Pengusaha Ungkap Keresahan Beringasnya WNA Berbisnis di Bali
MANGUPURA, NusaBali.com - Pulau Dewata kini tidak saja menjadi destinasi berlibur para turis asing. Pulau kecil ini sudah dijadikan rumah bahkan ladang berbisnis.
Warga Negara Asing (WNA) yang awalnya sebagai turis, konsumen, malah menjadi kompetitor para pengusaha lokal. Tentu, investasi asing yang legal akan berdampak positif namun bagaimana jika hal itu dilakukan serampangan tanpa memandang regulasi setempat?
Hal inilah yang menjadi keresahan pengusaha lokal di Pulau Dewata saat ini. Seperti yang diungkapkan oleh Waty Silalahi, pengusaha di bidang home living yang beroperasi sejak 2009 di Bali.
"Kita lihat ada WNA yang sangat beringas masuk ke Bali kemudian mendirikan usaha tanpa yang namanya surat izin atau prosedur hukum yang harus dilakukan. Sedangkan, pengusaha lokal harus mengikuti banyak sekali regulasi," ungkap Waty ditemui dalam sebuah acara di Kuta Utara belum lama ini.
Namun, sudah jadi rahasia umum di kalangan pengusaha melihat WNA berbisnis serampangan di Bali. Bukan sekadar tidak membayar pajak, persyaratan pendirian usaha, perekrutan karyawan, hingga kerusakan sosial, budaya, dan lingkungan pun tidak dihiraukan.
Di samping itu, lini bisnis yang seharusnya menjadi lahan pengusaha lokal ikut dirangsek. Masih segar di ingatan masyarakat Bali melihat turis dengan visa turis, bukan bisnis, menjalankan usaha rental motor dengan unit mencapai ratusan kendaraan.
"Di media sosial juga banyak iklan mereka berseliweran, menjual properti di Bali. Kalau mereka melakukan itu apa dasar legalisasinya, apakah mereka sudah mengantongi dokumen yang semestinya?" beber Waty.
Hal ini dapat ditelisik dari menjamurnya properti bodong, tidak berizin, dan dibangun tanpa memerhatikan potensi kerusakan lingkungan, fasilitas publik, dan nilai kebudayaan di Bali.
Waty merasa keberatan sebagai pengusaha lokal yang taat regulasi dan pajak harus ikut menanggung kerusakan yang diakibatkan WNA yang mendirikan bisnis ilegal. Pajak yang ia dan perusahaannya bayar ke pemerintah dipakai menutupi kerusakan itu.
"Sementara kita melihat, pemerintah yang memperbaiki tapi kita yang membayar melalui pajak. Saya secara personal merasa keberatan di mana perusahaan saya sudah melakukan kewajiban tapi digunakan menutupi orang-orang yang seharusnya tidak berkepentingan," imbuh Waty.
Waty berharap, keresahan ini bisa disuarakan oleh pemimpin dan wakil-wakil rakyat Bali yang berani. *rat
Hal inilah yang menjadi keresahan pengusaha lokal di Pulau Dewata saat ini. Seperti yang diungkapkan oleh Waty Silalahi, pengusaha di bidang home living yang beroperasi sejak 2009 di Bali.
"Kita lihat ada WNA yang sangat beringas masuk ke Bali kemudian mendirikan usaha tanpa yang namanya surat izin atau prosedur hukum yang harus dilakukan. Sedangkan, pengusaha lokal harus mengikuti banyak sekali regulasi," ungkap Waty ditemui dalam sebuah acara di Kuta Utara belum lama ini.
Namun, sudah jadi rahasia umum di kalangan pengusaha melihat WNA berbisnis serampangan di Bali. Bukan sekadar tidak membayar pajak, persyaratan pendirian usaha, perekrutan karyawan, hingga kerusakan sosial, budaya, dan lingkungan pun tidak dihiraukan.
Di samping itu, lini bisnis yang seharusnya menjadi lahan pengusaha lokal ikut dirangsek. Masih segar di ingatan masyarakat Bali melihat turis dengan visa turis, bukan bisnis, menjalankan usaha rental motor dengan unit mencapai ratusan kendaraan.
"Di media sosial juga banyak iklan mereka berseliweran, menjual properti di Bali. Kalau mereka melakukan itu apa dasar legalisasinya, apakah mereka sudah mengantongi dokumen yang semestinya?" beber Waty.
Hal ini dapat ditelisik dari menjamurnya properti bodong, tidak berizin, dan dibangun tanpa memerhatikan potensi kerusakan lingkungan, fasilitas publik, dan nilai kebudayaan di Bali.
Waty merasa keberatan sebagai pengusaha lokal yang taat regulasi dan pajak harus ikut menanggung kerusakan yang diakibatkan WNA yang mendirikan bisnis ilegal. Pajak yang ia dan perusahaannya bayar ke pemerintah dipakai menutupi kerusakan itu.
"Sementara kita melihat, pemerintah yang memperbaiki tapi kita yang membayar melalui pajak. Saya secara personal merasa keberatan di mana perusahaan saya sudah melakukan kewajiban tapi digunakan menutupi orang-orang yang seharusnya tidak berkepentingan," imbuh Waty.
Waty berharap, keresahan ini bisa disuarakan oleh pemimpin dan wakil-wakil rakyat Bali yang berani. *rat
Komentar