura Pekendungan Keris Pusaka Ki Baru Gajah ini harus lunga atau diarak ke Pura Pekendungan dengan jalan kaki.
“Jadi tradisi ini wajib dilakukan. Sebab sudah ada bisama dari Dang Hyang Dwijendra dalam bahasa Kawi yang artinya bahwa bila tidak melaksanakan aci (upacara) Ngerebeg ini maka jagat dunia akan rusak atau dilanda bencana. Jadi sampai sekarang aci tetap dilakukan. Meskipun kami di Puri Kediri dalam kondisi cuntaka, tradisi tetap jalan tapi kami di puri tidak ikut,” ujar Agung Sudiarta.
Dalam pelaksanaan aci ini, dilakukan bersama dengan enam banjar di Desa Adat Kediri. Setiap enam bulan sekali bergiliran banjar yang melaksanakan tradisi bersama dengan Puri Kediri itu. Jika krama dari enam banjar di Desa Adat Kediri, yakni, Banjar Delod Puri, Banjar Panti, Banjar Puseh, Banjar Jagasatru, Banjar Sema, dan Banjar Pande, dilibatkan jumlahnya akan sampai ribuan orang. Karenanya, diputuskan bergilir tiap banjar setiap enam bulan sekali (tujuh bulan kalender Masehi).
Secara singkat, Agung Sugiarta, menjelaskan tradisi Ngerebeg ini dilakukan dengan jalan kaki, konon dulu pernah menggunakan sarana dokar namun roda dari dokar tersebut patah.
Sebelum diarak ke Pura Pekendungan, Keris Ki Baru Gajah yang ditedunkan dari gedong penyimpanan di Puri Kediri, kemudian menuju Pura Panti untuk dihaturkan ayaban (upakara). Setelah itu selesai, Keris Ki Baru Gajah memutar sekali wewidangan puri, yang diibaratkan memutari Desa Kediri. “Dan setelah proses itu selesai baru diarak ke Pura Pekendungan dan Keris Ki Baru Gajah munggah di Pelinggih Ageng dengan sarana upakara kembar sama dengan apa yang dihaturkan di Pura Pekendungan,” bebernya.
Dalam proses tradisi ini saat keris diarak, sarana yang dibawa selain tedung, lelontekan, dan diiringi baleganur, wajib ada pelepah atau daun dari pohon enau. Pelepah dari pohon enau ini diibaratkan sebagai penghalau hama yang ada di sawah. Hama dihalau dari Kecamatan kediri sampai di Pura Pekendungan. Di Pura Pekendungan ini diyakini ada wana pingit (tempat khusus) untuk mengkandangkan merana (wabah). “Sehingga setiap enam bulan sekali tepatnya pada sasih tilem keenam sabantara subak se–Kabupaten Tabanan melakukan aci penangkluk merana (menetralisir wabah),” tegas Agung Sugiarta.
Menariknya dalam proses ini orang yang mamundut (membawa) Keris Ki Baru Gajah yang memiliki luk tujuh yang terbuat dari tembaga ini adalah kaum brahmana atau warih dari Dang Hyang Dwijendra.
“Tadi yang memundut adalah Ida Pedanda Gede Putra Keramas Intaran dari Geria Sesanda Tabanan. Dan nanti enam bulan lagi sudah ada tujuh pedanda yang rencananya akan mamundut. Karena dalam prosesi yang berjalan atau saat tradisi dilaksanakan, orang yang mamundut bisa bergantian,” tutur Agung Sugiarta.
Dia berharap lewat aci yang dilaksanakan ini wabah atau hama khususnya di Tabanan tidak ada. Terlebih lagi di Tabanan adalah daerah agraris yang terkenal dengan pertanian.
Untuk diketahui Tradisi Ngerebeg Keris Ki Baru Gajah sudah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) pada 2019 lewat kongres di Jakarta. 7 des
Penasihat Puri Kediri Anak Agung Ngurah Gede Sugiarta, menuturkan tradisi Ngerebeg dilaksanakan sejak abad ke–17 atau saat berdirinya Puri Kediri. Prosesi tersebut bagian dari bisama Ida Dang Hyang Dwijendra sebagai pemberi Pusaka Keris Ki Baru Gajah.
“Pusaka Keris Ki Baru Gajah ini paica (pemberian) dari Ida Bhatara Langit Ida Dang Hyang Dwijndra yang ada kaitannya dengan Pura Pekendungan,” ujar Agung Sugiarta.
Diceritakan kala itu atau sekitar abad ke–14, Dang Hyang Dwijendra melaksanakan Dharma Yatra ke wilayah Pura Tanah Lot dan Pura Pekendungan di Desa Beraban, Kecamatan Kediri. Dan pada saat itu ada paica (pemberian) Keris Ki Baru Gajah kepada Ki Bendesa Beraban. Oleh Dang Hyang Dwijendra, keris diminta diberikan kepada Raja Tabanan sebagai penguasa dan pada saat itu Puri Kediri belum ada.
Singkat cerita, menurut Agung Sugiarta, ketika era pemerintahan raja abad ke–19, I Gusti Ngurah Agung, memiliki tiga saudara kandung. Gusti Agung sendiri sebagai Raja Tabanan atau tepat Raja Tabanan sekarang.
