Infeksi Tuberkulosis di Luar Paru, Deteksi Dini dan Pengobatan yang Tepat
Infeksi
Tuberkulosis
Dokter Ni Ketut Dita Pradnyandari
dr Ni Luh Putu Eka Arisanti SpP(K)
RSUP Prof dr IGNG Ngoerah
Gaya Asyik (Ngusik)
Tuberkulosis (TBC)
TBC
DENPASAR, NusaBali - RSUP Prof dr IGNG Ngoerah menggelar ‘Ngobrol untuk Sehat dengan Gaya Asyik (Ngusik)’ tentang tuberkulosis (TBC), Senin (25/3) pukul 13.00 Wita. TBC telah menjadi isu kesehatan yang mendesak di Indonesia, terutama dengan meningkatnya kasus selama pandemi. Salah satu aspek yang perlu mendapat perhatian adalah TBC di luar paru, yang meskipun jarang, tetapi dapat menyebabkan komplikasi serius.
Diskusi dimoderatori dr Ni Ketut Dita Pradnyandari dengan narasumber dr Ni Luh Putu Eka Arisanti SpP(K). Dibahas dalam diskusi itu bahwa tahun 2022 lebih dari 724.000 kasus TBC baru terdeteksi, dengan jumlah yang naik menjadi 809.000 kasus pada 2023. Jumlah ini mengalami peningkatan yang signifikan dibandingkan dengan angka kasus sebelum pandemi yang biasanya berada di bawah 600.000 per tahun. TBC ekstra paru atau TBCC di luar paru memiliki angka kejadian yang jauh lebih rendah, sekitar 4 hingga 6,5 persen dari total kasus TBC. Tetapi TBC ekstra paru dapat menyerang organ-organ di luar paru, seperti otak, tulang, kelenjar, dan lainnya. Gejalanya bervariasi tergantung pada organ yang terkena, yang membuat diagnosis menjadi lebih rumit. Namun, diagnosis yang akurat sangat penting untuk memastikan pengobatan yang tepat.
Dokter Spesialis Paru Konsultan Infeksi Eka Arisanti, menjelaskan bahwa TBC ekstra paru adalah infeksi TBC yang terjadi di luar paru-paru dan dapat menyerang berbagai organ tubuh, termasuk otak, kelenjar getah bening, tulang belakang, sendi, payudara, saluran kencing, dan organ reproduksi. Gejalanya bervariasi tergantung pada organ yang terkena, seperti demam, batuk, pembesaran kelenjar, pembengkakan, atau benjolan.
Pendeteksian TBCC memiliki kesamaan dengan pendeteksian Covid-19, di mana jika tidak dilakukan pengujian, pendeteksian, dan pelaporan yang tepat, maka angka kasus yang dilaporkan cenderung rendah, yang dapat mengakibatkan under reporting. Hal ini menyebabkan penderita TBCC dapat beredar bebas dan berpotensi menularkan penyakit karena tidak mendapatkan pengobatan yang tepat.
“Proses terjadinya TBCC ekstra paru sering kali dimulai dengan infeksi TBC paru, di mana bakteri masuk ke saluran pernapasan dan kemudian menyebar ke organ lain melalui darah atau limfa. Penularan TBCC terjadi melalui percikan dahak yang mengandung bakteri TBCC, sehingga orang yang terpapar pertama kali akan mengalami infeksi paru,” jelas Eka Arisanti.
Beberapa faktor risiko yang meningkatkan kemungkinan seseorang terkena TBC ekstra paru termasuk kontak dekat dengan penderita TBC, penurunan imunitas seperti diabetes, HIV, atau penggunaan obat-obatan imunosupresif, tinggal di tempat padat, dan kekurangan gizi. Penting untuk menyadari gejala TBC, baik TBC paru maupun ekstra paru, seperti batuk kronis, demam, keringat malam, berat badan turun, dan nafsu makan menurun. Diagnosis TBC ekstra paru memerlukan serangkaian pemeriksaan seperti pemeriksaan fisik, radiologi, pemeriksaan mikrobiologi, dan biopsi jaringan.
“Pengobatan TBC ekstra paru mirip dengan TBC paru, dengan regimen obat yang sama namun mungkin memerlukan periode pengobatan yang lebih panjang, antara 6 hingga 12 bulan tergantung pada keparahan kasus. Penting bagi pasien untuk mematuhi pengobatan secara teratur dan lengkap untuk mencegah resistensi obat dan mengurangi risiko komplikasi,” kata Eka Arisanti.
Ketidakpatuhan dalam pengobatan dapat mengakibatkan kegagalan pengobatan, resistensi obat, atau komplikasi serius seperti meningitis atau perikarditis TBC. Oleh karena itu, pengawasan minum obat (PMO) dan dukungan dari keluarga serta tenaga kesehatan sangat penting dalam pengobatan TBC.
Meskipun TBC ekstra paru jarang menular jika tidak ada TBC paru yang aktif, namun pasien yang menjalani tindakan bedah perlu mempertimbangkan perlunya mengonsumsi obat TBC untuk sementara waktu sebelum operasi untuk mencegah penyebaran bakteri selama tindakan bedah.
Dalam penanganan TBC ekstra paru yang lebih parah, seperti meningitis atau perikarditis, terapi tambahan seperti pemberian steroid atau tindakan bedah mungkin diperlukan untuk mengurangi gejala dan menghindari komplikasi yang serius.
“Pemerintah sudah mengeluarkan program yang namanya pemberian TPT (terapi pencegahan tuberkulosis) untuk penderita TB laten atau infeksi TBC tanpa gejala. Perlu diperhatikan foto rontgen TB paru untuk memastikan ada tidaknya TB aktif. TB laten akan diberikan obat dengan durasi 3 – 6 bulan dan itu gratis diberikan oleh pemerintah. Untuk mengaksesnya bisa dari puskesmas hingga rumah sakit. Jadi pemerintah sudah sangat memudahkan akses dari tingkat pertama sampai tiga sudah tersedia. Nanti akan ada juga—dan masih proses yaitu untuk pengembangan vaksinasi TB, dan masih dikembangkan oleh beberapa instansi,” ucap Eka Arisanti. 7 cr79
Komentar