MUTIARA WEDA: Surga vs Brahman
svargaṃ yathā'gnihotreṇa yajamānaḥ prasādhayet parāvāptiṃ tathā kuryād brahmavid brahmavidyayā (Taittiriya Upanisad, 2.32)
Sebagaimana orang melakukan pengorbanan mencapai surga melalui agnihotra, demikian pula orang mengetahui Brahman mencapai Yang Maha Kuasa melalui pengetahuan Brahman.
SALAH satu alasan munculnya ‘jalan pengetahuan’ adalah kritik atas ‘praktik ritual’ yang sebelumnya masif dilaksanakan. Kritik tersebut ‘sepertinya’ tidak dalam rangka meniadakan ‘praktik ritual,’ meskipun dulu terjadi penurunan kuantitas secara dramatis (dan kini meningkat lagi). Dalam konteks goal, teks di atas mengindikasikan bahwa ‘praktik’ ritual’ tujuannya adalah surga, sementara ‘brahmawidya’ tujuannya adalah Hyang Maha Kuasa. Surga bukanlah tujuan akhir, melainkan sebuah kondisi di mana semua keinginan duniawi terpenuhi. Surga adalah gambaran ideal dari sebuah planet, di mana planet tersebut mampu memenuhi apapun yang diinginkan manusia. Surga adalah dunia yang berkelimpahan.
Mengapa hadirnya ‘dunia yang berkelimpahan’ menuai kritik? Oleh karena di zamannya, orang telah menikmati kelimpahan tersebut financially, socially, dan hal lainnya, kecuali kebahagiaan. Orang telah mencapai segalanya dalam hidup, tetapi masih merasa ada yang kurang, kurang bahagia. Seandainya kebahagiaan bisa dibeli, mereka akan membelinya. Sayang tidak bisa. Pencarian belum final. Perjalanan baru pun dimulai. Mereka memulainya dengan membuat hipotesis bahwa ‘keberlimpahan materi bukan terminal akhir, bahkan menyisakan kepedihan misterius’. Jalan ‘upacara kurban’ berganti menjadi ‘brahmawidya’, jalan pengetahuan. Dengan metode baru, perjalanan panjang dimulai. Contoh paling fenomenal adalah Siddharta Gautama. Hanya dengan melihat orang menderita saja, dirinya merasakan kesementaraan dunia ini, lalu meninggalkan kerajaan yang telah memberinya kemewahan menuju hutan rimba yang tidak pasti.
Pada akhirnya, hutan rimba yang tidak pasti itu memberinya kepastian, bahwa untuk melenyapkan derita, hutan rimba pikiran mesti disapu bersih. Di hutan rimba Siddharta menemukan alat untuk membersihkannya. Dengan cara yang sama, brahmawidya akan mengantarkan orang untuk menemukan terminal akhirnya. Oleh karena itu, dari perspektif strukturalis, perjalanan menuju terminal akhir akan menjadi real hanya ketika terminal-terminal sebelumnya terlewati. Atas dasar inilah teks di atas memberikan proporsinya. Jika jalan ‘ritual kurban’ terminalnya adalah surga, sementara brahmawidya membawa orang sampai terminal akhir.
Jika ditanya, mana yang lebih penting? Sama-sama penting. Jika persoalan perut belum merdeka, ‘jalan kurban’ sangat membantu. Ketika keberlimpahan tidak lagi memberikan solusi hidup, hanya brahmawidya yang masih tertinggal. Jadi, penggunaan kedua jalan ini adalah sesuai kebutuhan. Saat ini, mengapa ‘ritual kurban’ semarak? Karena kondisi mereka belum berkelimpahan. Jika kehidupan masih dalam taraf menengah ke bawah, hal yang paling mempenetrasi pikiran, by nature, adalah prosperity, jagadhita. Mengapa? Karena kebahagiaan tampak ada di sana. Bukankah teks religius menyatakan bahwa kekayaan materi adalah hambatan untuk mencapai pembebasan?
Iya, semua orang tahu dan hafal itu, tetapi dorongan diri selalu mengarah pada ‘kemakmuran’. Hafalan itu pun bisa dijadikan alat untuk mencapai ‘kemakmuran’. Atas nama ‘ketidakterikatan’ materi orang bisa mengumpulkan kekayaan. Kondisi ini sulit dipungkiri. Semuanya dijadikan pasar. Apakah ini benar? Sepanjang kondisi kita masih di perut, apapun bisa dipasarkan untuk tujuan memenuhi kebutuhan perut. Hanya mungkin bungkusnya yang berbeda. Oleh karena ada aspek susila, moral, dan yang sejenisnya, ‘barang dagangan’ ini dibungkus sedemikian rupa. Namun tetap itu barang dagangan.
Kapan menjadi real? Hanya ketika urusan perut selesai. Kapan selesai? Cerita purana menyatakan bahwa orang yang telah mencapai surga akan tinggal di sana beberapa waktu sebelum akhirnya kembali ke dunia ini untuk melanjutkan perjalanannya. Ini mengindikasikan bahwa keberlimpahan itu dinikmati untuk sementara waktu. Setelah mereka menyadari bahwa kemakmuran itu bukan kebahagiaan abadi, perjalanan berikutnya baru dimulai. Jalannya adalah brahmawidya. Dengan kata lain, jika kita masih prasejahtera, praktik yang mempenetrasi hati adalah ritual kurban (dalam berbagai bentuknya) yang mengandung permohonan (tertingginya untuk mencapai surga). Jika permohonan telah terkabulkan, namun masih merasa kurang, jalan penelusuran (seeking) satu-satunya pilihan. Kedua jalan ini sama pentingnya bagi peradaban. Ibarat pendulum, sekali ke kiri sekali ke kanan silih berganti. 7
I Gede Suwantana
Direktur Bali Vedanta Institute
1
Komentar