Bencana, Keluhan, dan Umpatan
BENCANA adalah peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam maupun manusia. Pada bulan-bulan terakhir, intensitas curah hujan semakin tinggi membuat beberapa daerah terendam banjir, dan hampir seluruh kegiatan masyarakat ikut terdampak.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Bali mencatat ratusan desa rawan banjir dan longsor. Daerah rawan longsor dengan kelas bahaya tinggi terdapat di Kabupaten Jembrana, Karangasem, dan Bangli. Dan, terdapat 363 desa harus mewaspadai ancaman tanah longsor.
Banjir dapat mengakibatkan korban jiwa dan kerusakan rumah, bisnis, dan infrastruktur bisa hancur atau kerugian ekonomi besar akibat kerusakan dan gangguan aktivitas ekonomi. Mungkin semua orang telah menyadari akan hal tersebut. Bencana demikian sudah berulang kali menyapa, menluluhlantakkan, dan bahkan mengakibatkan korban jiwa yang banyak. Tetapi, ketidakpedulian masyarakat sulit dipercaya. Contohnya, perilaku membuang sampah sembarangan menjadi kebiasaan buruk, yaitu membuang sampah tidak pada tempatnya.
Rendahnya kesadaran dalam membuang sampah secara baik dan benar bukan karena kurangnya dukungan dari pemerintah, ketidaktersediaan sarana dan prasarana, atau sosialisasi serta penyuluhan mengenai pengolalaan sampah. Tetapi, perilaku buruk tersebut berkaitan dengan kebiasaan atau budaya, seperti persepsi, sikap, dan motivasi.
Persepsi adalah proses pemahaman atau pemberian makna tentang sampah. Sampah merupakan material sisa yang tidak diinginkan setelah berakhirnya suatu proses. Ironisnya, sebagai makanan sisa dibuang sembarangan. Pembuangan sampah sembarangan berefek sayap kupu-kupu (butterfly effect), yaitu mencoreng estetika, melanggar etika, mengancam kesehatan, dan tidak melindungi lingkungan. Dampaknya jelas, misalnya tersumbatnya kanal dan saluran pembuangan air, banjir, dan kerusakan properti. Reaksi negatif dari masyarakat terhadap bencana berseliweran, seperti umpatan, tuduhan, kemarahan, tangisan, dan sejenisnya. Mereka kadang lupa bahwa pembuangan sampah organik maupun tidakorganik yang sedikit atau kecil akan berdampak buruk secara akumulatif.
Sikap masyarakat terhadap hal kecil seperti sampah kurang positif. Sikap adalah kecenderungan bertindak, berpersepsi, berpikir, dan merasa dalam menghadapi objek, ide, situasi, atau nilai. Sikap bukan perilaku, tetapi merupakan kecenderungan untuk berperilaku dengan cara-cara tertentu terhadap objek sikap. Kecenderungan masyarakat, tua-muda, anak- dewasa, laki-perempuan, dan hampir merata bersikap bahwa sampah adalah entitas sisa dan tidak memiliki nilai. Dalam konteks sosiologi, nilai berarti segala hal yang dianggap baik (positif) dan buruk (negatif) di tengah masyarakat. Nilai menjadi kualitas atau penghargaan terhadap sesuatu yang dapat menjadi dasar penentu tingkah laku seseorang.
Persepsi dan sikap berkaitan erat dengan motivasi. Motivasi adalah dorongan yang muncul dalam diri seseorang untuk melakukan atau berpikir dengan tujuan tertentu, baik sadar atau tidak sadar. Karena sampah dipersepsi sebagai ‘material sisa’, dan disikapi sebagai ‘hal yang buruk’, maka direaksi bukan direspons dengan ‘umpatan’, ‘kemarahan’, ‘tuduhan’ atau atribut lainnya. Reaksi didorong oleh keyakinan, bias, dan prasangka dari alam bawah sadar. Saat kita mengatakan atau melakukan sesuatu tanpa berpikir, itu artinya alam bawah sadar kita yang bertindak. Sedangkan respons biasanya datang lebih lambat dan bekerja berdasarkan informasi dari pikiran sadar dan alam bawah sadar kita. Tampaknya ada sedikit perbedaan antara reaksi dan respons. Perbedaan kecil ini tampaknya membuat banyak perbedaan dalam cara pandang.
Sangat mudah untuk bereaksi terhadap komentar atau situasi apa pun, dan dibutuhkan lebih banyak usaha dan perhatian untuk meresponsnya. Ketika orang bereaksi, mereka tampak bersikap defensif. Tampaknya kita berada dalam posisi yang dirugikan. Dalam reaksi, emosi mengambil peran sentral, tanpa memikirkan konsekuensi jangka panjangnya. Namun, merespons lebih penuh perhatian atau bijaksana. Jawabannya mengandung alasan yang logis. Respons tidak dipandu oleh emosi dan lebih dipandu oleh logika. Respons lebih aktif, dan mempunyai kekuatan untuk mengubah arah interaksi. Saat merespons, otak terlibat sepenuhnya, dengan kesadaran diri tinggi dan memikirkan konsekuensi jangka panjangnya. 7
Prof Dewa Komang Tantra MSc, PhD
Profesor Tetap Universitas Warmadewa
1
Komentar