RSUP Ngoerah Gelar ‘Ngusik’ soal Glaukoma
DENPASAR, NusaBali - RSUP Prof dr IGNG Ngoerah (RSUP Sanglah) menggelar ‘Ngobrol untuk Sehat dengan Gaya Asyik (Ngusik)’ memperingati World Glaucoma Week, Jumat (15/3) pukul 13.00 Wita. Acara tersebut diinisiasi oleh World Glaucoma Association (WGA) dengan tujuan meningkatkan kesadaran akan pentingnya mendeteksi gejala glaukoma sejak dini.
Diskusi dimoderatori dr Tiara Alexander, dengan narasumber I Gusti Ayu Ratna Suryaningrum MBiomed, SpM(K).
Glaukoma adalah penyempitan lapang pandang, merupakan penyakit yang sering tidak disadari dan menyebabkan kebutaan jika tidak ditangani dengan cepat.
Di Indonesia, situasi glaukoma masih memprihatinkan karena sebagian besar penderita baru mencari pengobatan saat penyakit sudah pada tahap lanjut. Lebih dari 80 persen kasus glaukoma muncul tanpa gejala, yang membuatnya dijuluki sebagai ‘si pencuri penglihatan’. Pengobatan sedini mungkin sangat penting untuk mengendalikan progresivitas penyakit dan mencegah kebutaan.
Menurut laporan Kementerian Kesehatan terakhir, jumlah penderita glaukoma secara global meningkat dari 60,5 juta pada satu dekade lalu menjadi 76 juta pada 2020. Di Indonesia, prevalensi glaukoma sebesar 0,46 persen, atau sekitar 4-5 orang per 1.000 penduduk.
Berdasarkan Statistik Informasi Glaukoma studi prevalensi, diperkirakan 79,6 juta orang menderita glaukoma pada 2020. Jumlah ini kemungkinan akan meningkat menjadi 111,8 juta orang pada 2040.
Glaukoma bukan hanya terjadi pada usia lanjut, namun juga pada usia produktif. Faktor risiko termasuk usia di atas 40 tahun, faktor genetik, hipertensi, diabetes, serta penggunaan obat-obatan dalam jangka waktu panjang terutama obat tetes mata yang digunakan tanpa anjuran dokter. Glaukoma adalah salah satu penyakit kronik di mata, di mana ada pengikisan atau penipisan di saraf mata yang menyebabkan ada gangguan dari lapang pandang penglihatan mengecil. Jadi penglihatan terganggu karena ada proses penipisan di saraf mata tersebut dan biasanya dikaitkan dengan adanya peningkatan bola mata. Jadi seperti di tubuh ada tensi, di mata juga ada tensi mata.
Ratna menjelaskan glaukoma bukanlah sekadar penyempitan lapang pandang. Dalam banyak kasus, penyakit ini muncul tanpa memberikan gejala yang jelas, sehingga dikenal sebagai ‘si pencuri penglihatan’. Ini membuatnya menjadi ancaman serius bagi kesehatan mata, terutama pada usia lanjut. Namun, glaukoma tidak mengenal usia. Banyak kasus terjadi bahkan pada usia produktif. Jadi tidak ada ciri khas gejala glaukoma ini. Biasanya lapang pandang atau luas mata kita bisa melihat merupakan standar baku untuk menentukan diagnosis glaukoma, karena penyakit ini bisa datang tiba-tiba.
Pengobatan glaukoma tidak hanya melibatkan obat tetes mata, tetapi juga tindakan laser atau bahkan operasi. Jika sudah dinyatakan terkena glaukoma maka pemeriksaan dan pengobatan yang teratur diperlukan untuk mengontrol tekanan bola mata dan mencegah kerusakan saraf mata.
Risiko glaukoma tidak hanya terkait dengan tekanan bola mata. Kondisi seperti katarak yang tidak diobati dapat memicu terjadinya glaukoma. Proses penuaan dan perubahan pada struktur mata dapat memperburuk risiko terkena glaukoma. Oleh karena itu, deteksi dini dan penanganan yang tepat menjadi kunci untuk mencegah dampak buruk glaukoma pada kesehatan mata.
World Glaucoma Week merupakan kampanye internasional untuk meningkatkan kesadaran tentang glaukoma. Kegiatan yang dilakukan selama seminggu tersebut meliputi pemeriksaan gratis, edukasi masyarakat, serta kampanye online untuk memperkenalkan glaukoma dan langkah-langkah pencegahannya.
Penting bagi masyarakat untuk menyadari bahwa glaukoma bisa terjadi tanpa gejala dan dapat menyebabkan kebutaan jika tidak dideteksi dan ditangani dengan cepat. Deteksi dini melalui pemeriksaan berkala sangat penting, terutama bagi mereka dengan faktor risiko seperti usia di atas 40 tahun, riwayat keluarga, atau riwayat penggunaan obat-obatan tertentu.
