Krama Selat Wajib Persembahkan Hasil Panen
Tradisi Tiap Pujawali di Pura Kiduling Kreteg, Besakih
AMLAPURA, NusaBali - Krama Desa Adat Selat, Kecamatan Selat, Karangasem, memiliki tradisi turun temurun, dalam setiap Pujawali Purnama Kadasa, di Pura Kiduling Kreteg, kawasan Pura Besakih, Karangasem. Tradisi tersebut berupa Nagingin Pulu atau mengisikan bejana tempat beras untuk persembahan di pura setempat.
Bentuk persembahan berupa hasil panen di sawah seperti beras. Selain itu, mempersembahkan hasil tegalan berupa kelapa dan buah-buahan, serta unsur wewalungan (hewan kurban).
Tradisi itu tertuang dalam Purana Desa Adat Selat, dan Raja Purana Pura Besakih. Bendesa Adat Selat Jro Gede Wayan Mustika memaparkan hal itu, usai menggelar upacara di Pura Kiduling Kreteg, Banjar Kreteg, Desa Besakih, Kecamatan Rendang, Karangasem, Sukra Kliwon Pujut, Jumat (29/3).
Ngaturang Daging Pulu berupa beras, katanya, merupakan persembahyangan isi semesta yang selama ini berkat kesuburan dari Ida Bhatara. Jika sampai lalai tidak mempersembahkan Daging Pulu, dampaknya sawah terserang hama, kemudian gagal panen, atau sawah dilanda kekeringan.
Itulah sebabnya, sesuai Purana Desa Adat Selat, Desa Adat Selat itu adalah lumbungnya Desa Besakih. Terlebih lagi beras yang dipersembahkan bukan saja, merupakan jatu utama untuk pelengkap upakara, juga merupakan unsur utama sarwa prani, dan unsur utama biji-bijian.
Biji-bijian itu pula katanya, jadi pelengkap upakara bagia pulakerti yang melambangkan bumi dalam sifatnya sebagai purusa (unsur laki-laki) dan predana (unsur perempuan).
Makanya, biji-bijian itu berupa beras, dimasukkan ke dalam pulu sebelum digunakan untuk pelengkap upakara. Biji-bijian itu sebenarnya juga melambangkan kebutuhan pokok hidup manusia.
Biji beras tersebut yang juga disebut ksatam, nantinya dipakai bija. Bija simbol dari bibit kesucian, benih yang menumbuhkan pohon kesucian. Jika sehabis sembahyang memakai bija, berarti secara simbolis telah menanam benih kesucian di dalam diri.
Memakai bija, artinya memekarkan rasa kesucian dalam diri pribadi. Sesuai kitab suci wedha, persembahan berupa biji (palam), adalah persembahan inti, di samping puspam (bunga) dan toyam (air).
Di samping itu, lanjut Jro Gede Mustika, kewajiban krama Desa Adat Selat, juga ngaturang unsur wewalungan untuk keperluan pujawali di Purnama Kadasa. Persembahan wewalungan dibagi dua, wewalungan berkaki dua atau disebut mantiga seperti ayam, unggas, bebek, angsa, yang merupakan kurban dilahirkan dua kali yakni dari telur.
Wewalungan berkaki empat dimaksud, diantaranya babi, kambing dan sejenisnya. Pentingnya mempersembahkan hewan kurban itu juga untuk keperluan upacara pacaruan. Hal ini berkaitan dengan menyomiakan unsur bhuta kala, sebagaimana dilakukan pada puncak pujawali, Redite Kliwon Pujut, Minggu (24/3).
Selain mempersembahkan isi pulu dan wewalungan, krama Desa Adat Selat juga ngayah mengolah isi pulu dan wewalungan. Selanjutnya setelah menggelar persembahyangan, krama makemit (bermalam) tiga hari di Pura Kiduling Kreteg Besakih.
Mereka kembali dari Pura Kiduling Kreteg Besakih, Buda Pon Pujut, Rabu (27/3). Krama ini perwakilan dari 15 banjar adat se-Desa Adat Selat, yakni Banjar Adat Telengis, Sukawana, Sida Karana Bunteh, Parigraha, Sidhakarya, Dharma Saba, Paruman Sila Darsana, Eka Darma, Guna Karya, Sila Sesana, Palemadon, Kertiyasa Lusuh, Darma Karya, Sila Drama, dan Wanasari. Dua dadia: Gunung Sari Bajeh dan Siladumi Kangin, serta Paruman Mrajan Gria Celit. Tradisi itu mereka laksanakan setiap setahun sekali.
Jro Gede Mustika menambahkan, tradisi sebelumnya Desa Adat Selat memiliki jineng atau tempat menyimpan gabah yang khusus untuk dipersembahkan di Pura Kiduling Kreteg Besakih tersimpan di jineng di Banjar Pasek, merupakan jineng milik desa.
Ternyata jineng itu tidak ada lagi, tetapi jineng masih ada di setiap rumah prajuru Desa Adat Selat, maka di sanalah gabah disimpan sebelum dipersembahkan. Pura Kiduling Kreteg Besakih sendiri merupakan salah satu dari Pura Catur Lokapala atau Pura Catur Dala, linggih Ida Bhatara Brahma, sebenarnya pujawali bukan saja di Purnama Kadasa, juga menggelar aci Anggara Kliwon Prangbakat, aci ngekebang di Purnama Karo, aci pangerempak tiga hari setelah aci ngekebang, piodalan Anggara Wage Dunggulan, aci panyeeb Brahma Purnama Kaenem.
Pura Kiduling Kreteg Besakih yang posisinya di selatan Pura Penataran Agung Besakih, didirikan Mpu Kuturan di abad ke-11, sebagai tempat mohon agar padi di sawah tumbuh subur, tidak dilanda kekeringan.
Pura tersebut terdiri dari 7 meru, meru tumpang solas (sebelas) linggih Ida Bhatara Brahma, meru tumpang 7 linggih Ida Bhatara Bayu atau Ida Bhatara Bayuan, meru tumpang 5 linggih Ida Ratu Bagus Swa, meru tumpang solas linggih Ida Ratu Bagus Cili, meru tumpang 5 linggih Ida Ratu Bagus Soha, meru tumpang 3 linggih Ida Ratu Sihi dan Ida Ratu Dewa-Dewi.
Bangunan lainnya, berupa Bale Pesamuan Agung, Bale Agung, Bale Pegat, Bale Pawedaaan, Bebaturan, Bale Tegeh, Panggungan, Bale Gambang, Bale Gong, Candi Bentar dan Bale Pesambiyangan.
Ciri khas di Pura Kiduling Kreteg Besakih di setiap pujawali atau aci, seluruh pangangge menggunakan warna merah. Sehingga pedemknya juga lebih banyak menyesuaikan menggunakan pakaian serba merah mulai dari udeng, baju, saput dan kain.
Pura tersebut merupakan emponan Pemkab Karangasem, segala yang menyangkut perbaikan palinggih, pelaksanaan aci dan keperluan lainnya, menjadi tanggungjawab Pemkab Karangasem.7k16
1
Komentar