Polisikan Narasumber Tempo, Komite Keselamatan Jurnalis Kecam Bahlil
JAKARTA, NusaBali.com – Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) mengecam langkah Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia ke Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri menyusul heboh pemberitaan Majalah Tempo.
“Saya tidak mengadukan Tempo-nya ya, tidak. Saya mengadu adalah orang-orang yang mencatut nama baik saya untuk meminta sesuatu," ujar Bahlil kepada wartawan yang menemuinya di Bareskrim pada Selasa (19/3) sore.
Bahlil meminta polisi untuk memproses secara hukum pihak-pihak yang diduga mencatut namanya. Bahlil mengaku merasa dirugikan nama baiknya dengan adanya laporan utama Majalah Tempo berjudul "Main Upeti Izin Tambang" yang terbit pada edisi 4-10 Maret 2024.
Atas laporan itu, KKJ menilai Bahlil Lahadalia telah mengancam kebebasan pers, kebebasan berpendapat, dan mencederai demokrasi di Indonesia.
Ancaman kriminalisasi narasumber pemberitaan akan merugikan publik. Kriminalisasi akan menciptakan kebuntuan dalam mencari narasumber yang valid.
“Pelaporan narasumber Tempo itu mengancam kemerdekaan pers dan menjadi preseden buruk bagi demokrasi,” kata Erick Tanjung, Koordinator KKJ, Kamis (21/3).
Selain itu, akan membuat orang semakin takut menjadi narasumber, saksi untuk mengungkap sebuah kejahatan korupsi dan kejahatan lainnya, karena yang dihadapi ancaman hukuman pidana maupun perdata.
KKJ pun mengingatkan jika hak mencari dan mendapatkan informasi dijamin oleh konstitusi. Secara internasional, hak atas kebebasan berpendapat dan menyampaikan informasi juga dijamin pada Pasal 19 dalam Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) serta Komentar Umum Nomor 34 terhadap Pasal 19 ICCPR.
Hak tersebut juga dijamin dalam Pasal 28E dan 28F UUD, serta pada Pasal 14 UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Sementara itu, terkait tindakan Tempo tidak membuka identitas para narasumber karena pertimbangan keamanan dijamin oleh Undang-Undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Apalagi Dewan Pers yang telah menilai liputan tersebut telah menyatakan secara prosedural, liputan “Tentakel Nikel Menteri Bahlil” tersebut tak melanggar kode etik.
“Tempo juga mempunyai hak tolak mengungkap identitas narasumber. Hal ini dijamin dalam Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers,” ujar Erick.
Sebelumnya Bahlil mengungkap alasan pelaporan ke Bareskrim sebagai bentuk kebijakan dan keseriusan saya dalam proaktif untuk melakukan proses seperti diberitakan Tempo.
Dalam laporan Tempo tersebut, kata dia, disebut ada orang dalam, orang dekat. Maka dari itu, ia meminta orang-orang tersebut dimintai keterangannya.
"Saya kan merasa dirugikan kan. Kalau saya tidak melapor nanti wartawan pikir benar informasi Tempo," kata Bahlil.
Sementara itu Direktur LBH Pers Ade Wahyudin mengingatkan narasumber berita merupakan bagian dari produk jurnalistik. Oleh karena itu, narasumber tidak tidak dapat dipidana karena dilindungi oleh Undang-undang Pers.
“Maka sesuai dengan UU Pers, jika tidak terima atas berita atau terjadi protes, dapat diselesaikan dengan mekanisme hak jawab dan hak koreksi. Jika belum cukup, pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan, dapat melapor ke Dewan Pers untuk penyelesaian sengketa,” jelas Ade.
Sebelumnya, sudah ada yurisprudensi dalam kasus serupa. Mahkamah Agung (MA) sudah pernah menetapkan bahwa narasumber berita tidak bisa dijerat pidana dengan pasal pencemaran nama baik. Hal ini terdapat dalam putusan kasasi perkara terdakwa Mohammad Amrullah yang dilaporkan perusahaan tambang karena pernyataan sebagai narasumber di salah satu pemberitaan pers pada 2016.
Putusan dengan nomor 646 K/Pid.Sus/2019 itu menghasilkan amar yang membebaskan Mohammad Amrullah dari dakwaan. Dalam pertimbangannya, majelis hakim menyatakan narasumber berita tidak bisa dikenakan Pasal 27 Ayat 3 UU ITE tentang pencemaran nama baik. Sebab, produk jurnalistik sepenuhnya menjadi tanggung jawab media pers, bukan narasumber.
“Pernyataan atau informasi narasumber dalam pemberitaan merupakan produk jurnalistik, yang bertanggung jawab adalah Pemred media pers tersebut,” kata Ade.
LBH Pers merupakan bagian dari Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ). KKJ sendiri dideklarasikan di Jakarta, 5 April 2019. Komite beranggotakan 10 organisasi pers dan organisasi masyarakat sipil, yaitu; Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, SAFEnet, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Federasi Serikat Pekerja Media Independen (FSPMI), Amnesty International Indonesia, Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dan Pewarta Foto Indonesia (PFI).
1
Komentar