Dengan meningkatnya kesadaran akan glaukoma, diharapkan lebih banyak orang dapat mendapatkan diagnosis dini dan pengobatan yang tepat, sehingga dapat mengurangi risiko kebutaan akibat penyakit ini. 7 cr79
Glaukoma adalah penyempitan lapang pandang, merupakan penyakit yang sering tidak disadari dan menyebabkan kebutaan jika tidak ditangani dengan cepat.
Di Indonesia, situasi glaukoma masih memprihatinkan karena sebagian besar penderita baru mencari pengobatan saat penyakit sudah pada tahap lanjut. Lebih dari 80 persen kasus glaukoma muncul tanpa gejala, yang membuatnya dijuluki sebagai ‘si pencuri penglihatan’. Pengobatan sedini mungkin sangat penting untuk mengendalikan progresivitas penyakit dan mencegah kebutaan.
Menurut laporan Kementerian Kesehatan terakhir, jumlah penderita glaukoma secara global meningkat dari 60,5 juta pada satu dekade lalu menjadi 76 juta pada 2020. Di Indonesia, prevalensi glaukoma sebesar 0,46 persen, atau sekitar 4-5 orang per 1.000 penduduk.
Berdasarkan Statistik Informasi Glaukoma studi prevalensi, diperkirakan 79,6 juta orang menderita glaukoma pada 2020. Jumlah ini kemungkinan akan meningkat menjadi 111,8 juta orang pada 2040.
Glaukoma bukan hanya terjadi pada usia lanjut, namun juga pada usia produktif. Faktor risiko termasuk usia di atas 40 tahun, faktor genetik, hipertensi, diabetes, serta penggunaan obat-obatan dalam jangka waktu panjang terutama obat tetes mata yang digunakan tanpa anjuran dokter. Glaukoma adalah salah satu penyakit kronik di mata, di mana ada pengikisan atau penipisan di saraf mata yang menyebabkan ada gangguan dari lapang pandang penglihatan mengecil. Jadi penglihatan terganggu karena ada proses penipisan di saraf mata tersebut dan biasanya dikaitkan dengan adanya peningkatan bola mata. Jadi seperti di tubuh ada tensi, di mata juga ada tensi mata.
Ratna menjelaskan glaukoma bukanlah sekadar penyempitan lapang pandang. Dalam banyak kasus, penyakit ini muncul tanpa memberikan gejala yang jelas, sehingga dikenal sebagai ‘si pencuri penglihatan’. Ini membuatnya menjadi ancaman serius bagi kesehatan mata, terutama pada usia lanjut. Namun, glaukoma tidak mengenal usia. Banyak kasus terjadi bahkan pada usia produktif. Jadi tidak ada ciri khas gejala glaukoma ini. Biasanya lapang pandang atau luas mata kita bisa melihat merupakan standar baku untuk menentukan diagnosis glaukoma, karena penyakit ini bisa datang tiba-tiba.
Pengobatan glaukoma tidak hanya melibatkan obat tetes mata, tetapi juga tindakan laser atau bahkan operasi. Jika sudah dinyatakan terkena glaukoma maka pemeriksaan dan pengobatan yang teratur diperlukan untuk mengontrol tekanan bola mata dan mencegah kerusakan saraf mata.
Risiko glaukoma tidak hanya terkait dengan tekanan bola mata. Kondisi seperti katarak yang tidak diobati dapat memicu terjadinya glaukoma. Proses penuaan dan perubahan pada struktur mata dapat memperburuk risiko terkena glaukoma. Oleh karena itu, deteksi dini dan penanganan yang tepat menjadi kunci untuk mencegah dampak buruk glaukoma pada kesehatan mata.
World Glaucoma Week merupakan kampanye internasional untuk meningkatkan kesadaran tentang glaukoma. Kegiatan yang dilakukan selama seminggu tersebut meliputi pemeriksaan gratis, edukasi masyarakat, serta kampanye online untuk memperkenalkan glaukoma dan langkah-langkah pencegahannya.
Penting bagi masyarakat untuk menyadari bahwa glaukoma bisa terjadi tanpa gejala dan dapat menyebabkan kebutaan jika tidak dideteksi dan ditangani dengan cepat. Deteksi dini melalui pemeriksaan berkala sangat penting, terutama bagi mereka dengan faktor risiko seperti usia di atas 40 tahun, riwayat keluarga, atau riwayat penggunaan obat-obatan tertentu.
Dengan meningkatnya kesadaran akan glaukoma, diharapkan lebih banyak orang dapat mendapatkan diagnosis dini dan pengobatan yang tepat, sehingga dapat mengurangi risiko kebutaan akibat penyakit ini. 7 cr79
1
Komentar