MUTIARA WEDA: Swadharma
śreyān sva-dharmo viguṇaḥ para-dharmāt sv-anuṣṭhitāt,sva-dharme nidhanaḿ śreyaḥ para-dharmo bhayāvahaḥ.(Bhagavad-gita, 3.35)
Lebih baik melaksanakan kewajiban diri sendiri walaupun tidak sempurna, daripada melakukan kewajiban orang lain secara sempurna. Hancur dalam melaksanakan kewajiban sendiri lebih baik daripada melakukan kewajiban orang lain, sebab itu berbahaya.
ORANG yang telah menjalankan kewajibannya secara maksimal akan menjadi pahlawan bagi dirinya sendiri. Masalah sempurna atau tidak itu persoalan penilaian dari sebuah standar di luar diri. Sehingga, tolak ukurnya tidak terletak pada sempurna atau tidaknya, tetapi totalitas atau tidaknya. Bahkan, meskipun dalam melakukan kewajiban itu sampai hancur, nilai totalitasnya tidak berkurang. Lihatlah para pahlawan nasional kita. I Gusti Ngurah Rai misalnya. Dirinya gugur, hancur, kalah dalam medan pertempuran, tetapi beliau pahlawan nasional. Nilainya tidak berkurang. Katakan bahwa kalah perang adalah pelaksanaan kewajiban yang tidak sempurna, tetapi berkat totalitasnya dalam berperang, nilai dirinya sebagai seorang pahlawan tidak berkurang. Coba seandainya, beliau membelot dan mendukung Belanda, meskipun menang dan mendapatkan berbagai fasilitas, siapa yang akan menyebut dirinya pahlawan?
Itulah mengapa melaksanakan kewajiban orang lain itu berbahaya meskipun kita mampu melaksanakannya secara sempurna. Sehingga dengan demikian, teks di atas mengajak semua orang untuk melaksanakan svadharmanya dengan baik, secara maksimal, totalitas. Persoalan sempurna atau tidak itu masalah berikutnya, bersifat sekunder. Bahkan, kesempurnaan itu secara mutlak bersumber dari totalitas kita dalam pelaksanaan kewajiban. Setelah kita total dalam melaksanakan svadharma, mungkin saja kesempurnaan tidak diraih. Tetapi, kesempurnaan itu mutlak hadir dari totalitas. Jika kita memenangkan perang, setelah kita total, itu baik. Tetapi, meskipun telah total, kita kalah, itu tidak akan mengurangi nilai. Totalitas adalah ukuran.
Persoalannya, ketika ini dibawa ke dunia berpikir kita sehari-hari, sering hal itu tidak terjadi. Mengapa? Kita sering berpikir: ingin kaya tanpa kerja, sukses tanpa usaha, menang tanpa perang, sempurna tanpa melakukan apa-apa. Ini adalah hambatan terbesar. Kita harus melawan itu dan mengikuti prinsip semesta; ‘lakukan svadharma dengan total dan berpuaslah’, apapun hasilnya, sempurna atau tidak biarkan alat eksternal yang menilai. Yang jelas, nilai hakikinya sudah kita miliki. Jika kebetulan ada orang merekognisi, dan itu sesuai dengan kebutuhan zaman, sempurnalah itu. Tetapi, jika tidak, nilainya tidak berkurang. Seperti emas, jika kebetulan emas itu digunakan sebagai perhiasan maka ia mampu mempercantik orang yang memakainya, tetapi jika tidak, ia tetap gelondongan emas yang nilainya tidak berkurang. Emas tetap emas meskipun tidak dibuat perhiasan.
Yang ideal memang, kita memiliki nilai tersebut dan kemudian direkognisi. Sehingga, bicara tentang pahlawan Hindu milenial tentu mengarah pada mereka yang telah memiliki kualitas emas tersebut, yang telah melaksanakan svadharmanya dengan total. Agar nilai emas tersebut berdampak bagi masyarakat, diperlukan toko atau prabrik perhiasan yang banyak. Semakin banyak toko emas yang membuat perhiasan, semakin banyak emas yang diidentifikasi untuk dijadikan perhiasan. Semakin banyak lembaga yang mencermati orang yang total melakukan svadharmanya, maka semakin banyak sinar mereka kelihatan. Sinar mereka inilah yang kita identifikasi sebagai pahlawan atas kemampuannya melaksanakan svadharmanya secara total dan hasilnya mampu berdampak banyak bagi kepentingan bangsa dan negara, bahkan dunia.
Di dalam masyarakat Hindu sendiri, banyak sebenarnya bibit-bibit atau orang-orang yang total, tetapi sedikit sekali lembaga yang merekognisi mereka, dan bahkan tidak sedikit orang yang merasa takut kalau ada orang yang bersinar. Kalaupun ada kandidat orang yang bersinar, sebisa mungkin sinarnya tersebut ditutup atau diredupkan. Seperti itulah yang terjadi. Namun, meskipun demikian, Hindu memberikan alternatif, kalaupun tidak ada yang merekognisi, mari kita tetap total dalam melakukan svadharma. Jangan sampai persoalan rekognisi kita menjadi lemah dalam menjalankan svadharma. Atau jangan pula kita hanya sekadar saja menjalankan svadharma, sebab orang yang tidak melaksanakan kewajibannya dengan baik tergolong adharma. Ini juga menjadi persoalan besar saat ini. Namun, kita harus optimistis ke depan dengan tetap melaksanakan svadharma secara total. Bahkan ini bisa ditawarkan sebagai definisi dari pahlawan Hindu milenial ke depan. 7
I Gede Suwantana
1
Komentar