Berkunjung ke Rumah ‘Sang Maestro’ I Wayan Mudita Adnyana di Desa Tenganan, Karangasem
Usia Nyaris Seabad, Tetap Semangat Ceritakan Karya Sastra
Baru-baru ini Mudita menerima penghargaan dari ISI Denpasar dan Pemprov Bali atas dedikasinya sebagai penulis lontar, pelestari seni sastra, dan gender wayang.
AMLAPURA, NusaBali
Seniman sepuh pelestari tradisi manuskrip I Wayan Mudita Adnyana yang kini telah berusia 93 tahun, secara fisik memang tidak kuat lagi. Hanya sekadar untuk mengangkat kotak lontar hasil karyanya saja dia tidak kuat. Padahal dia ingin memperlihatkan hasil karyanya saat NusaBali menyambangi di kediamannya Banjar Tenganan Pegringsingan, Desa Tenganan, Kecamatan Manggis, Karangasem, Jumat (12/4).
Namun dia terlihat berseri-seri saat ditanya soal penghargaan yang baru diterimanya baru-baru ini dari Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar dan Gubernur Bali. Peraih Anugerah Kebudayaan Nasional Tahun 2019 dari Mendikbud RI ini mengaku bersyukur menerima penghargaan tersebut di tengah fisiknya yang tak lagi kuat untuk berkarya.
Seniman pelestari tradisi manuskrip ini diberikan penghargaan atas dedikasinya sebagai penulis lontar, pelestari seni sastra, dan gender wayang. "Ini saya dapat dua penghargaan baru-baru ini, saya juga diundang untuk menerima penghargaan ini," ujar Mudita Adnyana. Kedua penghargaan itu dari ISI (Institut Seni Indonesia) Denpasar berupa penghargaan Bali Bhuana Nata Kerthi Nugraha serangkaian Wisuda Sarjana XXX tahun 2023 dan Dies Natalis ISI XX. Penghargaan ini diserahkan Rektor ISI Denpasar Prof Dr I Wayan ‘Kun’ Adnyana di acara pembukaan Festival Internasional Bali Padma Bhuana III.
Penghargaan kedua dari Pj Gubernur Bali Sang Made Mahendra Jaya berupa penghargaan Bali Kerthi Nugraha Mahottama yang diberikan karena telah aktif melestarikan dan mengembangkan aksara dan sastra Bali. Penghargaan ini diberikan pada acara penutupan Bulan Bahasa Bali (BBB) VI yang berlangsung di Gedung Kesirarnawa, Taman Budaya Provinsi Bali, Sabtu 2 Maret 2024 lalu. Mudita Adnyana saat itu menerima penghargaan bersama I Wayan Seregeg, seniman sepuh kelahiran, Desa Timpag, Tabanan, 31 Desember 1940 yang memiliki keahlian di bidang Sastra Jawa Kuno dan piawai dalam mesanti (matembang lagu-lagu suci).
Mudita Adnyana mengaku terharu atas penghargaan itu terlebih di saat usianya hampir mencapai satu abad, karena tidak lagi mampu nyurat aksara Bali dan menabuh gender wayang. "Jangankan nyurat aksara Bali, menabuh gender wayang saja saya tidak kuat lagi, karena tidak kuat duduk," ucapnya. Di rumahnya di Banjar Tenganan Pegringsingan terlihat sesekali ada wisatawan yang mengunjungi rumahnya untuk menyaksikan hasil-hasil karyanya, dan foto-foto kenangan bersama beberapa kepala negara yang pernah mengunjunginya.
Apalagi belakangan ini, tercatat telah 8 kali dia menjalani operasi, sehingga sangat mempengaruhi kekuatan fisiknya. Terakhir dia menjalani operasi hernia. Seluruh biaya operasi katanya menggunakan hasil penjualan lontar yang ditulisnya selama ini. Biaya operasi hernia Rp 30 juta, hasil penjualan Lontar Udiyoga Parwa Rp 35 juta.
Mudita Adnyana memaparkan Lontar Udiyoga Parwa setebal 300 halaman yang ditulisnya semasih fisiknya kuat itu dijual Rp 35 juta untuk biaya operasi hernia di Rumah Sakit di Gianyar pada tahun 2021 lalu. Menurutnya, operasi hernia itu telah dijalani sebanyak dua kali, sedangkan operasi kencing batu sebanyak 3 kali, operasi prostat sebanyak 2 kali dan operasi katarak sebanyak 1 kali, total 8 kali dia jalani operasi.
Seniman kelahiran tahun 1931 ini telah ditinggal meninggal istrinya Ni Nyoman Renis 10 tahun lalu. Mudita Adnyana sendiri dikaruniai 7 anak dan 14 cucu. Koleksi lontar yang ditulisnya kini masih dia simpan, seperti Sutasoma, Baratha Yudha, Sarasamuscaya, Lubdaka, Asrama Wasa Parwa dan lain-lain. Salah satu hasil karyanya, yakni Lontar Sutasoma, ditulisnya selama dua tahun sebanyak 122 lembar. Dia mengatakan sempat ada utusan dari lembaga dunia, yakni UNESCO yang katanya bersedia membayar lontar Sutasoma itu Rp 400 juta. Namun dia menolak menjualnya.
Untuk diketahui Mudita menerima penghargaan pada tahun 2019 dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy dalam kategori maestro tradisi bersama empat orang lainnya dari 59 penerima di delapan kategori.
Mudita sebelumnya juga menerima penghargaan sebagai seniman tua dari Pemkab Karangasem 1987, penghargaan Dharma Kusuma Madya dalam Bidang Sastra oleh Gubernur Bali (1987). Di tingkat nasional, menerima Anugerah Kebudayaan dan Maestro Seni Tradisi dalam bidang menulis Lontar dan Prasi oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (2019). Hasil karyanya sempat dibeli tiga kepala negara, yakni Presiden Italia Sandro Pertini, 6 Juli 1983, Perdana Menteri Selandia Baru Hellene Clark (7 Januari 1988) dan Presiden/Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri, 31 Desember 2001. 7 k16
1
Komentar