Kemudian saudara nomor dua I Gusti Ngurah Demung sebagai raja di Puri Kaleran Tabanan dan yang nomor tiga atau bungsu I Gusti Ngurah Celuk diminta membangun puri di daerah Kekeran, nama dari Kecamatan Kediri terdahulu. Hanya saja saat itu Gusti Ngurah Celuk ini memiliki permintaan, dia mau datang ke Kekeran asalkan bisa membawa pusaka Ki Baru Gajah tersebut.
“Nah, singkat cerita akhirnya I Gusti Ngurah Celuk ini merabas hutan Kekeran untuk mendirikan Puri Kediri, kemudian Keris Ki Baru Gajah hingga sekarang tersimpan di gedong penyimpanan Puri Kediri,” beber Agung Sugiarta.
Karena Puri Kediri sebagai pengaceng dari Pura Tanah Lot, Pura Pekendungan, Pura Dangin Ambe, hingga Pura Alas Bomo, kemudian ada titah (perintah yang harus dipatuhi) dari Dang Hyang Dwijendra, di samping itu kawisesan (kemampuan) dari Keris Ki Baru Gajah ini sebagai nangluk merana, maka setiap Pujawali di Pura Pekendungan Keris Pusaka Ki Baru Gajah ini harus lunga atau diarak ke Pura Pekendungan dengan jalan kaki.
“Jadi tradisi ini wajib dilakukan. Sebab sudah ada bisama dari Dang Hyang Dwijendra dalam bahasa Kawi yang artinya bahwa bila tidak melaksanakan aci (upacara) Ngerebeg ini maka jagat dunia akan rusak atau dilanda bencana. Jadi sampai sekarang aci tetap dilakukan. Meskipun kami di Puri Kediri dalam kondisi cuntaka, tradisi tetap jalan tapi kami di puri tidak ikut,” ujar Agung Sudiarta.
Dalam pelaksanaan aci ini, dilakukan bersama dengan enam banjar di Desa Adat Kediri. Setiap enam bulan sekali bergiliran banjar yang melaksanakan tradisi bersama dengan Puri Kediri itu. Jika krama dari enam banjar di Desa Adat Kediri, yakni, Banjar Delod Puri, Banjar Panti, Banjar Puseh, Banjar Jagasatru, Banjar Sema, dan Banjar Pande, dilibatkan jumlahnya akan sampai ribuan orang. Karenanya, diputuskan bergilir tiap banjar setiap enam bulan sekali (tujuh bulan kalender Masehi).
Secara singkat, Agung Sugiarta, menjelaskan tradisi Ngerebeg ini dilakukan dengan jalan kaki, konon dulu pernah menggunakan sarana dokar namun roda dari dokar tersebut patah.
Sebelum diarak ke Pura Pekendungan, Keris Ki Baru Gajah yang ditedunkan dari gedong penyimpanan di Puri Kediri, kemudian menuju Pura Panti untuk dihaturkan ayaban (upakara). Setelah itu selesai, Keris Ki Baru Gajah memutar sekali wewidangan puri, yang diibaratkan memutari Desa Kediri. “Dan setelah proses itu selesai baru diarak ke Pura Pekendungan dan Keris Ki Baru Gajah munggah di Pelinggih Ageng dengan sarana upakara kembar sama dengan apa yang dihaturkan di Pura Pekendungan,” bebernya.
Dalam proses tradisi ini saat keris diarak, sarana yang dibawa selain tedung, lelontekan, dan diiringi baleganur, wajib ada pelepah atau daun dari pohon enau. Pelepah dari pohon enau ini diibaratkan sebagai penghalau hama yang ada di sawah. Hama dihalau dari Kecamatan kediri sampai di Pura Pekendungan. Di Pura Pekendungan ini diyakini ada wana pingit (tempat khusus) untuk mengkandangkan merana (wabah). “Sehingga setiap enam bulan sekali tepatnya pada sasih tilem keenam sabantara subak se–Kabupaten Tabanan melakukan aci penangkluk merana (menetralisir wabah),” tegas Agung Sugiarta.
Menariknya dalam proses ini orang yang mamundut (membawa) Keris Ki Baru Gajah yang memiliki luk tujuh yang terbuat dari tembaga ini adalah kaum brahmana atau warih dari Dang Hyang Dwijendra.
“Tadi yang memundut adalah Ida Pedanda Gede Putra Keramas Intaran dari Geria Sesanda Tabanan. Dan nanti enam bulan lagi sudah ada tujuh pedanda yang rencananya akan mamundut. Karena dalam prosesi yang berjalan atau saat tradisi dilaksanakan, orang yang mamundut bisa bergantian,” tutur Agung Sugiarta.
Dia berharap lewat aci yang dilaksanakan ini wabah atau hama khususnya di Tabanan tidak ada. Terlebih lagi di Tabanan adalah daerah agraris yang terkenal dengan pertanian.
Untuk diketahui Tradisi Ngerebeg Keris Ki Baru Gajah sudah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) pada 2019 lewat kongres di Jakarta. 7 des
1
Komentar